welcome to the free zone...your expression is amazing...

Sabtu, 31 Juli 2010

1 Abad Lirboyo

Terinspirasi sebuah seremonial spektakuler atas perayaan ulang tahun satu abad pondok pesantren Lirboyo, kami mencoba untuk memberi persembahan reflektif kepada teman-teman seperjuangan dalam mengarungi bahtera keilmuan mulai dari belahan dunia bagian “timur” sampai “barat”.
Belum ada sebulan yang lalu; begitu menginjakkan kaki dipelataran pesantren, kultur dan suasana pondok langsung berhembus memenuhi rongga dada kami sehingga serasa ia begitu lekat menempel dalam memoar kami meskipun kini kami sudah bukan lagi santri berkopyah yang menenteng kitab kuning dengan berjalan kaki – dan bahkan mungkin tanpa alas kaki – pergi kesurau pengajian selepas jama’ah maghrib terpenuhi. Kami datang dengan keangkuhan seorang alumni (baca: jebolan) yang pernah meretas ilmu diatas tanahnya yang subur yang mampu menghasilkan gula-gula manis bagi para pecinta kopi. Masih segar dalam ingatan kami bagaimana tradisi kajian turats yang begitu memabukkan dengan diiringi lantunan bait-bait qoidah gramatikal arabnya; Sungguh indah sayup-sayup alunan dan ritmenya dalam kredo tradisi salafi ditanah jawa ini. Ritual shalat malam dan istighosah yang membuai ditengah lelapnya malam selalu kami dendangkan untuk mengisi nurani kami dengan kalam Ilahi.
Terlepas dari nostalgia dan romantisme pesantren diatas kami ingin mengajak kita merefleksikan kembali langkah-langkah yang kita tempuh selama ini setelah meninggalkan gerbang kemegahan dan kesahajaan Lirboyo. Masihkah ritual yang oleh para masyayih ditanamkan dalam sanubari para santri kita jalankan setelah kita tak lagi menjadi bagian dari kerajaan kecil mereka? Lalu kemanakah kesederhanaan yang dulu pernah dituturkan dalam kitab kuning yang penuh dengan coretan makna ketika kita masih menjadi tuannya. Sisi-sisi intuisitas-religius kita seolah tercerabut dari ruang yang semestinya. Terlebih dari itu apakah kita bisa meresapi momen satu abad yang baru saja terlewati sebagai sebuah transisi nilai sejarah yang terukir lewat perjuangan dan tetesan keringat mu’asis ma’had ataukah hanya sebagai ajang meramaikan tradisi milad yang sudah menjadi ritus-ritus peradaban manusia.
Arah selanjutnya dari perbincangan reflektif kita terletak dalam sebuah pertanyaan yang seharusnya tidak perlu dipertanyakan lagi kepada teman-teman akademisi; yakni bagaimana kita mentransformasikan nilai keislaman bukan sebatas dalam kerangka budaya pesantren ketika kita masih menjadi bagian darinya, tetapi juga meneruskannya dalam kerangka budaya akademisi. Dan bahwa Islam bukan hanya sebatas seperti apa yang tergambar dari dalam bilik keilmuan pesantren. Islam yang begitu berwarna yang tidak pernah lepas dari perbedaan-perbedaan sehingga mewajibkan kita sebagai kaum akademisi untuk lebih terbuka baik dalam segi wawasan maupun sikap terhadapnya.
Banyak jalan yang bisa kita lakukan untuk melaksanakannya, tinggal seberapa besar kemauan kita untuk berdialog dengan pengetahuan yang terbentang luas dihadapan kita. Tinggal bagaimana kita mau dengan sungguh-sungguh menjalaninya ataukah hanya menjadi penyimak yang tak punya andil apa-apa terhadap terciptanya sejarah keilmuan Islam yang penuh dengan coretan yang bernuansa manusiawi. Dan ketika kita sebagai pewaris label santri mampu untuk menciptakan karya yang bisa mentransformasikan nilai-nilai keislaman itu sendiri, maka kita sebagai seorang akademisi takkan lagi terstigma oleh prespektif yang keliru – yang muncul dari rasa kekhawatiran yang terlalu dibuat-buat – yang datang dari dalam tubuh kita sendiri (baca: pesantren).
Penataan ulang terhadap interpretasi dunia akademisi diluar pesantren membawa kita pada sebuah paradoksal. Disatu sisi rasa waspada terhadap budaya hedonism dan “paham-paham lain” dengan tanpa adanya pengawasan yang ketat dari pihak-pihak yang menurut persepsi mereka sendiri sudah mempunyai kapabilitas untuk mengatur langkah dan cara hidup kita masih saja mengekang kita sehingga memaksa kita untuk tidak berani mengambil sikap atas kebebasan memilih. Namun disisi yang lain kematangan karakteristik kita takkan bisa terbentuk ketika kemandirian masih saja dibatasi oleh kekhawatiran akan lepas control terpengaruh budaya liberalis dan aliran “kiri”. Lalu pertanyaan yang kemudian muncul adalah seberapa dalam mereka bisa mengukur kematangan karakter kita atau sudahkah kita kita mampu mengukur kematangan karakteristik kita sendiri sampai saat ini sehingga kita layak untuk bisa hidup mandiri dengan penuh kedewasaan dan tanggung jawab?

* Tulisan singkat ini kami buat 2 minggu setelah moment akbar tersebut berlangsung dan kami persembahkan atas dorongan sahabat kami dari matrik jogja; semoga bisa memberi semangat reflektif kepada kita semua