welcome to the free zone...your expression is amazing...

Sabtu, 30 Juni 2007

rekonstruksi fiqh mu'ammalah (kajian tekstual muzara'ah mukhabrah)

A. Latar Belakang
Dizaman yang serba-serbi ini, banyak hukum-hukum fiqh klasik yang katanya sudah tidak relevan lagi; dalam artian sudah tidak dipakai oleh masyarakat umumnya. Padahal kalau kita tinjau, hukum-hukum fiqh lebih menekankan kepada kemaslahatan bersama. Sisi hukum fiqh yang cukup urgen yang perlu dikupas lebih lanjut dan banyak terpakai dalam tatanan sosial masyarakat adalah tentang mu’ammalah.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia yang notabenenya adalah mahkluk sosial tidak mungkin dan tidak bisa lepas dalam berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya. Dalam ranah sosial ini, banyak sekali ditemui kesenjangan-kesenjangan sosial yang jaraknya makin lama makin melebar; yang kaya semakin kaya sedangkan yang miskin semakin termarginalkan dan tidak bisa berbuat apa-apa. Banyak dari orang kaya yang memiliki sebidang tanah didesa yang luasnya berhektar-hektar. Bagi kalangan mereka tanah yang luasnya berhektar-hektar itu hanya sekedar untuk investasi kedepan. Yang lebih mengenaskan tanh tersebut terlihat mangkrak (tidak terawat) dan tidak ditanami. Padahal bagi orang desa tanah itu lebih dari hidup mereka.
Melihat realita seperti itu, para ulama’ khalaf sepakat untuk memperbolehkan hukum tentang muzara’ah dan mukhabarah; yang oleh ulama’ salaf dilarang. Para ulama’ khalaf lebih menekankan kemaslahatan yang ditimbulkan bila muzara’ah dan mukhabarah dapat dipraktekkan; bukan sekedar wacana hukum islam yang tertulis dalam kitab-kitab belaka.
B. Pengertian Muzara’ah Dan Mukhabarah
-Pengertian muzara’ah
Muzara’ah yaitu kerjasama antar pemilik sawah/ ladang dan penggarap sawah/ ladang, dengan benih berasal dari pihak pemilik sawah/ ladang.
Kerjasama (akad) muzara’ah ini biasanya dilakukan dalam tanaman yang harga benihnya relatif mahal, seperti: cengkeh, pala, vanili, jeruk manis dan sebagainya.
-Pengertian mukhabarah
Mukhabarah yaitu kerjasama antara pemilik sawah/ ladang dengan penggarap sawah/ ladang (petani). Dengan benih berasal dari pihak penggarap sawah/ ladang (petani).
Dalam kerjasama (akad) mukhabarah ini umumnya dilakukan dalam tanaman yang harga benihnya relatif murah, seperti: padi, jagung, kacang, gandum dan sebagainya.
C. Hukum Muzara’ah Dan Mukhabarah
Hukum asal dari kerjasama (akad) muzara’ah dan mukhabarah adalah mubah. Namun apabila dikhawatirkan adanya unsur kecurangan dari salah satu pihak, maka sebaiknya tidak dilaksanakan.
Landasan hukum diperbolehkannya kerjasama (akad) muzara’ah dan mukhabarah ini adalah hadist Nabi Saw, yang artinya:
“Dari Thawus Ra bahwa ia suka bermukhabarah. Amr berkata: lalu aku katakan kepadanya: “Hai Abu Abdur-Rahman, kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini, nanti mereka akan menyangka bahwa Nabi telah melarang mukhabarah”. Lantas Thawus berkata: “Hai Amr, telah menceritakan kepadaku orang yang sungguh-sungguh mengetahui akan hal itu, yaitu Ibnu Abbas. Bahwa Nabi Saw tidak melarang mukhabarah itu, hanya beliau bersabda: ‘Seseorang memberi manfaat kepada saudaranya, lebih baik daripada ia mengambil manfaat dari saudaranya itu dengan upah tertentu’”. (HR. Muslim).
Sedangkan landasan hukum tidak diperbolehkannya kerjasama (akad) muzara’ah dan mukhabarah ini apabila adanya unsur kecurangan dan penipuan dari salah satu pihak didalamnya, yaitu:
Pada suatu hari Zaid Bin Tsabit meriwayatkan, bahwa ada dua orang shahabat dari kalangan Anshar yang sedang bertengkar masalah tanah, kemudian ia mengadukan hal tersebut kepada Nabi saw. Maka jawaban Nabi saw yang artinya:
“Kalau itu persoalannya, maka janganlah kamu menyewakan tanah”. (HR Abu Dawud).
Sedangkan ijma’ ulama’ salaf adalah apabila seseorang menyerahkan sebidang tanah kepada orang lain supaya ditanami dan berjanji kepadanya akan memberikan sebagian secara jelas hasilnya, maka penyerahan (akad) semacam itu hukumnya tidak boleh. Namun perlu ditekankan kembali bahwa ada juga ulama’ yang memperbolehkan kerjasama (akad) muzara’ah dan mukhabarah, seperti: Imam Nawawi mengikuti pendapat Imam Ibnu Mundzir, yaitu memilih untuk memperbolehkannya. Sedangkan jika seseorang itu menyewakan tanah kepada orang dengan memakai emas/ perak atau si-malik berjanji kepada amil akan memberikan makanan yang dapat diketahui dalam tanggungan malik, maka hukumnya boleh.
D. Syarat Dan Rukun Muzara’ah Dan Mukhabarah
Kalau dilihat secara sekilas; dalam artian dalam pandangan umum, syarat dan rukun muzara’ah dan mukhabarah hampir sama dengan syarat dan rukun musaqah. Pada hakikatnya muzara’ah dan mukhabarah ini memang bentuk kerjasama (akad) yang menspesifikkan bentuk musaqah.
-Syarat muzara’ah dan mukhabarah
1)Akad diketahui dan dilaksanakan dalam bentuk perjanjian (tertulis pen).
2)Tanaman yang dipelihara hendaknya jelas, dapat dilihat dengan mata telanjang.
3)Hendaknya jelas pembagian hasilnya; baik bagi pemilik maupun bagi penggarap (tertera dalam perjanjian tertulis pen).
-Rukun muzara’ah dan mukhabarah
1)Adanya kedua belah pihak, pemilik dan penggarap.
2)Pemilik maupun penggarap adalah orang yang berhak membelanjakan hartanya.
3)Jelasnya kebun yang diolah.
4)Jelasnya tanaman yang akan ditanam.
5)Hasil yang diperoleh berupa buah, daun, kayu, atau yang lainnya yang masih merupakan bagian dari tanaman yang ditanam.
6)Adanya akad yang jelas (perjanjian tertulis pen).
E. Kewajiban Membayar Zakat Dalam Akad Muzara’ah Dan Mukabarah
Pada prinsipnya ketentuan wajib zakat, ditekankan kepada orang yang mampu dan harta yang dimiliki sudah mencapai nishab. Dalam bentuk kerjasama muzara’ah dan mukhabarah ini, zakat diwajibkan kepada pihak yang mempunyai benih.
Dalam kerjasama (akad) muzara’ah, zakat diwajibkan kepada pihak pemilik tanah; karena pada hakikatnya pihak inilah yang bertanam dan penggarap hanya mengambil upah kerja.
Sedangkan dalam kerjasama (akad) mukhabarah, zakat diwajibkan kepada pihak penggarap; karena pada hakikatnya pihak inilah yang bertanam dan pemilik tanah seolah-olah mengambil sewa tanahnya.
F. Hikmah Dari Muzara’ah Dan Mukhabarah
1.Terwujudnya kerjasama antara si-kaya dengan si-miskin, sebagai realisasi ukhuwah islamiyah.
2.Memberikan lapangan pekerjaan kepada orang yang tidak mempunyai kebun tetapi punya potensi untuk menggarap kebun dengan baik.
3.Menghindari praktek-praktek pemerasan dari pihak yang kaya terhadap si-miskin.
4.Memberikan harapan bagi penggarap tanah untuk mempunyai penghasilan.
5.Harta tidak hanya beredar diantara golongan orang-orang kaya saja.
F. Analisis
Mau ataupun tidak mau harus diakui hukum tentang muzara’ah dan mukhabarah adalah salah satu diantara beberapa hukum fiqh yang terjadi kontradiksi antara ulama’. Namun demikian dalam memaknai realita sosial yang ada sekarang ini para ulama’ khalaf lebih cenderung untuk memperbolehkan hukum muzara’ah dan mukhabarah.
Bila ditinjau lebih lanjut muzara’ah dan mukhabarah merupakan penspesifikan dari musaqah. Secara sekilas memang keduanya menyangkut dan membehas tentang pemilik tanah dan pengelolanya. Dalam syarat dan rukunnya pun bila memakai sudut pandang umum akan diketemukan kesamaan yang cukup mendasar.
Bila menilik kenapa para ulama’ salaf melarang praktek muzara’ah dan mukhabarah; ternyata para ulama’ salaf ini cenderung menilai bahwa dalam kerjasama muzara’ah dan mukhabarah ini banyak sekali terjadi unsur-unsur penipuan dan kecurangan. Namun pada zaman sekarang ini unsur-unsur tersebut sudah dapat diminimalisir oleh hukum-hukum positif negara indonesia yang notabenenya merupakan negara hukum. Beginilah landasan dasar mengapa para ulama’ khalaf memperbolehkan kerjasama dalam bentuk muzara’ah dan mukhabarah.
Hukum-hukum fiqh memang sebuah hukum yang dibuat dalam ranah horisontal; dalam artian hukum fiqh mengatur hubungan sosial ataupun yang lainnya yang akan selalu mewarnai perjalanan manusia dalam mengarungi samudera kehidupan ini.
G. Kesimpulan
Muzara’ah yaitu kerjasama antar pemilik sawah/ ladang dan penggarap sawah/ ladang, dengan benih berasal dari pihak pemilik sawah/ ladang. Kerjasama (akad) muzara’ah ini biasanya dilakukan dalam tanaman yang harga benihnya relatif mahal, seperti: cengkeh, pala, vanili, jeruk manis dan sebagainya.
Mukhabarah yaitu kerjasama antara pemilik sawah/ ladang dengan penggarap sawah/ ladang (petani). Dengan benih berasal dari pihak penggarap sawah/ ladang (petani). Dalam kerjasama (akad) mukhabarah ini umumnya dilakukan dalam tanaman yang harga benihnya relatif murah, seperti: padi, jagung, kacang, gandum dan sebagainya.
Hukum asal dari kerjasama (akad) muzara’ah dan mukhabarah adalah mubah. Namun apabila dikhawatirkan adanya unsur kecurangan dari salah satu pihak, maka sebaiknya tidak dilaksanakan.
Kalau dilihat secara sekilas; dalam artian dalam pandangan umum, syarat dan rukun muzara’ah dan mukhabarah hampir sama dengan syarat dan rukun musaqah. Pada hakikatnya muzara’ah dan mukhabarah ini memang bentuk kerjasama (akad) yang menspesifikkan bentuk musaqah.
Pada prinsipnya ketentuan wajib zakat, ditekankan kepada orang yang mampu dan harta yang dimiliki sudah mencapai nishab. Dalam bentuk kerjasama muzara’ah dan mukhabarah ini, zakat diwajibkan kepada pihak yang mempunyai benih.
Hukum-hukum fiqh memang sebuah hukum yang dibuat dalam ranah horisontal; dalam artian hukum fiqh mengatur hubungan sosial ataupun yang lainnya yang akan selalu mewarnai perjalanan manusia dalam mengarungi samudera kehidupan ini.

DAFTAR PUSTAKA
Rokhman Rolly A. & Sri Yayuk Wahyuni. 2005. Fikh X MA. JATIM; MCD KanWil Dept.Ag..
Suparta HM.. 2004. Fiqh. Semarang; Toha Putra.
Abu Imron Amar (Pent). 1983. Fathul Qorib. Kudus; Menara Kudus.
Rasyid Sulaiman. 1981. Fiqh Islam. Cet. ke-18. Jakarta; At-Thohiriyyah.
As Hasby Shiddieqy. 2001. Pengantar Fiqh mu’ammalah. Cet. ke-3. Semarang; Pustaka Rizqi putra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar