welcome to the free zone...your expression is amazing...

Sabtu, 04 Desember 2010

Analisis Sekolah Berstandar Internasional

A. Latar Belakang
Ketertinggalan Indonesia di berbagai bidang di era globalisasi dibandingkan negara-negara tetangga rupanya menyebabkan pemerintah terdorong untuk memacu diri untuk memiliki standar internasional dalam segala sektor. Sektor pendidikan termasuk salah satu sektor, yang mendapatkan prioritas dalam menjaga gengsi bangsa (pemerintah), yang didorong untuk mampu berstandar internasional. Akhir-akhir ini ramai dibicarakan Sekolah Bertaraf Internasional atau SBI. Sebuah kebijakan pemerintah Indonesia untuk memperbaiki kualitas pendidikan nasional agar memiliki daya saing dengan negara-negara maju lainnya.
Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) merupakan sebuah jenjang sekolah nasional di Indonesia dengan standar mutu internasional. Proses belajar mengajar di sekolah ini menekankan pengembangan daya kreasi, inovasi, dan eksperimentasi untuk memacu ide-ide baru yang belum pernah ada. Pengembangan SBI di Indonesia didasari oleh Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 Ayat 3. Dalam ketentuan ini, pemerintah didorong untuk mengembangkan satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Standar internasional yang dituntut dalam SBI adalah standar kompetensi lulusan, kurikulum, proses belajar mengajar, SDM, fasilitas, manajemen, pembiayaan, dan penilaian standar internasional. Dalam SBI, proses belajar mengajar disampaikan dalam dua bahasa yaitu bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.
Sebagai civitas akademik, kita tentunya tidak boleh begitu saja menelan mentah-mentah setiap kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah dalam hal pendidikan. Seperti kita ketahui bersama, bahwa kebijakan – tanpa bermaksud menegasikan hakikat mulia dari makna kebijakan itu sendiri – merupakan “alat politik” yang sarat dengan kepentingan dan tendensi yang mendasarinya. Maka alangkah lebih bijak apabila kita tilik lebih dalam seperti apa konsepsi dan implementasi dari Sekolah Bertaraf internasional (SBI) yang digadang-gadang bakal meninggikan harkat dan martabat bangsa Indonesia dimata dunia internasional. Dalam kesempatan kali ini penulis mencoba untuk membahas Sekolah Berstandar Internasional (SBI) dalam tataran konseptual dan implementasinya. Kemudian penulis paparkan berbagai kritik yang dilontarkan terhadap konsepsi dan implementasi dari Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) ini. Dan diakhir tulisan ini penulis mencoba memberikan analisis singkat dalam rangka bentuk tanggung jawab penulis sebagai civitas akademik.

B. Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dalam Tataran Konseptual
1. Latar belakang Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
Adapun latar belakang dari kebijakan tentang Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) adalah:
a. Pada tahun 90-an, banyak sekolah-sekolah yang didirikan oleh suatu yayasan dengan menggunakan identitas internasional tetapi tidak jelas kualitas dan standarnya;
b. Banyak orang tua yang mampu secara ekonomi memilih menyekolahkan anaknya ke Luar Negeri;
c. Belum ada payung hukum yang mengatur penyelenggaraan sekolah internasional;
d. Perlunya membangun sekolah berkualitas sebagai pusat unggulan (center of excellence) pendidikan;
e. Atas fenomena di atas, Pemerintah mulai mengatur dan merintis sekolah bertaraf internasional;
f. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia perlu pengakuan secara internasional terhadap kualitas proses, dan hasil pendidikannya.
2. Landasan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
Sebagai sebuah kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, seharusnya Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) memiliki landasan hukum yang jelas dan diatur dalam konstitusi Negara. Adapun landasan konstitusional dari Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) adalah:
a. UU Sisdiknas Pasal 50 Ayat 3
“Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”.
b. PP No.19/2005 (Standar Nasional Pendidikan).
c. PP No. 17/2010 (Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan).
d. Permendiknas No. 63/2009 (Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan).
e. Permendiknas No. 78/2009 (Penyelenggaraan SBI pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah).
Adapun penyelenggaraan dari SBI ini didasarkan pada landasan filosofi eksistensialisme dan esensialisme (fungsionalisme). Filosofi eksistensialisme berkeyakinan bahwa pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui fasilitas yang dilaksanakan melalui proses pendidikan yang bermartabat, pro-perubahan, kreatif, inovatif, eksperimentif, menumbuhkan dan mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan peserta didik. Filosofi eksistensialisme berpandangan bahwa dalam proses belajar mengajar, peserta didik harus diberi perlakuan secara maksimal untuk mengaktualkan, mengeksiskan, menyalurkan semua potensinya, baik potensi (kompetensi) intelektual (IQ), emosional (EQ), dan Spiritual (SQ). Filosofi esensialisme menekankan bahwa pendidikan harus berfungsi dan relevan dengan kebutuhan. Terkait dengan tuntutan globalisasi, pendidikan harus menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang mampu bersaing secara internasional.
3. Rumusan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
Rumusan dari SBI sebagaimana yang tertuang dalam rencana pengembangan pendidikan oleh Direktur Pendidikan adalah SNP + X (OECD) maksudnya adalah SNP singkatan dari Standar Nasional Pendidikan plus X. Sedangkan OECD singkatan dari Organization for Economic Co-operation and Development atau sebuah organisasi kerjasama antar negara dalam bidang ekonomi dan pengembangan. Anggota organisasi ini biasanya memiliki keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan yang telah diakui standarnya secara internasional. Yang termasuk anggota OECD ialah: Australia, Austria, Belgium, Canada, Czech Republic, Denmark, Finland, France, Germany, Greece, Hungary, Iceland, Ireland, Italy, Japan, Korea, Luxembourg, Mexico, Netherlands, New Zealand, Norway, Poland, Portugal, Slovak Republic, Spain, Sweden, Switzerland, Turkey, United Kingdom, United States dan Negara maju lainnya seperti Chile, Estonia, Israel, Russia, Slovenia, Singapore, dan Hongkong.
Sebagaimana dalam “Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah tahun 2007”, bahwa sekolah/madarasah internasional adalah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu Negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan /atau Negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, sehingga memiliki daya saing di forum internasional.
Jadi, SNP + X di atas artinya bahwa dalam penyelenggaraan SBI, sekolah/madrasah harus memenuhi Standar Nasional Pendidikan (Indonesia) dan ditambah dengan indikator X, maksudnya ditambah atau diperkaya/dikembangkan/diperluas/diperdalam dengan standar anggota OECD di atas atau dengan pusat-pusat pelatihan, industri, lembaga-lembaga tes/sertifikasi internasional, seperti Cambridge, IB, TOEFL/TOEIC, ISO (International Organization for Standardization), pusat-pusat studi dan organisasi-organisasi multilateral seperti UNESCO, UNICEF, SEAMEO, dan sebagainya.

4. Karakteristik Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
1). Karakteristik visi
Dalam sebuah lembaga/organisasi, menentukan visi sangat penting sebagai arahan dan tujuan yang akan dicapai. Tony Bush & Merianne Coleman menjelaskan visi untuk menggambarkan masa depan organisasi yang diinginkan. Itu berkaitan erat dengan tujuan sekolah atau perguruan tinggi, yang diekspresikan dalam terma-terma nilai dan menjelaskan arah organisasi yang diinginkan. Tony Bush & Merianne Coleman mengutip pendapat Block, bahwa visi adalah masa depan yang dipilih, sebuah keadaan yang diinginkan. Sedangkan visi Sekolah Bertaraf Internasional adalah: Terwujudnya Insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional. Visi ini mengisyaratkan secara tidak langsung gambaran tujuan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah model SBI, yaitu mewujudkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif/memiliki daya saing secara internasional.
2). Karakteristik Esensial
Karakteristik esensial dalam indikator kunci minimal (SNP) dan indikator kunci tambahan (x) sebagai jaminan mutu pendidikan bertaraf internasional dapat dilihat pada table di bawah ini.
Karakteristik Esensial SMP-SBI sebagai Penjaminan Mutu Pendidikan Bertaraf Internasional.
No Obyek Penjaminan Mutu (Unsur Pendidikan dalam SNP) Indikator Kinerja Kunci Minimal (dalam SNP) Indikator Kinerja Kunci Tambahan sebagai (x-nya)
I Akreditasi Berakreditasi A dari BAN-Sekolah dan Madrasah Berakreditasi tambahan dari badan akreditasi sekolah pada salah satu lembaga akreditasi pada salah satu negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keung-gulan tertentu dalam bidang pendidikan
II Kurikulum (Standar Isi) dan Standar Kompe-tensi lulusan Menerapkan KTSP Sekolah telah menerapkan sistem administrasi akademik berbasis teknologi Informasi dan Komu-nikasi (TIK) dimana setiap siswa dapat meng-akses transkipnya masing-masing.
Memenuhi Standar Isi Muatan pelajaramn (isis) dalam kurikulum telah setara atau lebih tinggi dari muatan pelajaran yang sama pada sekolah unggul dari salah satu negara diantara 30 negara anggota OECD dan/atau dari negara maju lainnya.
Memenuhi SKL Penerapan standar kelulusan yang setara atau lebih tinggi dari SNP
Meraih mendali tingkat internasional pada berbagai kompetensi sains, matematika, tekno-logi, seni, dan olah raga.
III Proses Pembelajaran Memenuhi Standar Proses • Proses pembelajaran pada semua mata pelajaran telah menjadi teladan atau rujukan bagi sekolah lainnya dalam pengembangan akhlak mulia, budi pekerti luhur, kepribadian unggul, kepemimpinan, jiwa kewirausahaan, jiwa patriot, dan jiwa inovator
• Proses pembelajaran telah diperkaya dengan model-model proses pembelajaran sekolah unggul dari salah satu negara diantara 30 negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya.
• Penerapan proses pembelajaran berbasis TIK pada semua mapel
• Pembelajaran pada mapel IPA, Matematika, dan lainnya dengan bahasa Inggris, kecuali mapel bahasa Indonesia.
IV Penilaian Memenuhi Standar Penilai-an Sistem/model penilaian telah diperkaya dengan sistem/model penilaian dari sekolah unggul di salah satu negara diantara 30 negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnnya.
V Pendidik Memenuhi Standar Pen-didik • Guru sains, matematika, dan teknologi mampu mengajar dengan bahasa Inggris
• Semua guru mampu memfasilitasi pem-belajaran berbasis TIK
• Minimal 20% guru berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A
VI Tenaga Kependidikan Memenuhi Standar Tenaga Kependidikan • Kepala sekolah berpendidikan minimal S2 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A
• Kepala sekolah telah menempuh pelatihan kepala sekolah yang diakui oleh Pemerintah
• Kepala sekolah mampu berbahasa Inggris secara aktif
• Kepala sekolah memiliki visi internasional, mampu membangun jejaring internasional, memiliki kompetensi manajerial, serta jiwa kepemimpinan dan enterprenual yang kuat
VII Sarana Prasarana Memenuhi Standar Sarana Prasarana • Setiap ruang kelas dilengkapi sarana pembelajaran berbasis TIK
• Sarana perpustakaan TELAH dilengkapi dengan sarana digital yang memberikan akses ke sumber pembelajaran berbasis TIK di seluruh dunia
• Dilengkapi dengan ruang multi media, ruang unjuk seni budaya, fasilitas olah raga, klinik, dan lain-lain.
VIII Pengelolaan Memenuhi Standar Penge-lolaan • Sekolah meraih sertifikat ISO 9001 versi 2000 atau sesudahnya (2001, dst) dan ISO 14000
• Merupakan sekolah multi kultural
• Sekolah telah menjalin hubungan “sister school” dengan sekolah bertaraf/berstandar internasional diluar negeri
• Sekolah terbebas dari rokok, narkoba, kekerasan, kriminal, pelecehan seksual, dan lain-lain
• Sekolah menerapkan prinsip kesetaraan gender dalam semua aspek pengelolaan sekolah
IX Pembiayaan Memenuhi Standar Pem-biayaan • Menerapkan model pembiayaan yang efisien untuk mencapai berbagai target indikator kunci tambahan
3). Karakteristik Penjaminan Mutu (Quality Assurance)
a). Input
Ciri input SBI ialah (1) telah terakreditasi dari badan akreditasi sekolah di salah negara anggota OECD atau negara maju lainnya, (2) standar lulusan lebih tinggi daripada standar kelulusan nasional, (3) jumlah guru minimal 20% berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A dan mampu berbahasa Inggris aktif. Kepala sekolah minimal S2 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A dan mampu berbahasa Inggris aktif. (4) siswa baru (intake) diseleksi secara ketat melalui saringan rapor SD, ujian akhir sekolah, Scholastic Aptitude Test (SAT), kesehatan fisik, dan tes wawancara. Siswa baru SBI harus memiliki potensi kecerdasan unggul yang ditunjukkan oleh kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual, dan berbakat luar biasa.
b). Proses pembelajaran SBI
Ciri-ciri proses pembelajaran, penilaian, dan penyelenggaraan SBI sebagai berikut: (1) pro-perubahan, yaitu proses pembelajaran yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan daya kreasi, inovasi, nalar, dan eksperimentasi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru, a joy of discovery, (2) menerapkan model pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan; student centered; reflective learning, active learning; enjoyable dan joyful learning, cooperative learning; quantum learning; learning revolution; dan contextual learning, yang kesemuanya itu telah memiliki standar internasional; (3) menerapkan proses pembelajaran berbasis TIK pada semua mata pelajaran; (4) proses pembelajaran menggunakan bahasa Inggris, khususnya mata pelajaran sains, matematika, dan teknologi; (5) proses penilaian dengan menggunakan model penilaian sekolah unggul dari negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya, dan (6) dalam penyelenggaraan SBI harus menggunakan standar manajemen intenasional, yaitu mengimplementasikan dan meraih ISO 9001 versi 2000 atau sesudahnya dan ISO 14000, dan menjalin hubungan sister school dengan sekolah bertaraf internasional di luar negeri.
c). Output (produk)/lulusan SBI
Adalah memiliki kemampuan-kemampuan bertaraf nasional plus internasional sekaligus, yang ditunjukkan oleh penguasaan SNP Indonesia dan penguasaan kemampuan-kemampuan kunci yang diperlukan dalam era global. Ciri-ciri output/outcomes SBI sebagai berikut; (1) lulusan SBI dapat melanjtkan pendidikan pada satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik di dalam negeri maupun luar negeri, (2) lulusan SBI dapat bekerja pada lembaga-lembaga internasional dan/atau negara-negara lain, dan (3) meraih mendali tingkat internasional pada berbagai kompetensi sains, matematika, teknologi, seni, dan olah raga.

C. Implementasi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
1. Partisipasi pemerintah dalam perintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
Adapun yang dicanangkan pemerintah dalam proses menuju Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) adalah sebagai berikut:
1. Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang meliputi:
a. standar isi;
b. Standar proses;
c. Standar kompetensi lulusan;
d. Standar pendidik dan tenaga kependidikan;
e. Standar sarana dan prasarana;
f. Standar pengelolaan;
g. Standar pembiayaan; dan
h. Standar penilaian pendidikan
2. Sekolah yang memenuhi standar minimal SNP diberikan pendampingan, pembimbingan, penguatan, dalam bentuk Rintisan SBI (RSBI)
3. Jenjang menuju Sekolah Berbasis Internasional adalah bahwa sekolah harus memenuhi syarat-syarat dalam jenjang pendidikan yang distandartkan sebagai berikut, yakni: pertama sekolah harus memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP), kemudian memenuhi standar Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), baru bisa disebut sebagai Sekolah Berstandar Internasional (SBI)

Program dan kegiatan yang dicanangkan pemerintah dalam proses perintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) adalah sebagai berikut:
1. Mempersiapkan kurikulum yang mengacu pada kurikulum negara maju
2. Meningkatkan kualitas proses pembelajaran
3. Melatih guru dalam pemanfaatan TIK dalam proses pembelajaran
4. Meningkatkan kompetensi dan kualifikasi guru
5. Mendapatkan pendampingan dari Tenaga Ahli
6. Menjalin sister school
7. Meningkatkan kemampuan guru dalam berbahasa internasional
8. Menerapkan Sistem Manajemen Mutu (ISO)
9. Menyelenggarakan pelatihan leadership untuk Kepala Sekolah
10. Melengkapi sarana sekolah
Adapun dari segi pembiayaan pemerintah menetapkan rincian anggaran sebagai berikut:
SUMBER BIAYA PENGGUNAAN
APBN Untuk biaya operasional dalam rangka
pengembangan kapasitas untuk menuju
standar kualitas SBI
1.Proses Pembelajaran (30%)
2.Sarana penunjang PBM (25%)
3.Manajemen Maksimal 20%
4.Subsidi siswa miskin dan kesiswaan (25%)
APBD Prov/Kab/Kota Untuk biaya investasi dan biaya operasional
rutin
Masyarakat dan atau Orang Tua Biaya investasi dan operasional untuk
menutup kekurangan biaya dari APBN dan
APBD untuk menuju standar kualitas SBI
Dan dalam evaluasi dari program perintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), Direktorat Pendidikan mencoba merencanakan sistem evaluasi sebagai berikut:
Evaluasi dilakukan setiap tahun untuk melihat kemajuan kinerja sekolah, meliputi:
a. Kemampuan penguasaan bahasa asing guru dan siswa dengan menggunakan instrumen TOEFL dan TOEIC
b. Kemampuan penguasaan siswa dalam mata pelajaran matematika dan IPA serta kompetensi keahlian (SMK)
c. Kelengkapan infrastruktur
d. Kelengkapan Bahan ajar (buku, peralatan)
e. Kepemimpinan Kepala Sekolah
f. Komitmen Pemda dalam mendukung RSBI
2. Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang semakin diminati
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) untuk tingkat SMU dan SMP ternyata semakin diminati oeh masyarakat. Terbukti dengan meningkatnya jumlah pendaftar ke sekolah tersebut. Daya tampung Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) rata-rata adalah 404 siswa yang dibagi dalam 12 kelas biasa dan satu kelas akselerasi. Tentunya jumlah yang relative sedikit dibandingkan antusiame pendaftar yang mencapai 1.000 pendaftar di setiap RSBI. Menurut panitia penerimaan siswa baru disalah satu Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), peningkatan jumlah pendaftar selain disebabkan oleh meningkatnya minat masyarakat untuk bersekolah di RSBI, juga disebabkan proses pendaftaran yang semakin mudah dengan cara "online" dan tidak perlu datang ke sekolah.

D. Kritik Terhadap Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
Tujuan utama penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional adalah upaya perbaikan kualitas pendidikan nasional, khususnya supaya eksistensi pendidikan nasional Indonesia diakui di mata dunia dan memiliki daya saing dengan negara-negara maju lainnya.
Kebijakan pemerintah mengenai SBI selain didukung secara konstitusi dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 50 ayat (3), SBI juga merupakan proyek prestisius, karena akan dibiayai oleh Pemerintah Pusat 50%, Pemerintah Propinsi 30%, dan Pemerintah Kabupaten/Kota 20%. Padahal, untuk setiap sekolahnya saja Pemerintah Pusat mengeluarkan 300 juta rupiah setiap tahun paling tidak selama 3 (tiga) tahun dalam masa rintisan tersebut.
Sejak dilendingkan kebijakan SBI, pemerintah menuai pujian dan juga kritikan, baik itu pujian bahwa kebijakan SBI merupakan langkah maju untuk memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia, maupun kritikan bahwa konsep ini tidak didahului dengan studi secara mendalam. Dan disini penulis cenderung untuk memaparkan berbagai analisis yang dilakukan oleh beberapa pakar pendidikan dalam mengkritisi kebijakan SBI yang menurut mereka sangat tidak relevan dan cenderung akan mengalami banyak anomaly dikemudian hari. Diantara kritik terhadap SBI yakni:
1. Pendidikan yang diskriminatif dan eksklusif
Penyelenggaraan SBI akan melahirkan konsep pendidikan yang diskriminatif (hanya diperuntukkan bagi siswa yang memiliki kemam-puan/kecerdasan unggul) dan ekslusif (pendidikan bagi anak orang kaya). Output SBI yang sudah ada akan diarahkan kemana nantinya, terutama ketika mereka akan menginjakkan pendidikan di Universitas.
2. Rumusan konseptual yang tidak jelas
Dalam kurikulum SBI ada rumus SNP + X. Artinya Standar Nasional Pendidikan ditambah atau diperkaya/dikembangkan/diperluas/diperdalam dengan standar internasional dari salah satu anggota OECD atau lembaga tes/sertifikasi internasional.
Faktor X dalam rumus di atas tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas. Sebab, konsep ini tidak menjelaskan lembaga/negara tertentu yang harus diadaptasi/diadopsi standarnya, dan faktor apa saja yang harus ditambah/diperkaya/dikembangkan/diperluas/diperdalam? Apakah sistem pembelajaran bahasanya, teknologinya, ekonominya, dan lain-lain. Sehingga menurut Satria Dharma, mungkin ini merupakan strategi agar target yang hendak dikejar menjadi longgar dan sulit untuk diukur.
konsep ini berangkat dari asumsi yang salah tentang penguasaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan hubungannya dengan nilai TOEFL. Penggagas mengasumsikan bahwa untuk dapat mengajar hard science dalam pengantar bahasa Inggris maka guru harus memiliki TOEFL >500. Padahal tidak ada hubungan antara nilai TOEFL dengan kemampuan mengajar hard science dalam bahasa Inggris. Skor TOEFL yang tinggi belum menjamin kefasihan dan kemampuan orang dalam menyampaikan gagasan dalam bahasa Inggris. Banyak orang yang memiliki nilai TOEFL <500 yang lebih fasih berbahasa Inggris dibandingkan orang yang memiliki nilai TOEFL >500 . Singkatnya, menjadikan nilai TOEFL sebagai patokan keberhasilan pengajaran hard science bertaraf internasional adalah asumsi yang keliru. TOEFL lebih cenderung mengukur kompetensi seseorang, padahal yang dibutuhkan guru sekolah bilingual adalah performance-nya, dan performance ini banyak dipengaruhi faktor-faktor non-linguistik. TOEFL bukanlah ukuran kompetensi pedagogik.
3. Pendidikan yang berorientasi materiil
Konsep SBI cenderung lebih menekankan pada alat daripada proses. Indikasi ini nampak ketika penyelenggaraan SBI lebih mementingkan alat/media pembelajaran yang canggih, bilingual sebagai medium of instruction, berstandar internasional, daripada proses penanaman nilai pada peserta didik. Prof Djohar menyatakan bahwa tuntutan pendidikan global jangan diartikan hanya mempersoalkan kedudukan pendidikan kita terhadap rangking kita dengan negara-negara lain, akan tetapi harus kita arahkan kepada perbaikan pendidikan kita demi eksistensi anak bangsa kita untuk hidup di alam percaturan global, dengan kreativitasnya, dengan EI-nya dan dengan AQ-nya, dan dengan pengetahuannya yang tidak lepas dari kenyataan hidup nyata mereka.
4. Berpotensi pada komersialisasi pendidikan
Lahirnya SBI bisa membawa dampak komersialisasi pendidikan kepada para pelanggan jasa pendidikan, semisal masyarakat, siswa atau orang tua. Indikasi ini nampak ketika sekolah SBI menarik puluhan juta kepada siswa baru yang ingin masuk sekolah SBI. Hal ini dilakukan dengan dalih bahwa sekolah tersebut bertaraf internasional, dilengkapi dengan sistem pembelajaran yang mengacu pada negara anggota OECD, menggunakan teknologi informasi canggih, bilingual, dan lain-lain. SBI pada sekolah swasta akan berbeda pula besaran dananya, mengingat kucuran dari pemerintah mengalami seleksi khusus, jadi masyarakat yang tertarik dengan nama SBI dan itu pada sekolah swasta akan mengeluarkan dana besar, tentunya permasalahan ini akan kembali lagi pada mampu tidaknya seseorang untuk melanjutkan pendidikan, ironis sekali dengan pencanangan sekolah gratis yang diprogramkan pemerintah akhir-akhir ini. Menjamurnya SBI di Indonesia dapat ditakutkan akan menjadi lahan bisnis dalam dunia pendidikan dan kembali lagi masyarakat akan jadi korban.
5. Bertolak belakang dengan semangat otonomi dan independensi sekolah (MBS)
SBI tentunya sangat bertentangan dengan semangat MBS. Bergulirnya otonomi sekolah melahirkan sistem Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Menurut Prof. Djohar, MBS digunakan sebagai legitimasi untuk menentukan kebijakan sistem pembelajaran di sekolah. Sekolah memiliki kemerdekaan untuk menentukan kebijakan yang diambil, termasuk kemerdekaan guru dan siswa untuk menentukan sistem pembelajarannya.

E. Kesimpulan
Dari kajian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) merupakan upaya pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia agar mempunyai daya saing dengan negara maju di era global. Salah satunya dengan mengadopsi standar internasional anggota OECD sebagai faktor kunci tambahan di samping Standar Nasional Pendidikan. Dalam perjalanannya, kebijakan SBI mulai terlihat beberapa kelemahan, baik secara konseptual maupun implementasinya. Pemerintah sebaiknya melakukan pelbagai langkah perbaikan konsep dengan melibatkan pelbagai unsur/stakeholders pendidikan dan melakukan studi/penelitian mendalam dengan melibatkan lebih banyak publik, dan tidak sekedar memenuhi syarat minimal birokrasi. Perlu diingat bahwa masyarakatlah yang membiayai dan yang akan menjadi end-user dari produk ini.
Ditilik dari latar belakang munculnya SBI versi Mendiknas, seolah pemerintah tidak melihat (jika tidak ingin dikatakan buta dan ceroboh) terhadap realitas pendidikan yang terjadi di bangsanya sendiri. Untuk apa dan siapa SBI ini juga masih menjadi polemik, karena siswa SBI didominasi oleh masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke atas, selain itu siswa SBI hanya untuk siswa diatas rata-rata SNP. Dari pelaksanaannya pun banyak kelemahan yang harus dipertimbangkan, diantaranya proses belajar mengajar dengan menekankan pemakaian bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar justru akan menurunkan kapasitas guru dalam proses pembelajarannya. Karena content dari materi harus dipersulit lagi dengan penggunaan istilah bahasa Inggris. Pemahaman siswa terhadap materi pun akhirnya menjadi korban. Karena penyerapan materi yang diberikan dipersulit dengan penyerapan artikulasi guru dalam menerangkan materi dengan bahasa Inggris. Output SBI juga masih samar terutama ketika siswa ingin melangkahkan pendidikan lanjutan. Perlu dipertanyakan juga apakah para orang tua siswa mampu secara finansial memberikan biaya anaknya untuk berkuliah di luar negeri. Menjamurnya Sekolah Berbasis Internasional (SBI) juga berpotensi dalam upaya manipulatif lembaga pendidikan yang tidak jujur untuk mengaku-aku telah berstandar internasional demi sebuah prestise dan masukan dana yang tidak sedikit dari pemerintah pusat, pemerintah daerah dan tentunya masyarakat sebagai pengguna utama. Seharusnya pemerintah jeli dan mengkaji lebih jauh dan menyeluruh terhadap relevansi dan signifikansi Sekolah Berstandar Internasional (SBI) sebelum membuat kebijakan pendidikan agar peningkatan pendidikan di Indonesia melonjak, bukan berarti melonjak adalah mengikuti/menyamai luar negeri tapi mendongkrak masyarakat bawah yang sebelumnya awam pendidikan menjadi paham pendidikan. Program SBI sendiri perlu mendapat evaluasi yang mendalam agar fungsional dan untuk siapa SBI dicanangkan menjadi jelas.

DAFTAR PUSTAKA
Bush, Tony & Coleman, Merianne. Manajemen Strategis Kepemimpinan Pendidikan.(terj. oleh Fahrurozi). Yogyakarta: IRCiSoD. 2006.
Djohar. Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan. Yogyakarta: CV. Grafika Indah. 2006.
Haryana, Kir. Konsep Sekolah Bertaraf Internasional (artikel). Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama. 2007.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sekolah_bertaraf_internasional. Diakses pada tanggal 05 November 2010.
http://images.derizzain.multiply.multiplycontent.com/Kebijakan%20Sekolah%20Bertaraf%20Internasional.rtf?. Didownload pada tanggal 05 November 2010. Didownload pada tanggal 05 November 2010.
http://www.antaranews.com/view/?i=1243986104&c=NAS&s=PDK. Diakses pada tanggal 05 November 2010.
http://www.eramuslim.com/berita/infoumat/menyoalsekolahbertarafinternasional.html. Diakses pada tanggal 05 November 2010.
http://www.inherent-dikti.net.files.sisdiknas.pdf. Didownload pada tanggal 07 November 2010.
http://www.kabarindonesia.com. Diakses pada tanggal 05 November 2010.
http:// www.mandikdasmen.depdiknas.go.iddocsdok_34.pdf. Didownload pada tanggal 05 November 2010.
http://www.mandikdasmen.depdiknas.go.iddocsdok_34.pdf. Didownload pada tanggal 05 November 2010.
http://satriadharma.wordpress.com/2007/09/19/sekolah-bertaraf-internasional-quovadiz/. Diakses pada tanggal 05 November 2010.
Usman, Husaini. Manajemen Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2006.

Kamis, 02 Desember 2010

SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS; Tokoh Islamisasi Ilmu Pengetahuan

A. Latar Belakang
Dunia Islam saat ini tengah mengalami dekadensi multidimensi. Problem yang semakin kritis ini menuntut segera dilaksanakannya upaya pemecahan secara mendesak. Menurut sinyalemen para pemikir Muslim kontemporer, permasalahan yang kompleks ini terkait keadaan stagnan dari para ilmuwan Muslim yang sampai saat ini belum mampu mencetuskan sebuah pengembangan baru kajian ilmu pengetahuan. Tanpa bermaksud untuk mengenang romantisme sejarah, Islam pernah mengalami masa keemasan peradaban, dengan tidak mengesampingkan faktor-faktor yang lain, juga disebabkan banyaknya karya-karya filsafat Yunani yang disadur oleh para pemikir Muslim untuk kemudian diasimilasikan dan dirumuskan menjadi sebuah pemikiran filsafat Islam. Pada masa inilah islamisasi ilmu pengetahuan mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan dalam dunia Islam. Pada saat yang sama justru bangsa-bangsa Barat mengalami kemunduran peradaban dikarenakan sikap ortodoksi mereka terhadap dogma-dogma agama ciptaan mereka sendiri. Ketika kejayaan Islam runtuh, banyak literatur ilmu pengetahuan Islam diadopsi (dirampas) oleh bangsa Eropa sehingga Barat mengalami kemajuan yang pesat dalam ilmu pengetahuan.
Melihat stagnasi pemikiran ilmuwan Muslim dalam pengembangan ilmu pengetahuan saat ini, tentunya masalah urgen yang harus segera diselesaikan demi menumbuhkan progesifitas pengembangan ilmu pengetahuan adalah masalah dalam dunia pendidikan Islam. Sebagaimana diakui oleh para pemikir pendidikan Islam, bahwa degradasi pemikiran Islam disinyalir akibat dari kurangnya landasan epistemologi Islam dalam dunia pendidikan Islam itu sendiri. Terlebih lagi umat Islam selama ini di”nina-bobok”kan oleh sikap fatalistik yang diwariskan secara turun temurun. Sikap yang sebenarnya bertentangan dengan semangat al-Qur’an ini harus dibuang jauh-jauh untuk mewujudkan konsep insan kamil seperti yang digadang-gadang oleh al-Qur’an dan Sunah Nabi.
Sekuralisme sebagaimana yang ditulis tinta sejarah mulai muncul ketika Eropa (Barat) mengalami zaman renaissance. Sekuralisme sendiri adalah konsekuensi paradigmatis yang berakar dari landasan epistemologi ilmu pengetahuan yang dibangun oleh para ilmuwan Barat. Para ilmuwan Barat secara frontal menolak campur tangan agama dalam masalah ilmu pengetahuan. Sebenarnya penolakan ini lebih disebabkan karena pertentangan dogma-dogma agama Kristen, yang dianut oleh mayoritas kaum akademis dunia Barat, yang tidak selaras dan tidak mampu berjalan beriringan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Dogma-dogma agama Kristiani disinyalir tidak sesuai dengan kebenaran ilmiah dari ilmu pengetahuan.
Di dunia Islam sendiri, sekuralisme sampai saat ini masih menjadi perdebatan yang sengit dari berbagai pemikir Islam. Para pemikir Islam kontemporer mencoba menjawab tantangan sekularisme yang terjadi di Barat dengan konsep “islamisasi ilmu pengetahuan”. Terlepas dari pro-kontra terhadap konsep itu sendiri, sebab kemunculan islamisasi ilmu pengetahuan tidak bisa dilepaskan dari ketimpangan-ketimpangan yang merupakan akibat langsung dari keterpisahan sains dan agama. Tokoh-tokoh pendukung islamisasi ilmu pengetahuan antara lain Naquib Al-Attas, Ismail Raji al-Faruqi, Hussein Nasr, dan Ziauddin Sardar.
Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengarahkan konsentrasi kajian ini terhadap salah satu tokoh dari sekian banyak tokoh “islamisasi ilmu pengetahuan” yaitu Syed Naquib Al-Attas. Dikarenakan banyak hal yang menarik untuk dikaji dari pemikiran-pemikirannya. Disamping itu Syed Naquib al-Attas juga memberikan sumbangsih yang tidak bisa dinafikan dalam dunia pendidikan Islam baik secara konseptual maupun praksisnya. Naquib secara sistematis merumuskan strategi Islamisasi ilmu dalam bentuk kurikulum pendidikan untuk umat Islam.

B. Biografi Syed Muhammad Naquib al-Attas
1. Silsilah keturunan
Naquib al-Attas bernama lengkap Syed Muhammad Naquib al-Attas ibn Ali ibn Abdullah ibn Muhsin ibn Muhammad al-Attas. Silsilah keluarga Naquib dapat dilacak melalui silsilah sayyid keluarga Ba’alawi dari Hadramaut yang sampai kepada Imam Husein, cucu Nabi Muhammad SAW. dari keturunan putri Nabi, Fatimah. Ibu Naquib bernama Syarifah Raquan al-‘Aydarus berasal dari Bogor, Jawa Barat yang merupakan keturunan ningrat kerajaan Sunda di Sukapura. Ibunda Naquib ini merupakan keturunan dari Muhammad al’Aydarus, seorang ulama, guru dan pembimbing rohani Syed Abu Hafs ‘Umar ba’ Syaiban dari Hadramaut, dan juga pernah menjadi guru Nur al-Din al-Raniri, seorang alim ulama dari tanah Melayu.
Dari pihak bapak, kakek Naquib yang bernama Syed Abdullah ibn Muhsin ibn Muhammad al-Attas adalah seorang wali yang berpengaruh tidak hanya di jazirah Arab, tetapi juga di tanah Melayu. Syed Abdullah menikah dengan seorang wanita Turki berdarah aristokrat, Ruqayah Hanum. Ruqayah Hanum sendiri sebelum menikah dengan kakek Syed Naquib al-Attas, pernah menikah dengan Ungku Abdul Majid, adik dari Sultan Abu Bakar Johor. Dan adik dari nenek Syed Naquib al-Attas (Ruqayah hanum) ini, Khadijah adalah permaisuri dari Sultan Abu Bakar Johor. Dan setelah sepeninggal Sultan Abu Bakar Johor, permaisuri Khadijah dinobatkan menjadi Ratu Johor.
Syed Naquib al-Attas adalah anak kedua dari tiga bersaudara. kakak Naquib, Syed Husein adalah seorang sosiolog dan pernah menjadi Wakil Rektor Universitas Malaya. Adik Naquib, Syed Zaid adalah seorang insiyur kimia dan menjadi dosen di Institut Teknologi MARA.
2. Riwayat hidup
Naquib al-Attas lahir pada tanggal 5 September 1931 di Bogor, Jawa Barat. Pada usia 5 tahun Naquib tinggal di Johor, dia tinggal dengan pamannya, Ahmad, kemudian bibinya, Azizah, yang keduanya adalah anak dari nenek Naquib, Ruqayah Hanum dari suaminya yang pertama. Pada tahun 1941- 1945 Naquib kembali ketanah Jawa. Setelah PD II pada tahun 1946, ia berpindah lagi ke Johor dan tinggal dengan salah satu pamannya yang bernama Ungku Abdul Aziz ibn Ungku Abdul Majid, keponakan Sultan yang kelak menjadi Kepala Menteri Johor Modern keenam. Pamannya ini mempunyai perpustakaan manuskrip sastra dan sejarah Melayu yang lengkap. Di perpustakaan inilah Naquib banyak menghabiskan masa mudanya dengan membaca dan mendalami manuskrip-manuskrip sejarah, sastra, agama serta buku-buku klasik Barat. Setelah Ungku Abdul Aziz pensiun, Naquib muda tinggal dengan pamannya yang lain, yakni Dato’ Onn ibn Dato’ ja’far (Kepala Menteri Johor ketujuh), sampai ia menyelesaikan pendidikan tingkat menengahnya.
Setelah menamatkan sekolah menengahnya pada tahun 1951, Naquib muda mendaftar di resimen Melayu sebagai kadet dan mengikuti pendidikan militer di Inggris dari tahun 1952 sampai 1955. Selama di Inggris, ia berusaha memahami aspek-aspek yang mempengaruhi semangat dan gaya hidup masyarakat Inggris. Disana, dia juga membina persahabatan dengan peserta pendidikan yang lain, yakni Syarif Zaid ibn Syakir, yang kelak menjadi Kepala Militer kemudian menjadi Perdana Menteri Yordania. Selama mengikuti pendidikan militer ini, Naquib berkenalan dengan pandangan metafisika tasawuf, terutama dari karya-karya besar para ulama’ tasawuf, yang tersedia di perpustakaan kampus. Disamping mengikuti pendidikan militer, Naquib juga menyempatkan diri mengunjungi kota-kota yang terkenal dengan tradisi intelektual dan seni keislamannya, diantaranya sebagian besar kota-kota di Eropa (terutama Spanyol) dan di Afrika Utara.
Setelah lulus dalam akademi kemiliteran ini, Naquib ditugaskan menjadi pegawai kantor di resimen tentara kerajaan Melayu. Namun karena minatnya yang dalam terhadap ilmu pengetahuan, ia akhirnya mengundurkan diri dan melanjutkan studinya di Universitas Malaya pada tahun 1957-1959. Setamatnya dari Universitas Malaya, ia mendapat beasiswa dari Canada Council Fellowship untuk belajar di Institute of Islamic Studies, Universitas McGill, Montreal. Disinilah ia berkenalan dengan beberapa sarjana Muslim terkenal, diantaranya Sir Hamilton Gibb (Inggris), Fazlur Rahman (Pakistan), Toshihiko Izutsu (Jepang) dan Sayyed Hossein Nasr (Iran). Pada tahun 1963, atas dorongan dari para koleganya, ia melanjutkan pendidikan doktoralnya dan selesai pada tahun 1965. Sekembalinya ke Malaysia, Naquib dilantik menjadi Kepala jurusan Sastra di Universitas Malaya, kemudian diangkat menjadi Dekan Fakultas Sastra pada universitas yang sama pada tahun 1968-1970. Pada tahun 1970, Naquib juga merupakan salah satu pencetus berdirinya Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Di universitas ini, dia menginstruksikan pemakaian bahasa Melayu menggantikan bahasa Inggris yang digunakan sebagai bahasa pengantar dalam perkuliahan, meskipun gagasannya ini kemudian mungundang pro-kontra dari berbagai pihak.
Naquib sering mendapat penghargaan internasional, baik dari para orientalis maupun dari para pakar peradaban Islam dan Melayu. Misalnya, ia pernah dipercaya untuk memimpin diskusi panel mengenai Islam di Asia Tenggara pada Congres International des Orientalis yang ke-29 di Paris pada tahun 1973. Pada tahun 1975, ia dilantik sebagai anggota Imperial Iranian Academy of Philosophy atas kontribusinya dalam pemikiran perbandingan filsafat. Dia pernah menjadi konsultan utama penyelenggaraan international Islamic Festival yang diselenggarakan di London pada tahun 1976. Naquib juga menjadi pembicara dan peserta aktif dalam World Conference on Islamic Education pertama yang dilangsungkan di Makkah pada tahun 1977. Dari tahun 1976-1977, ia menjadi professor tamu untuk mata kuliah studi Islam di Universitas Temple, Philadelphia. Pada tahun 1978, dia diminta oleh UNESCO untuk memimpin pertemuan para ahli sejarah yang diselenggarakan di Aleppo, Suriah. Naquib juga menghadiri dan memimpin sesi-sesi penting dalam berbagai kongres internasional. Di Malaysia sendiri, posisi dan peranan Naquib sebagai seorang pakar studi Islam dan sastrawan tidak perlu diragukan lagi. Dari tahun 1970-1984, dia dipilih menjadi ketua Lembaga Bahasa dan Kasusastran Melayu di Universitas Kebangsaan Malaysia. Dia juga pernah menjabat sebagai ketua Lembaga Tun Abdul Razak untuk Studi Asia tenggara di Universitas Ohio Amerika untuk periode 1980-1982. Naquib sendiri adalah pendiri sekaligus Rektor ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization), Malaysia sejak 1987 sampai sekarang.
3. Latar belakang pendidikan
Latar belakang keluarganya memberikan pengaruh yang besar dalam pendidikan awal Naquib. Dari keluarga yang berada di Bogor, dia memperoleh pendidikan dalam ilmu-ilmu keislaman dengan intens. Pada usia 5 tahun Syed Muhammad Naquib al-Attas menempuh pendidikan dasar di Sekolah Dasar Ngee Heng Johor, Malaysia pada tahun 1936-1941. Namun saat pendudukan Jepang di Indonesia, ia pergi belajar ke Jawa untuk belajar di Madrasah al-`Urwatu al-Wuthqa di Sukabumi, Jawa Barat, sebuah lembaga pendidikan yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, pada tahun 1941-1945. Setelah Perang Dunia II pada tahun 1946 ia kembali ke Johor untuk menyelesaikan pendidikan menengahnya di Bukit Zahra School kemudian melanjutkan di English College pada tahun 1946-1951. Ia begitu tertarik untuk mempelajari sastra Melayu, sejarah, dan kebudayaan Barat. Saat kuliah di Universitas Malaya, Naquib menulis literatur tentang Sufisme, yakni Rangkaian Ruba`iyat dan Some Aspects of Sufism as Understood and Practised among the Malays. Lulus dari Universitas Malaya, ia mendapatkan beasiswa untuk berstudi di Institute of Islamic Studies di McGill University, Montreal, Kanada. Tahun 1962 Naquib berhasil menyelesaikan studi pasca sarjananya dengan thesis Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh. Naquib kemudian melanjutkan studi ke School of Oriental and African Studies, University of London di bawah bimbingan Professor A. J. Arberry dari Cambridge dan Dr. Martin Lings. Thesis doktornya (1962) adalah studi tentang dunia mistik Hamzah Fansuri, seorang sufi besar dari Melayu yang sangat kontroversial.
Pada tahun 1987, Naquib mendirikan sebuah institusi pendidikan tinggi bernama International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur. Melalui institusi ini Naquib bersama sejumlah kolega dan mahasiswanya melakukan kajian dan penelitian mengenai pemikiran dan peradaban Islam, serta memberikan respons yang kritis terhadap Peradaban Barat.
4. Karya-karya
Sebagai seorang pemikir Islam, Naquib termasuk salah satu tokoh yang produktif. Pemikirannya tidak terkhusus pada satu bidang ilmu, tetapi dalam berbagai disiplin ilmu. Naquib sampai saat ini telah menulis 26 buku dan monograf, baik dalam bahasa Inggris maupun melayu dan banyak yang telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa dibelahan dunia. Diantara karya Naquib adalah (1959) Rangkaian Ruba’iyat, (1963) Some Aspects of Shufism as Understood and Practiced among the Malays, (1966) Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh, (1968) The Origins of Malays Sya’ir, (1969) Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesian Archipelago, (1970) The Mysticism of hamzah Fanshuri, (1971) Concluding Postscript to the Origin of Malays Sya’ir, (1972) The Correct Date of the Terengganu Inscription, (1972) Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (1973) Risalah untuk Kaum Muslimin, (1975) Comments on the Re-Examination of Al-Raniri’s Hujjat au’l Siddiq: A Refutation, (1976) Islam; The Concept of Religion and the Foundation of Ethics and the Morality, (1978) Islam and Secularism, (1979) Aims and Objectives of Islamis Education; Islmaic Education Series, (1980) The Concept of Education in Islam, (1985) Islam, Securalism and The Philosophy of the Future, (1986) A Commentary on the Hujjat al-Shiddiq ofNur al-Dinal-Raniri, (1988) The Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of the `Aqa’id of al-Nasafi, (1989) Islam and the Philosophy of Science, (1990) The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul, (1990) On Quiddity and Essence, (1990) The Intuition of Existence, (1992) The Concept of Religion and the Foundation of Ethics and Morality, (1993) The Meaning and Experience of Happiness in Islam, (1994) The Degrees of Existence, (1995) Prolegomena to the Metaphysics of Islam: an Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam.
Disamping karya yang berbentuk buku dan monograf diatas, Naquib telah menyampaikan lebih dari 400 makalah ilmiah di Negara-negara Eropa, Amerika, Jepang, Timur Tengah dan berbagai Negara Islam lainnya. Selain itu, Naquib juga aktif menulis artikel-artikel dalam jurnal-jurnal international. Jumlah artikel ini tidak kurang dari 27 artikel dalam berbagai jurnal international.

C. Pemikiran Syed Naquib al-Attas
1. Pandangan tentang epistomologi Islam
Naquib menjelaskan bahwa kemerosotan ilmu pengetahuan Islam terutama sekali berhubungan dengan epistemologi. Problem umat Islam muncul ketika sains modern diterima di negara-negara Muslim modern, di saat kesadaran epistemologis Muslim amat lemah. Padahal epistemologi sains modern berpijak pada landasan pemisahan agama dalam ilmu pengetahuan. Sains modern tumbuh dan berkembang dari tradisi filsafat yang menafikan kekuasaan dan keberadaan Tuhan dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Landasan epistemologi sains modern besandar pada metode rasionalis-empiris dan menyangkal peran intuisi serta menolak wahyu dan agama sebagai sumber ilmu yang benar. Dalam tradisi ilmiah modern inilah agama dikatakan hanya menjadi belenggu dalam proses dinamika pengembangan ilmu, karena agama tidak mampu menjawab tantangan zaman yang semakin hari semakin bertumpu pada teknologi. Hegemoni pengetahuan barat yang begitu kuat mengakar diseluruh penjuru dunia, tanpa disadari telah diimani oleh sebagian besar umat Muslim. Umat Muslim menerimanya tanpa adanya upaya kritis untuk menilik lebih dalam tentang bagaimana epistemologi yang dikandung oleh sains modern sekarang ini. Adanya anggapan bahwa sains modern adalah satu-satunya cabang ilmu yang otoritatif segera melemahkan pandangan Islam mengenai ilmu.
Naquib menolak preposisi sains modern sebagai sumber pencapaian kebenaran yang paling otoritatif dalam kaitannya dengan epistemologis, karena banyak kebenaran agama yang tak dapat dicapai oleh sains. Pada tingkat dan pemaknaan seperti ini, sains modern telah terlepas jauh dari kebenaran. Kebenaran dalam Islam sendiri merupakan titik kulminasi seluruh aktifitas intelektual dan intuitif yang mampu dicapai manusia dengan segala potensi yang telah diberikan Tuhan. Unifikasi dari berbagai potensi yang meliputi indera, rasio intelektual dan intuisi inilah yang berupaya untuk membuka tabir kebenaran yang tersebar diseluruh jagad raya. Dalam paradigma pemikiran Islam, pencapaian ilmu pengetahuan tidak berhenti pada terminal kesesuaian antara realitas rasio dengan realitas inderawi, tapi lebih dari itu merupakan kesesuaian dan keserasian antara realitas intelektual-intuitif dengan realitas ontologis. Epistemologi Islam tidak berangkat dari keraguan (sebagaimana sains modern barat dikembangkan dengan berlandaskan kepadanya), melainkan berangkat dari keyakinan akan adanya kebenaran itu sendiri. Kebenaran yang secara inheren telah terkandung dalam al-Qur’an sebagai petunjuk Tuhan. Kebenaran yang secara esensial tersembunyi dibalik alam semesta, baik yang berkaitan dengan gejala-gejala, proses maupun peristiwa-peristiwa alam dan kemanusiaan. Bagi Naquib sendiri, dalam proses pembalikan kesadaran epistemologis ini, program islamisasi menjadi satu bagian kecil dari upaya besar pemecahan masalah epistemologi ilmu pengetahuan.
2. Pandangan tentang dewesternisasi dan islamisasi
Dalam pandangan Naquib, dewesternisasi adalah proses memisahkan dan menghilangkan unsur-unsur sekuler dari tubuh pengetahuan yang akan merubah bentuk-bentuk dan nilai-nilai dari pandangan konseptual tentang pengetahuan seperti yang disajikan saat ini. Yang pada dasarnya upaya tersebut merupakan bentuk usaha pemurnian ajaran Islam dari segala pengaruh barat. Upaya dewesternisasi ini sendiri tidak akan mempunyai signifikansi bagi umat Islam bila tidak dilanjutkan dengan gerakan Islamisasi. Islamisasi menurutnya adalah proses pembebasan manusia dari tradisi mitos dan sekuralisme. Bahwa ilmu pengetahuan harus lepas dari pandangan dua tradisi diatas, bagi Naquib adalah sebuah keniscayaan dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang bernuansa dan berwawasan islami. Naquib mengoreksi disiplin ilmu-ilmu modern dan memurnikan ilmu-ilmu Islam yang telah tercelup dalam paham-paham sekuler. Perkembangan ilmu pengetahuan modern yang mengandung ideologi sekuralisme ini harus direformulasikan secara konseptual melalui islamisasi ilmu pengetahuan agar tidak terlepas dari nilai-nilai spiritualitas dan transedensi ketuhanannya.

D. Konsepsi Pemikiran Pendidikan Syed Naquib al-Attas
1. Gagasan tentang manusia
Manusia adalah binatang rasional yang mengacu kepada nalar. istilah nalar sendiri selaras dengan terma ‘aql. Al-‘aql sendiri pada dasarnya adalah ikatan atau simbol yang mengandung makna suatu sifat dalam menyimpulkan objek-objek ilmu pengetahuan dengan menggunakan sarana kata-kata. Dan dari sinilah timbul istilah al-Hayawanun Nathiq. Nathiq selain dimaknai rasio juga dimaknai sebagai “pembicaraan” (yakni suatu kekuatan dan kapasitas untuk merangkai simbol bunyi yang menghasilkan makna). Disamping mempunyai rasio, manusia juga mempunyai fakultas batin yang mampu merumuskan makna-makna (Dzu Nutq). Fakultas batin ini disebut-sebut sebagai hati, yaitu suatu substansi ruhaniyah yang dapat memahami dan membedakan kebenaran dari kepalsuan.
Manusia terdiri dari dua substansi, yakni jiwa dan raga, yang berwujud badan dan roh; atau dengan bahasa lain jasmaniyah dan ruhaniyah. Sebelum berbentuk jasmani, manusia telah mengikat janji akan mengakui Allah sebagai Tuhannya. Perjanjian suci (ikrar primordial) ini mempunyai konsekuensi selalu akan mengikuti kehendak Allah SWT. Dalam diri manusia sebenarnya ada potensi untuk beragama, dalam arti kepatuhan kepada Tuhan. Dan tidak ada kepatuhan (din) yang sejati tanpa adanya sikap pasrah atau penyerahan diri (islam).
Dengan berlandaskan kepada kepatuhan dan penyerahan diri, maka manusia akan mencapai kesadaran bahwa segala potensi yang dimiliki harus diarahkan sebagai bentuk penyembahan (ibadah) kepada Pencipta semesta. Jadi, hidup manusia didunia ini tidak lain bertujuan untuk beribadah dan mengabdikan diri kepada-Nya. Tujuan ini harus menjadi landasan yang paling fundamental bagi setiap aktifitas manusia dalam menjaga dan mengelaborasikan potensi yang dimilikinya untuk memanfaatkan alam semesta dengan segenap fasilitas yang ada didalamnya yang telah diberikan Tuhan. Inilah konsepsi Khalifatullah fi al-Ardh yang harus dijalankan manusia dengan penuh tanggung jawab.
2. Gagasan tentang definisi dan makna pendidikan Islam
Dalam Islam istilah pendidikan dikenal melalui tiga terma yang kesemuanya mengandung makna dan konsekuensi tersendiri dalam proses pendidikan yang didasarkan pada istilah-istilah tersebut. Istilah-istilah tersebut yaitu, tarbiyah, ta’dib dan ta’lim. Naquib cenderung lebih memakai ta’dib daripada istilah tarbiyah maupun ta’lim. Kata tarbiyah berarti mengasuh, menanggung, memberi makan, memelihara, menjadikan tumbuh, membesarkan dan menjinakkan. Sehingga tarbiyah mengandung unsur pendidikan yang lebih bersifat fisik dan material. Terlebih, terma tarbiyah secara luas dapat digunakan tidak hanya untuk manusia, tetapi juga untuk batu, tanaman dan hewan. Sedangkan pendidikan dalam pandangan Islam hanya terkhusus kepada manusia. Sedangkan terma ta’lim, meskipun mempunyai makna yang lebih luas dari tarbiyah, yakni informasi, nasehat, bimbingan, ajaran dan latihan; namun tetap tidak bisa mewakili pengertian pendidikan Islam karena juga dapat digunakan untuk selain manusia, sementara pendidikan hanya untuk manusia saja. Dari pengertian atas dua terma diatas, menurut Naquib, terma ta’diblah yang lebih cocok digunakan dalam pendidikan Islam. ta’dib berasal dari kata adaba yang mempunyai arti mendidik, kehalusan budi, kebiasaan yang baik, akhlak, kepantasan, kemanusiaan dan kasusastran. Dalam struktur konseptual, terma ta’dib sudah mencakup unsur-unsur pengetahuan (‘ilm), pengajaran (ta’lim) dan penyuluhan yang baik (tarbiyah).
Sebagaimana dalam pandangan Naquib bahwa masalah mendasar dalam pendidikan Islam selama ini adalah hilangnya nilai-nilai adab (etika) dalam arti luas. Baginya, alasan mendasar memakai istilah ta’dib adalah, karena adab berkaitan erat dengan ilmu. Ilmu tidak bisa diajarkan dan ditularkan kepada anak didik kecuali orang tersebut memiliki adab yang tepat terhadap ilmu pengetahuan dalam pelbagai bidang. Inti dari pendidikan itu sendiri adalah pembetukan watak dan akhlak yang mulia. Dari sini Naquib mengartikan makna pendidikan sebagai suatu proses penanaman sesuatu ke dalam diri manusia dan kemudian ditegaskan bahwa sesuatu yang ditanamkan itu adalah ilmu; dan tujuan dalam mencari ilmu ini terkandung dalam konsep ta’dib.
Lebih lanjut, Naquib menjelaskan bahwa perbedaan antara ta’dib dan tarbiyah adalah terletak pada makna substansinya. Kalau tarbiyah lebih menonjolkan pada aspek kasih sayang (rahmah), sementara ta’dib, selain dimensi rahmah juga bertitik tolak pada aspek ilmu pengetahuan. Secara mendasar, ia mengakui bahwa dengan konsep ta’dib, pendidikan Islam berarti mencakup seluruh unsur-unsur pengetahuan, pengajaran, dan pengasuhan yang baik. Penekanan pada segi adab dimaksudkan agar ilmu yang diperoleh dapat diamalkan secara baik dan tidak disalahgunakan menurut kehendak bebas pemilik ilmu, sebab ilmu tidak bebas nilai (value free) tetapi sarat nilai (value laden), yakni nilai-nilai Islam yang mengharuskan pelakunya untuk mengamalkan demi kepentingan dan kemaslahatan umat manusia.
Sementara, bila dicermati lebih mendalam, konsep pendidikan Islam hanya terbatas pada tarbiyah atau ta’lim ini, telah dirasuki oleh pandangan hidup Barat yang melandaskan nilai-nilai dualisme, sekularisme, intelektualisme, dan sofisme sehingga nilai-nilai adab semakin menjadi kabur dan semakin jauh dari nilai-nilai hikmah ilahiyah. Kekaburan makna adab itu, dalam pandangan Naquib, menjadi sebab utama dari kezaliman, kebodohan, dan kegilaan. Sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa salah satu sebab kemunduran umat Islam adalah di bidang pendidikan. Maka dari konsep ta’dib seperti dijelaskan, akan ditemukan problem mendasar kemunduran pendidikan umat Islam. Problem itu tidak terkait masalah buta huruf, melainkan berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang disalah artikan, bertumpang tindih, atau diporak-porandakan oleh pandangan hidup sekular (Barat). Akibatnya, makna ilmu itu sendiri telah bergeser jauh dari makna hakiki dalam Islam. Fatalnya lagi, ini semua kemudian menjadi 'dalang' dari berbagai tindakan korup (merusak) dan kekerasan juga kebodohan. Lahir kemudian pada pemimpin yang tak lagi mengindahkan adab, pengetahuan, dan nilai-nilai positif lainnya. Untuk itulah, dalam amatan Naquib, semua kenyataan ini harus segera disudahi dengan kembali membenahi konsep dan sistem pendidikan Islam yang dijalankan selama ini.
Pada sisi lain, adanya pandangan dikotomi keilmuan dalam pendidikan Islam; antara ilmu agama dan ilmu umum telah menimbulkan persaingan di antara keduanya, yang saat ini – dalam hal peradaban – dimenangkan oleh Barat, sehingga pengaruh pendidikan Barat terus mengalir deras, dan ini membuat identitas umat Islam mengalami krisis dan tidak berdaya. Dalam hal ini Naquib berpendapat bahwa perlu adanya penanaman nilai-nilai spiritual, termasuk spiritual intelligent dalam pendidikan Islam. Sebagaimana ia membagi ilmu menjadi dua, yakni ilmu fardhu ‘ain (yang tercakup didalamnya ilmu-ilmu agama) dan ilmu fardhu kifayah (yang meliputi ilmu-ilmu rasional-filosofis seperti ilmu kealaman, ilmu sosial, ilmu terapan dan teknologi). Ia menekankan akan pentingnya pengajaran ilmu fardhu ‘ain yang integral dalam pengajaran ilmu fardhu kifayah. Yakni, dengan memberikan pegajaran tentang ilmu pengetahuan yang menekankan dimensi ketuhanan, intensifikasi hubungan manusia-Tuhan dan manusia-manusia, serta nilai-nilai moralitas lainnya yang membentuk cara pandang anak didik terhadap kehidupan dan alam semesta. Bagi Naquib, adanya pembagian ilmu menjadi ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah tidak perlu diperdebatkan. Tetapi, pembagian tersebut harus dipandang dalam perspektif integral atau tauhid, yakni ilmu fardhu ‘ain sebagai asas dan rujukan bagi ilmu fardhu kifayah. Bahwa setelah manusia dikenalkan akan posisinya dalam tatanan kosmik lewat proses pendidikan, ia diharapakan dapat mengamalkan ilmunya dengan baik di masyarakat berdasarkan adab, etika dan ajaran agama.
3. Gagasan tentang tujuan pendidikan Islam
Seperti halnya pandangannya tentang tujuan hidup manusia, Naquib beranggapan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan kebajikan dalam “diri manusia” sebagai individu dan sebagai bagian dari masyarakat. Secara ideal, Naquib menghendaki pendidikan Islam mampu mencetak manusia yang baik secara universal (al-insan al-kamil). Insan kamil yang dimaksud adalah manusia yang bercirikan: pertama; manusia yang seimbang, memiliki keterpaduan dua dimensi kepribadian; a) dimensi isoterik-vertikal yang intinya tunduk dan patuh kepada Allah dan b) dimensi eksoterik-dialektikal-horisontal, yakni membawa misi keselamatan bagi lingkungan sosial alamnya. Kedua; manusia seimbang dalam kualitas pikir, zikir dan amalnya.
Tujuan akhir pendidikan Islam adalah menghasilkan manusia yang baik, baik dalam kehidupan materiil dan spirituilnya. Dalam hal ini, manusia yang baik yang dimaksud adalah individu yang beradab, bijak, mengenali dan sadar akan realitas sesuatu, termasuk posisi Tuhan dalam realitas itu. Suatu tujuan yang mengarah pada dua demensi sekaligus yakni, sebagai `abdullah (hamba Allah), dan sebagai Khalifah fi al-Ardh (wakil Allah di muka bumi). Dengan harapan yang tinggi, Naquib menginginkan agar pendidikan Islam dapat mencetak manusia paripurna, insan kamil yang bercirikan universalis dalam wawasan dan ilmu pengetahuan dengan bercermin kepada ketauladanan Nabi Muhammad SAW.
Pandangan Naquib tentang masyarakat yang baik, sesungguhnya tidak terlepas dari individu-individu yang baik. Jadi, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat yang baik, berarti tugas pendidikan harus membentuk kepribadian masing-masing individu secara baik. Karena masyarakat merupakan bagian dari kumpulan individu-individu. Manusia yang seimbang pada garis vertikal dan horizontalnya. Dalam konsep inilah tujuan pendidikan Islam mengarah pada terbentuknya manusia universal (insal kamil). Lebih lanjut, menurutnya pendidikan Islam harus mengacu kepada aspek moral-transedental (afektif), tampa harus menuinggalkan aspek kognitif (sensual logis) dan psikomorik (sensual empirik).
4. Gagasan tentang sistem pendidikan Islam
Gagasan Naquib tentang sistem pendidikan Islam ini tidak bisa dilepaskan (terpisah) dari pemaknaannya terhadap konsep pendidikan. Sistem pendidikan Islam bagi Naquib haruslah mengandung unsur adab (etika) dan ilmu pengetahuan, karena inti dari pendidikan itu sendiri adalah pembetukan watak dan akhlak mulia manusia yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi dirinya sendiri khususnya dan bagi umat manusia umumnya.
Sesuai dengan pandangannya terhadap tujuan pendidikan untuk membentuk insan kamil, maka insan kamil harus dijadikan paradigma dalam pengembangan lembaga pendidikan Islam. Dengan demikian lembaga pendidikan Islam harus menjadikan Nabi Muhammad SAW. sebagai modelnya. Sistem pendidikan Islam harus merefleksikan ilmu pengetahuan dan perilaku Rasulullah, serta berkewajiban mewujudkan umat Muslim yang menampilkan kualitas keteladanan Nabi Muhammad SAW. Naquib ingin menampilkan sistem pendidikan Islam yang terpadu, yakni antara dimensi ‘abdullah dengan dimensi Khalifah fi al-Ardh.
Dan sesuai dengan kategori ilmu yang dibuat Naquib, pendidikan Islam haruslah berisikan ilmu-ilmu fardhu ‘ain dan ilmu-ilmu fardhu kifayah. Sistem pendidikan yang diformulasikannya adalah mengintegrasikan ilmu dalam sistem pendidikan Islam, artinya Islam harus menghadirkan dan mengajarkan dalam proses pendidikannya tidak hanya ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu rasional, intelek dan filosofis. Namun ilmu pengetahuan dan teknologi harus terlebih dahulu dilandasi pertimbangan nilai-nilai dan ajaran agama. Karena secara makro dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam masih mengalami keterjajahan oleh konsepsi pendidikan Barat. Ilmu masih dipandang secara dikotomis, sehingga tidak ada integrasi ilmu yang seharusnya diwujudkan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang berwawasan dan bernuansa Islami.

E. Kesimpulan
Pemikiran dan gagasan pendidikan Syed Muhammad Naquib al-Attas mempunyai daya signifikansi yang amat tinggi serta layak untuk dipertimbangkan sebagai sebuah solusi alternatif yang dapat diaktualisasikan dan diimplementasikan dalam dunia pendidikan Islam pada konteks sekarang. Dimana pendidikan Islam sekarang ini tidak mampu memberikan sumbangan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi umat manusia. Pendidikan Islam secara tidak sadar masih saja memandang mewah ilmu pengetahuan Barat dan mengagung-agungkan teknologi Barat yang jelas-jelas telah mengandung sekuralisasi. Maka dari itu Naquib mencoba menawarkan de-westernisasi dan islamisasi sebagai landasan konseptual dalam mengembangkan pendidikan Islam, yang masih saja stagnan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang selama ini masih dibawah kungkungan superioritas Barat.
Dasar argumentasinya adalah untuk mencegah adanya dikotomi ilmu yang memisahkan secara total sisi religiuitas agama dalam pengembangan ilmu pengetahuan, dan ini harus menjadi acuan bagi setiap lembaga pendidikan Islam yang ada saat ini agar tidak menghasilkan output yang justru tidak memiliki jiwa dan karakter yang islami. Naquib juga berusaha menjaga keseimbangan (equiliberium) dalam konsepnya antara aspek afektif, kognitif dan psikomotorik manusia sebagai potensinya sehingga mampu mengemban amanat Tuhan untuk menjadi kholifah fi al-ardh. Pendidikan Islam harus memiliki corak moral dan rilegius dalam mengemban tugasnya sebagai pencetak intelektual Muslim yang sadar akan realitas kehidupan guna mewujudkan insan kamil yang di idam-idamkan. Secara ilmiah Syed Naqib al-Attas telah mengemukakan preposisi-preposisinya sehingga menjadi sebuah konsep pendidikan Islam yang jelas dan sistematis.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Attas, Naquib S.M. Islam dan Sekuralisme. (trjmh oleh Karsidjo Djojo Suwarso). Cet I. Bandung; Pustaka Salman. 1981.
_______. Konsep Pendidikan dalam Islam; Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam (trjmh oleh Haidar Baqir). Cet I. Bandung; Mizan. 1987.
Badaruddin, Kemas. Filsafat Pendidikan islam (Analisis Pemikiran Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas). Jakarta; Pustaka Pelajar. 2007.
Daud, Wan W.M.N. Filsafat dan Praktek Pendidikan Syed Naquib al-Attas (trjmh oleh Hamid Fahmy dkk.). Bandung; Mizan. 2003.
http://www.belajarislam.com/wawasan/sains/338-pemikiran-pendidikan-menurut-sm-naquib-al-attas. Diakses pada tanggal 25 November 2010.
http://mujtahid-komunitaspendidikan.blogspot.com/2010/02/gagasan-pendidikan-syed-naquib-al-attas.html. Diakses pada tanggal 25 November 2010.
http://indrayogi.multiply.com/reviews/item/109. Diakses pada tanggal 25 November 2010.
http://grelovejogja.wordpress.com/2007/02/15/syed-naquib-al-attas/. Diakses pada tanggal 25 November 2010.
Majid, Nurcholis. Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Cet IV. Jakarta; Paramadina. 2000.
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta; Ciputat Pers. 2002.
_______ (Edtr). Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia. Cet III. Jakarta; Kencana. 2009.

Jumat, 19 November 2010

Meninjau Kembali Ideologi dan Paradigma Pendidikan Nasional

A.Pendahuluan
Ideologi merupakan istilah yang bisa diartikan sebagai sebuah sistem berfikir (yang diyakini oleh sekelompok orang) yang mendasari setiap langkah dan gerak mereka dalam kehidupan sosialnya. Ideologi dapat diartikan pula sebagai sebuah pemahaman tentang bagaimana memandang dunia (realitas). Oleh karena itu ideologi merupakan landasan bagi pemaknaan realitas. Kata ideologi sendiri berasal dari bahasa Yunani idea (ide/gagasan) dan logos (studi tentang/pengetahuan tentang). Secara harfiah ideologi berarti studi tentang ide-ide/gagasan. Adapun secara istilah ideologi adalah sistem gagasan yang mempelajari keyakinan-keyakinan dan hal-hal ideal; asas haluan; pandangan hidup. Istilah ini mengacu pada seperangkat keyakinan dalam merealisasikan sebuah obyek. Maka tidak salah anggapan bahwa permasalahan ideologi selalu menarik untuk dikaji karena berawal dari sanalah realitas dipersepsikan. Sistem (aturan) yang melandasi pemaknaan kehidupan ini (baca: ideologi) akan selalu menentukan kemana arah dan pandangan hidup para penganutnya.
Demikian halnya dengan ideologi, kata paradigma juga berasal dari bahasa Yunani para (di sebelah, di samping) deigma (memperlihatkan; model/contoh ideal). Istilah paradigma diartikan sebagai pedoman/teladan; cara memandang sesuatu; dasar untuk menyeleksi suatu problem-problem dan pola untuk memecahkannya. Paradigma bisa diartikan pula sebagai landasan berfikir dalam menentukan sikap dan tindakan. Paradigma akan sangat menentukan bagaimana langkah dan tindakan yang diambil dalam mencapai sebuah tujuan.
Pendidikan pada hakikatnya merupakan sebuah usaha sadar untuk menuntun umat manusia secara bertahap dalam menjalani kehidupannya. Dalam hal ini pendidikan sekaligus sebagai upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan peradaban umat manusia. Maka tidak heran apabila dikatakan bahwa maju mundurnya sebuah bangsa sangatlah ditentukan oleh pelaksanaan pendidikan yang ada didalamnya.
Dalam dunia pendidikan, landasan yang mendasari pelaksanaan pendidikan tidak bisa dinafikan begitu saja dalam proses dinamikanya. Bahwa pendidikan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh (inside) ideologi maupun paradigma yang dikandungnya. Ideologi dan paradigma yang mendasari proses pendidikan akan sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam karena hal tersebut terkait dengan bagaimana langkah dan usaha yang ditempuh sebagai upaya untuk mengimplementasikan landasan berfikir kedalam prosesi pendidikan itu sendiri.
Ideologi pendidikan yang dianut sebuah bangsa akan sangat menentukan karakteristik pendidikan yang diterapkan didalamnya. Bangsa ini sendiri, hemat penulis belum jelas dalam menganut ideologi pendidikan yang ada atau paling tidak belum mampu mengembangkan ideologi Pancasila kedalam dunia pendidikan. Tidak ubahnya dengan ideologi pendidikan, paradigma pendidikan juga sangatlah penting dalam tubuh pendidikan. Selama ini paradigma pendidikan di negara kita selalu mengalami perubahan yang tidak berpengaruh signifikan dalam merealisasikan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Seperti dalam ungkapan Thomas Khun yang mengatakan bahwa paradigma selalu mengalami anomali, sehingga akan berkonsekuensi melahirkan paradigma baru. Lalu sejauh ini, pertanyaan yang muncul adalah seperti apakah ideologi dan paradigma pendidikan yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia sehingga bisa diterapkan demi mewujudkan cita-cita pendidikan bangsa ini sendiri?
Melihat selayang pandang penulis, tentunya masih banyak serpihan-serpihan pertanyaan yang ingin kita tanyakan dan bahas lebih lanjut. Semoga pemaparan yang ringkas ini bisa sedikit masukan kepada kita untuk meninjau kembali pengejawantahan ideologi dan paradigma pendidikan di indonesia.

B.Ideologi Pendidikan Nasional
1.Macam-macam Ideologi Pendidikan di Dunia
Sejauh ini pakar-pakar pendidikan mencoba mengklasifikasikan ideologi pendidikan kedalam beberapa aliran-aliran ideologis. Salah satu pakar pendidikan yang sering dijadikan rujukan dalam penggolongan ideologi pendidikan ini adalah William F O’neil. Menurutnya, secara garis besar ideologi pendidikan dapat ditarik menjadi dua golongan, yakni ideologi konservatif dan ideologi liberal. Namun dalam kajian ini penulis mencoba untuk memaparkan klasifikasi ideologi pendidikan berdasarkan karakter yang dikandung oleh masing-masing ideologi tersebut, antara lain:
a.Ideologi fundamentalisme; yaitu ideologi yang ingin meminimalkan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan intelektual serta cenderung mendasarkan diri kepada penerimaan relatif terhadap realitas tanpa adanya kritik terhadap kebenaran dan konsensus sosial yang sudah mapan.
b.Ideologi intelektualisme; yaitu ideologi yang didasarkan pada sistem-sistem pemikiran filosofis yang otoritarian. Intelektualisme pendidikan ingin mengubah praktek-praktek politik dan pendidikan demi menyesuaikan secara lebih sempurna dengan cita-cita intelektual yang sudah mapan.
c.Ideologi konservatisme; yaitu ideologi yang memandang bahwa ketimpangan dalam masyarakat merupakan hukum alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah. Dalam bentuknya yang paling klasik, kaum konservatif berkeyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan sosial atau paling tidak mempengaruhinya. Secara implisit, ideologi ini mendukung ketaatan terhadap lembaga-lembaga yang sudah teruji waktu, disertai dengan rasa hormat yang mendalam terhadap tatanan sosial yang konstruktif.
d.Ideologi liberalisme; yaitu ideologi yang mengajarkan kebebasan individu dan berusaha mempromosikan perwujudan potensi individu secara maksimal. Tujuan jangka panjang pendidikan menurut kaum liberal adalah melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada dengan cara mengajar setiap individu bagaimana menghadapi masalah-masalah dalam kehidupannya sendiri secara efektif. Peserta didik memiliki masalah hidup sendiri dan memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam menyelesaikannya. Yang terpenting adalah bagaimana mereka diarahkan agar dapat secara optimal menyelesaikan masalah hidup mereka secara mandiri melalui pendidikan.
e.Ideologi anarkhisme; yaitu ideologi yang menolak pembatasan-pembatasan kelembagaan terhadap perilaku personal. Ideologi ini bercita-cita melakukan deinstitusionalisasi masyarakat, sehingga menjadikan masyarakat bebas dari belenggu lembaga. Pendekatan terbaik terhadap pendidikan adalah pendekatan yang mengusahakan percepatan perombakan humanistik berskala besar dengan cara menghapus sistem persekolahan.
f.Ideologi kritis-radikal; yakni ideologi yang berpandangan bahwa perhatian utama pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap “the dominant ideologi” ke arah tranformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang berfikir serta bertindak untuk selalu kritis terhadap keadaan dan struktur yang tidak adil dan menindas. Visi pendidikan harusnya adalah melakukan kritik terhadap sistem dan kelas dominan sebagai perwujudan atas keberpihakan terhadap rakyat kecil yang tertindas, dalam rangka untuk mewujudkan tatanan sosial yang lebih adil.
Melihat aliran-aliran ideologi pendidikan diatas, pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah ideologi pendidikan nasional yang dianut/dimiliki bangsa Indonesia sehingga dapat menuntun kita menuju terwujudnya tujuan pendidikan nasional?
Penulis secara pribadi beranggapan bahwa bangsa Indonesia belum jelas dalam menganut ideologi pendidikan yang ada atau bahkan belum mampu mengembangkan ideologi negara ini sendiri (ideologi Pancasila) ke dalam dunia pendidikan. Perbedaan arah praktek penyelenggaraan pendidikan pada dasarnya disebabkan oleh perbedaan ideologi pendidikan itu sendiri. Bangsa yang telah memiliki dan menganut ideologi pendidikan tertentu akan memperoleh cara hidup dan cara pandang dalam menyelenggarakan pendidikan secara kokoh sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan cara hidup dan cara pandangnya. Hal tersebut selanjutnya digunakan untuk menciptakan kondisi tertentu yang dapat membantu keberhasilan dalam menumbuhkan, membangun jaringan dan mengorganisir segenap sumber daya pendidikan dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Sebaliknya, bangsa yang belum atau kurang memiliki dasar ideologi pendidikan yang jelas, selanjutnya akan gamang dan mengalami kesulitan dalam menumbuhkan, membangun dan mengorganisir segenap sumber daya pendidikannya dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan.
Berbagai kebijakan pendidikan di Indonesia selama ini belum berakar pada pilihan ideologi yang dianut. Akibatnya beberapa upaya pembangunan pendidikan berlangsung tanpa akar ideologi yang jelas. Sehingga beberapa kebijakan pendidikan berakhir secara tragis tanpa ada hasil yang signifikan bagi kemajuan bangsa.
2.Pancasila sebagai Ideologi Negara
Memperbincangkan ideologi pendidikan nasional tidak bisa dilepaskan dari dirkursus tentang ideologi Negara Indonesia yakni ideologi Pancasila, karena ideologi negara tentunya harus menjadi landasan bagi segala kebijakan dan keputusan bangsa (dalam hal ini pemerintah) dalam setiap aspek kehidupan bernegara termasuk masalah pendidikan. Segala bentuk kebijakan yang dikeluarkan pemerintah haruslah berlandaskan pada Pancasila serta harus sesuai dengan nilai-nilai luhur dan semangat yang terkandung didalamnya. Terkait dengan hal tersebut, maka kebijakan pemerintah sangat menentukan dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional. Setidak-tidak ada tiga dimensi kebijakan pemerintah yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, yaitu:
a.Dimensi management pemerintah; kebijakan ini menyangkut bagaimana, sejauh mana pendidikan nasional harus dikelola serta dikembangkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
b.Dimensi prioritas pembangunan; kebijakan ini menyangkut sejauh mana pendidikan nasional mendapat prioritas dalam sistem pembangunan nasional disamping bidang-bidang lainnya.
c.Dimensi partisipasi masyarakat; kebijakan ini menyangkut sejauh mana masyarakat mendapat peluang dan kesempatan untuk berkiprah mengembangkan pendidikan.
3.Problematika Penerapan Ideologi Pancasila dalam Dunia Pendidikan
Mengingat kondisi dunia pendidikan di Indonesia, pekerjaan rumah yang harus dirumuskan adalah perwujudan dan pengembangan konsep ideologi pendidikan Pancasila. Beberapa tokoh pendidikan sudah mulai mencoba untuk merumuskan konsep dasar filsafat pendidikan Pancasila, antara lain: Notonagoro, Imam Barnadib dan Subiyanto Wiroyudo. Tinggal bagaimana langkah pemerintah dalam menerapkan ideologi pendidikan Pancasila kedalam dinamika pendidikan di Indonesia, dengan berbagai macam keberagaman yang ada didalamnya.
Masalah pendidikan adalah salah satu masalah yang bersifat universal. Semua manusia tanpa terkecuali sangat berkepentingan terhadap pendidikan. Masalah pendidikan biasanya muncul ketika ada deskripansi (kesenjangan) antara dunia cita-cita (das sollen) dengan dunia nyata (das sein) pendidikan. Sedangkan kebijakan pendidikan dilakukan dalam rangka mengurangi kesenjangan atau paling tidak mendekatkan antara dunia cita-cita dengan dunia nyata pendidikan. Berdasarkan dimensi kebijakan pemerintah dalam dunia pendidikan, maka penulis mencoba untuk mengklarifikasi masalah-masalah yang ada didalamnya, antara lain:
a.Masalah dimensi management; meskipun UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sudah diberlakukan, namun otonomi daerah sampai saat ini terkesan masih setengah hati. Hal yang bisa kita telisik dalam dunia pendidikan adalah bagaimana Ujian Nasional masih dijadikan standarisasi kelulusan peserta didik oleh pemerintah. Tentunya hal ini bertolak belakang dengan semangat program MBS (Managemen Berbasis Sekolah) yang baru-baru ini mencuat. Kerancauan ini diperparah oleh adanya Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom yang mempertegas sistem pengelolaan lembaga pendidikan, dimana pendidikan dasar sampai menengah keatas merupakan tanggung jawab pemerintah daerah sedangkan pendidikan tinggi menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
b.Masalah dimensi prioritas pembangunan; Dalam amanat UUD pasal 31 ayat 4 disebutkan bahwa Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan Nasional. Seperti halnya dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pemerintah diwajibkan mengalokasikan dana pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan anggaran ini belum termasuk untuk gaji guru dan biaya pendidikan kedinasan. Namun dalam realitasnya praktek anggaran penyelenggaraan pendidikan belum atau masih sangat jauh dari angka 20 persen. Rendahnya anggaran pendidikan menjadi bukti bahwa bidang pendidikan belum memperoleh prioritas yang memadai dalam sistem pembangunan nasional; dan hal ini sekaligus menunjukkan demikian rendahnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan. Hal tersebut sudah barang tentu dapat menciptakan suasana yang kurang kondusif terhadap keberhasilan usaha pencapaian tujuan pendidikan nasional.
c.Masalah dimensi partisipasi masyarakat; masyarakat adalah bagian dari pendidikan, dalam hal ini berarti bahwa masyarakat ikut menentukan arah dan sekaligus ikut bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan. Sebenarnya peran serta masyarakat Indonesia dalam menyelenggarakan pendidikan nasional relatif besar. Hal ini bisa diukur dari betapa banyaknya lembaga pendidikan swasta di Indonesia. Namun peran serta masyarakat ini terbentur dengan pendanaan dalam penyelenggaraan pendidikan dan mindset “favorite” yang ditanamkan oleh pemerintah. Pendanaan penyelenggaraan pendidikan swasta seolah tidak mendapat perhatian sepenuhnya dari pemerintah, dimana subsidi dana bagi lembaga pendidikan swasta berbanding sangat jauh dengan lembaga pendidikan negeri. Serta mindset favorite yang “dikembang biakkan” oleh pemerintah selama ini mematikan nilai tawar pendidikan swasta dimana mindset itu adalah sekolah favorit adalah sekolah yang berstatus negeri. Maka tidak heran semakin banyak sekolah swasta yang akhirnya harus gulung tikar, karena dari segi pendanaan mereka tidak mencukupi dan dari segi kepercayaan masyarakat, orang tua peserta didik lebih merasa bergengsi jika anak-anak mereka disekolahkan di lembaga pendidikan yang berstatus negeri. Bahkan bertahun-tahun sebelum reformasi, yakni pada zaman orde baru, dengan ideologi developmentalismenya pemerintah mengebiri aspirasi dan peran serta masyarakat dalam pendidikan. Karakter pemerintah begitu otoriter dan menindas rakyat. Rakyat difungsikan hanya sebatas obyek yang perlu “dididik”, dimobilisir, didorong bahkan kalau perlu ditekan demi lancarnya “pembangunan” ala pemerintahan orde baru yang sesungguhnya tidak membuat rakyat sejahtera tapi malah membuat rakyat semakin sengsara.\

C.Paradigma Pendidikan Nasional
1.Paradigma Pendidikan Nasional dan Anomalinya
Bahwa paradigma selalu mengalami anomali adalah benar adanya. Hal tersebut tercermin dalam perkembangan paradigma pendidikan nasional sampai detik ini. Romo Wahono memaparkan, bahwa kesalahan pendidikan kita utamanya terletak pada kesalahan paradigmanya. Kesalahan ini mula-mula merupakan warisan kolonial belanda. Dimasa orde baru, kesalahan ini dipelihara dan semakin mendekatkannya pada ide kapitalisme liberal. Kemudian, dengan sentuhan fasisme kolonial jepang, sistem pendidikan menjadi beraroma liberalis-feodalis. Parahnya, paradigma liberalis-feodalis ini dipayungi oleh paradigma kompetisi yang diajarkan oleh globalisasi. Paling tidak berikut akan penulis paparkan secara singkat anomali paradigma pendidikan nasional secara singkat dari tinjauan historis-sosiologisnya.
a.Paradigma sentralistik; paradigma ini dilaksanakan dengan ketat pada masa orde baru. Semua serba tersentral dan terstandarisasi. Intervensi yang berlebihan dari pemerintahan orde baru terhadap dunia pendidikan malah semakin mematikan peran masyarakat serta menjadikan lembaga pendidikan sebagai wahana bagi penanaman ideologi penguasa untuk melanggengkan status quo.
b.Paradigma formisme; dalam paradigma ini, aspek kehidupan dipandang dengan sangat distingtif. Dan satu-satunya kata kunci adalah dikotomi. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan, laki-laki – perempuan, pendidikan formal – non-formal, pendidikan agama – pendidikan umum. Pandangan dikotomis inilah yang menyebabkan terjadinya dualisme dalam pendidikan, sehingga muncullah istilah ilmu agama dan ilmu umum. Keterpisahan secara diametral antara keduanya berakibat pada rendahnya mutu pendidikan dan bertentangan dengan amanat UU pasal 1 No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional yang menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik memiliki moral dan spiritual keagamaan serta memiliki pengetahuan yang komprehensif yang berguna bagi dirinya, masyarakat bangsa dan negara. disebutkan pula dalam pasal diatas bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD RI 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional serta tanggap terhadap kemajuan teknologi dan perkembangan zaman.
c.Paradigma intelektualis; dimana pendidikan lebih menekankan pada aspek kognitif tanpa begitu memperhatikan aspek afektif dan psikomotorik peserta didik. Pendidikan adalah bagaimana siswa mampu menjawab soal-soal buatan yang jauh terlepas dari realitas kehidupan sehari-hari mereka. Pendidikan adalah mampu menjawab soal-soal matematika dengan rumus-rumus yang harus dihafal diluar kepala. Standarisasi kelulusan diukur dengan seberapa besar nilai dari jawaban atas soal-soal ilmu pengetahuan. Sehingga anak didik menjadi robot ilmu pengetahuan tanpa memiliki perasaan dan kebebasan dalam mengeksplorasi bakat dan kompetensi dasar mereka sebagai manusia yang pada hakikatnya berbeda-beda.
d.Paradigma kompetitif; pendidikan sudah kehilangan esensinya sebagai lahan untuk mendidik. Lembaga pendidikan mengajarkan kepada peserta didik bahwa hidup adalah kompetisi. Barang siapa yang unggul dia akan bisa menjadi orang yang berada diatas melebihi orang lain. Kompetisi harus dimenangkan, tak peduli dengan berbagai cara apapun tanpa mempertimbangkan moralitas. Sehingga banyak peserta didik tidak memiliki moralitas dan kering hati nuraninya. Implikasinya, mereka menjadi kompetitor yang menghalalkan segala cara untuk menjadi orang yang paling berkuasa melebihi orang lain. Inilah mungkin yang menyebabkan dan melahirkan budaya KKN dikalangan kaum elite dalam pemerintahan. Mereka adalah output nyata dari pendidikan berparadigma kompetitif.
e.Paradigma mekanistik-prosedural; reformasi pendidikan yang diluncurkan oleh Departeman Pendidikan dan dinas-dinas pendidikan lebih bertumpu pada mekanisme-mekanisme, dan prosedur-prosedur baru, dan cenderung tanpa pemahaman dan penghayatan yang reformasional. Selama ini kebijakan yang diberikan hanya terkait masalah kurikulum, profesinalitas guru dalam memberikan materi pengajaran sesuai dengan silabus yang dipatok oleh pemerintah. Bahwa materi dipisah-pisah secara parsial dan pembagian waktu jam pelajaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan aspek afektif dan psikomotorik siswa. Hal ini dapat dicontohkan dengan bagaimana kemudian jam pelajaran moral dan agama hanya diberikan 2 jam selama seminggu, tak lupa jam kesehatan jasmani juga sama demikian. Lalu kenapa materi pelajaran ekonomi, biologi yang diberikan 4-6 jam selama seminggu lebih berpatokan hanya pada buku diktat dari pemerintah tanpa menyentuh substansi dari materi tersebut dengan melakukan penelitian secara langsung baik itu dipasar, diladang ataupun ditempat-tempat yang begitu akrab dalam kehidupan sehari-hari siswa. Paradigma mekanistik prosedural ini memandang bahwa sekolah adalah tempat proses produksi dijalankan, dimana siswa diberlakukan sebagai raw input.
2.Alternatif Paradigma Baru Pendidikan Nasional
Para pemikir dan pemerhati pendidikan mencoba untuk memberikan sumbangsih pemikiran mereka dalam menawarkan alternatif paradigma baru pendidikan yang semestinya dilakukan/diterapkan bagi masyarakat Indonesia. Diantara sekian banyak tawaran alternatif paradigma baru pendidikan, penulis hanya mampu memberikan sedikit dari beberapa tawaran yang ada, diantaranya adalah:
a.Paradigma baru reformasi pendidikan; sejalan dengan usulan Pestalozzi, tokoh sejarah pendidikan Eropa dan penyantun sejumlah panti yatim piatu, yang sesuai dengan konsep filsafat pendidikan Indonesia bahwa pendidikan ialah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun kecerdasan di sini jangan ditafsirkan sebagai kecerdasan kognitif atau intelektual belaka, tapi kecerdasan manusia yang seutuhnya, kecerdasan total manusia dalam berbagai bidang kehidupannya. Berdasarkan hal ini kita dapat berkata mengenai kehidupan ekonomi bangsa yang cerdas, kehidupan religius bangsa yang cerdas, kehidupan politik bangsa yang cerdas, dan seterusnya. Paradigma reformasi pendidikan berurusan langsung dengan manusia sebagai subjek dan objek reformasi. Sesuai dengan filsafat pendidikan Indonesia yang bertujuan membangun kecerdasan manusia yang seutuhnya, dan filsafat besar lainnya, maka dapat dikatakan bahwa suatu reformasi dikatakan berurusan secara langsung dengan manusia ialah ketika reformasi ditujukan untuk spiritualitas manusia. Spiritualitas adalah unsur fundamental manusia. Di abad mutakhir ini telah muncul kekhawatiran yang amat serius tentang semakin menipisnya rasa kemanusiaan dan hilangnya semangat religius dalam segala aktivitas kehidupan manusia. Konsep pendidikan yang lebih humanistik, yang memandang seluruh potensi (fitrah) manusia secara komprehensif dalam upayanya menyerap seluruh wawasan keilmuan dan dimensi spiritual-etiknya. Pendidikan adalah seluruh proses kehidupan, dan proses kehidupan yang terencana terletak di tangan negara. Dari segi ini negara berperan sebagai the great educator, sebuah istilah yang dipinjam dari Gramsci. Sehubungan dengan hal di atas, agar reformasi lebih berhasil, maka paradigma reformasi hendaknya berlandaskan pada paradigma baru ini. Paradigmaa baru ini lebih bertumpu pada spiritualitas manusia yang hidup dalam bentuk keyakinan, cita-cita dan jiwa setiap individu. Spiritualitas yang lebih merupakan faktor pendorong yang pokok pada suatu perubahan sosial, di samping faktor-faktor lainnya. Peranan yang hendaknya turut dimainkan ketika menyelenggarakan suatu program reformasi sekurang-kurangnya ada dua hal, yaitu sebagai figur teladan dalam cita-cita reformasi dan dinamisator interaksi yang pedagogis (mendidik). Inilah figur pedagog sepanjang zaman. Siapa mereka itu untuk Indonesia saat ini? Hemat penulis, mereka itu hendaknya para aparat pemerintahan mulai dari presiden hingga ke lapisan birokrasi yang berikutnya dan elite sosial lainnya.
b.Paradigma integratif-interkonektif/paradigma pendidikan holistik-dialogis; paradigma ini merupakan alternatif dari anomali paradigma sebelumnya, yakni paradigma dikotomis (formisme). Dimana dalam paradigma formisme, pengembangan ilmu baik itu ilmu agamis-spiritualis ataupun ilmu pengetahuan berbicara dengan bahasanya sendiri-sendiri dan tidak ada komunikasi yang harmonis dan dinamis diantara keduanya. Keilmuan apapun tidak dapat berdiri sendiri. Begitu ilmu pengetahuan tertentu mengklaim dapat berdiri sendiri, merasa dapat menyelesaikan persoalannya sendiri, tidak memerlukan bantuan dan sumbangan dari ilmu lain; maka self sufficiency ini cepat atau lambat akan berubah menjadi narrowmindedness untuk tidak menyebutnya fanatisme partikuralitas disiplin keilmuan. Kerjasama, tegur sapa, saling koreksi dan saling keterhubungan antar disiplin ilmu akan lebih dapat membantu manusia memahami kompleksitas kehidupan yang dijalaninya dan memecahkan persoalan yang dihadapinya. Secara epistemologis, paradigma ini merupakan respon terhadap kesulitan-kesulitan yang dirasakan selama ini, yang diwariskan selama berabad-abad tentang adanya dikotomi pendidikan umum dan agama. Masing-masing berdiri sendiri tanpa merasa perlu adanya saling tegur sapa. Secara aksiologis paradigma ini hendak menawarkan pandangan dunia (world view) manusia beragama dan ilmuwan yang bermoral, yang lebih terbuka, mampu berdialog dan bekerjasama.
c.Paradigma pendidikan demokratis; Pendidikan haruslah memberikan jawaban kepada kebutuhan (needs) masyarakat itu sendiri. Demokrasi pendidikan berarti pendidikan dari, untuk dan oleh rakyat. Pendidikan muncul dan berkembang dari masyarakat, bukan sebagai proyek apalagi perintah dari penguasa yang seringkali sarat dengan kepentingan tertentu. Pendidikan tumbuh dari masyarakat dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat itu sendiri. Dan masyarakat bukanlah obyek pendidikan, tetapi partisipan aktif yang mempunyai peran dalam setiap dinamika pendidikan. Pendidikan demokratis adalah pendidikan yang mengakui hak untuk berbeda ( right to be different). Pendidikan tidak boleh otoriter dan mengandung unsur-unsur doktrinisasi. Proses pendidikan yang otoriter dan doktrinatif hanya akan melahirkan manusia-manusia yang bisu yang takut mengajukan pilihan. Pendidikan demokratis berati pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai kebudayaan lokal dalam kerangka kebudayaan nasional secara komprehensif. Sehingga pendidikan mampu menunjukkan identitas bangsa Indonesia yang majemuk tetapi tetap dalam satu kesatuan; Bhineka Tunggal Ika.
d.Paradigma pendidikan humanis; pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Menjadi manusia bukan sekedar dapat makan untuk hidup, tetapi lebih dari itu menjadi manusia berarti memiliki tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya. Pendidikan humanis adalah proses pendidikan yang membangun karakter kemanusiaan dalam diri manusia, yang menghargai harkat dan martabat manusia lain, yang tidak terlepas dari moral hidup bersama atau moral sosial. Muara pendidikan yang manusiawi adalah mewujudkan pendidikan yang bermakna, yakni suatu sistem pendidikan yang menekankan pada watak (karakter) atau moral dalam sistem nilai dan aktualisasi diri, pada peserta didik. Dan ini berarti meninggalkan sistem pendidikan yang menekankan pada pemupukan pengetahuan atau ”knowledge deposit” (paradigma pendidikan intelektualis). Pendidikan humanis ini memiliki beberapa ciri, yaitu: memandang pendidikan sebagai sebuah sistem organik, bukan mekanik. Tidak memisahkan antara teori dan praksis. Memperlakukan peserta didik bukan sebagai bahan mentah, melainkan sebagai individu yang memiliki bakat dan minat tertentu. Pendidikan adalah proses egaliterian (manusia memiliki derajat yang sama).

D.Kesimpulan
Klasifikasi ideologi pendidikan berdasarkan karakter yang dikandung oleh masing-masing ideologi, antara lain: ideologi fundamentalisme, ideologi intelektualisme, ideologi konservatisme, ideologi liberalisme, ideologi anarkhisme dan ideologi kritis-radikal. Diantara beberapa karakteristik ideologi pendidikan yang disebutkan diatas, bangsa Indonesia belum jelas dalam menganut ideologi pendidikan yang ada atau bahkan belum mampu mengembangkan ideologi negara ini sendiri (ideologi Pancasila) ke dalam dunia pendidikan. Maka Problem solving yang hendak ditawarkan tidak lepas dari perumuskan ideologi Negara (Pancasila) kedalam dunia pendidikan; yakni dengan perwujudan dan pengembangan konsep ideologi pendidikan Pancasila yang sudah dibahas oleh beberapa pakar pendidikan maupun ketatanegaraan. Sehingga kebijakan pendidikan yang dilakukan pemerintah dapat mencapai pada hakikat dan tujuan pendidikan nasional itu sendiri.
Bercermin pada kegagalan paradigma pendidikan dimasa sebelumnya, maka ada beberapa tawaran paradigma baru pendidikan guna mencapai tujuan pendidikan yang di idam-idamkan oleh rakyat Indonesia. Diantara beberapa tawaran yang ada antara lain: paradigma baru reformasi pendidikan; dimana reformasi pendidikan harus mampu menyentuh sisi religiuitas agar reformasi yang diterapkan bisa tepat guna dan tidak kering dari spiritualitas, paradigma integratif-interkonektif/paradigma pendidikan holistik-dialogis; dimana pandangan dikotomis dalam pendidikan harus dibuang jauh-jauh agar terjadi dialog yang dinamis dalam proses pendidikan, paradigma pendidikan demokratis; dimana pendidikan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, serta paradigma pendidikan humanis; pendidikan adalah proses memanusiakan manusia.


DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonektif. Cet. II. Yogyakarta; Pustaka pelajar. 2010.
Arifi, Ahmad. Politik Pendidikan Islam; Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam di Tengah Arus Globalisasi. Yogyakarta; Teras. 2009.
Amnur, Ali Muhdi (Edt). Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional. Yoyakarta; Pustaka Fahima. 2007.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Cet II. Jakarta; Gramedia. 2000.
Freire, Paulo. Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan. (Trjm: Agung Prihantoro & Fuad Arif F.). Cet VI. Yogyakarta; Pustaka Pelajar. 2007.
H.A.R. Tilaar. Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung; Remaja Rosdakarya. 2000.
http://saungwali.wordpress.com/2007/06/05/paradigma-baru-reformasi-pendidikan. Diakses pada tanggal 30 Oktober 2010.
Journal.uny.ac.id/index.php/cp/article/view/334/pdf. Didownload pada tanggal 23 Oktober 2010.
O’neil, William F. Ideologi-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta; Pustaka Pelajar. 2001.
Partanto, Pius A & M. Dahlan. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya; Arkola. 1994.
Rohman, Arif. Politik Ideologi Pendidikan. Yogyakarta; LaksBang Mediatama. 2009.
Susetyo, Benny. Politik Pendidikan Penguasa. Yogyakarta; LKiS. 2005.
Wahono, Francis. Kapitalisme Pendidikan; antara Kompetisi dan Keadilan. Yogyakarata; Pustaka Pelajar, Cinderalas dan Insist Press. 2001.
www.inherent-dikti.net.files.sisdiknas.pdf. Didownload pada tanggal 07 November 2010.
Zamroni. Pendidikan dan Demokrasi dalam Transisi (Prakondisi Menuju Era Globalisasi). Jakarta; PSAP Muhammadiyah. 2007.

Minggu, 07 November 2010

Aliran-Aliran dalam Sejarah Perkembangan Filsafat Ilmu Pengetahuan

A.Latar Belakang
Filsafat dan Ilmu adalah dua kata yang saling berkaitan baik secara substansial maupun historis. Kelahiran suatu ilmu tidak dapat dipisahkan dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh aliran-aliran pemikiran filsafat barat. Tanpa bermaksud untuk mengkonsentrasikan kajian pada pemikiran barat dan mengesampingkan pemikiran diluar barat; meskipun juga akan sedikit dibahas persentuhan pemikiran barat dengan dunia timur tengah (baca; Islam), kajian ini akan lebih banyak mengulas tentang sejarah aliran-aliran pemikiran barat dimulai dari zaman Yunani klasik yang pada akhirnya melahirkan spesialisasi dan sub-spesialisasi ilmu pada abad ke-20.
Semenjak Immanuel Kant yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat; maka semenjak itu pula refleksi filsafat mengenai pengetahuan manusia menjadi menarik perhatian. Dan lahirlah pada abad 18 cabang filsafat yang disebut sebagai filsafat pengetahuan (theory of knowledge atau epistemology). Melalui cabang filsafat ini diterangkan sumber serta tatacara untuk menggunakan sarana dan metode yang sesuai guna mencapai pengetahuan ilmiah. Diselidiki pula evidensi dan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi apa yang disebut kebenaran ilmiah, serta batas batas validitasnya.
Pengetahuan Ilmiah atau Ilmu (Science) pada dasarnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan pengetahuan sehari-hari yang dilanjutkan dengan suatu pemikiran cermat dan seksama dengan menggunakan berbagai metode. Dan karena pengetahuan ilmiah (atau yang biasa disebut-sebut sebagai ilmu) merupakan a higher level of knowledge, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai pengembangan dari filsafat pengetahuan. Bidang garapan filsafat ilmu tidak jauh dari komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga eksistensi pengetahuan ilmiah, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Dan dalam pengembangannya filsafat ilmu juga mengarahkan pandangannya pada strategi pengembangan ilmu yang menyangkut aspek etik dan heuristik. Bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan umat manusia.
Filsafat ilmu sebagai disiplin yang mandiri baru hadir pada tahun 1920-an; dimana sebelumnya pemikiran kefilsafatan tentang ilmu dapat dikatakan lebih merupakan produk sampingan pengembangan epistimologi. Pada mulanya kajian filsafat tentang pengetahuan ilmiah berusaha menjelaskan usur-unsur yang terlibat dalam proses penelitian tentang pengetahuan, yaitu: prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola argument, metode penyajian, analisis, dan seterusnya. Kemudian dalam bentuk kontemporer topik filsafat ilmu berkembang sampai pada analisis dan diskusi eksplisit mengenai cabang-cabang ilmu spesifik yang kedudukannya setara dengan filsafat epistemologi itu sendiri. Dari pada itu kemudian ada istilah tentang filsafat ilmu umum dan filsafat ilmu khusus.
Dari sini tampak bahwa kemandirian filsafat ilmu disebabkan atau didorong oleh perkembangan ilmu, khususnya ilmu-ilmu alam yang sangat cepat dan dampaknya terhadap kehidupan manusia. Perubahan-perubahan kemasyarakatan yang fundamental, meluas dan cepat yang berkaitan erat dengan perkembangan ilmu dan teknologi dalam berbagai bidang telah memunculkan berbagai masalah dan krisis kemasyarakatan dan menyebabkan sejumlah ilmuwan dan filsuf memberikan perhatian khusus terhadap ilmu. Namun sampai saat ini penulis sendiri masih merasakan adanya kekaburan mengenai batas-batas dari cabang ilmu yang satu dengan yang lain, sehingga interdependensi dan interrelasi ilmu menjadi sangat terasa. Oleh karena itu penulis memberi asumsi bahwa dibutuhkan suatu overview untuk meletakkan jaringan interaksi untuk saling menuju hakikat ilmu yang integratif.
Diharapkan dengan menunjukan sketsa umum berbagai gambaran secara garis besar mengenai kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan yang pada gilirannya melahirkan suatu cabang filsafat ilmu, kiranya menjadi jelas bahwa filsafat ilmu adalah refleksi filsafat yang tidak pernah mengenal titik henti dalam menjelajahi kawasan ilmiah untuk mencapai sebuah kebenaran. Hakikat ilmu itu sendiri menjadi penyebab fundamental dan kebenaran universal selalu melekat kepadanya. Maka dengan mengetahui filsafat ilmu berarti akan memahami seluk beluk ilmu yang paling dasar sehingga dapat diupayakan kemungkinan pengembangannya serta mengerti keterjalinan antar ilmu yang satu dengan yang lain.

B.Periode Klasik (Abad Sebelum Masehi)
Para tokoh besarnya antara lain:
Anaximander (± 610-540 SM), Anaximenes (± 585-525 SM), Thales (± 640-546 SM), Pythagoras (572-497 SM), Socrates (± 470-399 SM), Plato (428- 348 SM), Aristoteles (382-322 SM), Marcus Tullius Cicero (106-43 SM)
Pada zaman ini filsafat dan ilmu saling berkelindan menjadi satu dan para filosof (ilmuwan) tidak terlalu pusing untuk memisahkannya menjadi hal yang berlainan. Persoalan-persoalan ilmu berada seputar metode dan substansi yang tidak lepas dari realitas yang biasa disebut filsafat alam (kosmologi). Usaha pertamanya adalah melampaui mitologi-mitologi tradisional menuju penjelasan rasional atas alam. Persoalannya berkisar pada pencarian terhadap entitas-entitas yang dikandung oleh semua benda.
Dimulai dengan tiga filsuf dari kota Miletos yaitu Thales, Anaximander dan Anaximenes. Ketiganya secara khusus menaruh perhatian pada alam dan kejadian-kejadian alamiah, terutama tertarik pada adanya perubahan yang terus menerus di alam. Mereka mengembangkan kosmologi yang mempertanyakan asal mula, sifat dasar dan struktur komposisi dari alam semesta. Thales mengatakan bahwa prinsip itu adalah air, Anaximander menyatakan segala sesuatu berasal dari "yang tak terbatas", dan menurut Anaximenes udara-lah yang merupakan unsur induk segala sesuatu.
Filosof berikutnya adalah Pythagoras. Penemuannya terhadap interval-interval utama dari tangga nada yang diekspresikan dengan perbandingan bilangan-bilangan dan penemuan tentang persamaan besaran sudut segitiga sama sisinya yang terkenal mengungkapkan secara tersirat bahwa segala sesuatu terdiri dari "bilangan-bilangan" dan struktur dasar kenyataan itu adalah "ritme". Pythagoras menyatakan bahwa suatu gejala fisis dikusai oleh hukum matematis. Bahkan katanya segala-galanya adalah bilangan. Pythagoras yang mengajar di Itali Selatan, adalah orang pertama yang menamai diri "filsuf". Ia memimpin suatu sekolah filsafat dan sekolah Pythagoras ini sangat penting untuk perkembangan matematika dikemudian hari.
Pada jaman Pythagoras ada Herakleitos yang menyatakan bahwa api sebagai dasar segala sesuatu. Api adalah lambang perubahan, karena api menyebabkan kayu atau bahan apa saja berubah menjadi abu sementara apinya sendiri tetap menjadi api. Herakleitos juga berpandangan bahwa di dalam dunia alamiah tidak sesuatupun yang tetap. Segala sesuatu yang ada sedang menjadi. Pernyataannya yang masyhur "Pantarhei kai uden menei" yang artinya semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tetap. Kemudian ada filosof yang disebut-sebut sebagai peletak dasar metafisika, yakni Parmenides. Parmenides berpendapat bahwa yang ada itu ada, yang tidak ada itu tidak ada. Konsekuensi dari pernyataan ini adalah yang ada 1) satu dan tidak terbagi, 2) kekal, tidak mungkin ada perubahan, 3) sempurna, tidak bisa ditambah atau diambil darinya, 4) mengisi segala tempat, akibatnya tidak mungkin ada perubahan sebagaimana klaim Herakleitos.
Para filsuf tersebut dikenal sebagai filsuf Monisme yaitu pendirian bahwa realitas seluruhnya bersifat satu karena terdiri dari satu unsur saja. Adapun para filsuf yang akan disebutkan berikut ini dikenal sebagai filsuf Pluralis, karena pandangannya yang menyatakan bahwa realitas terdiri dari banyak unsur. Empedokles menyatakan bahwa realitas terdiri dari empat rizomata (akar) yaitu api, udara, tanah dan air. Perubahan-perubahan yang terjadi di alam dikendalikan oleh dua prinsip yaitu cinta (Philotes) dan benci (Neikos). Pluralis yang berikutnya adalah Anaxagoras, yang mengatakan bahwa realitas adalah terdiri dari sejumlah tak terhingga spermata (benih). Berbeda dari Empedokles yang mengatakan bahwa setiap unsur hanya memiliki kualitasnya sendiri seperti api adalah panas dan air adalah basah, Anaxagoras mengatakan bahwa segalanya terdapat dalam segalanya. Karena itu rambut dan kuku bisa tumbuh dari daging. Perubahan yang membuat benih-benih menjadi kosmos hanya berupa satu prinsip yaitu Nus yang berarti roh atau rasio. Nus tidak tercampur dalam benih-benih dan Nus mengenal serta mengusai segala sesuatu. Karena itu, Anaxagoras dikatakan sebagai filsuf pertama yang membedakan antara "ruhani" dan "jasmani". Pluralis selanjutnya adalah Epikuros, Leukippos dan Demokritos yang juga disebut sebagai filsuf Atomis. Atomisme mengatakan bahwa realitas terdiri dari banyak unsur yang tak dapat dibagi-bagi lagi, karenanya unsur-unsur terakhir ini disebut atomos. Jumlah atom tidak berhingga dan tidak mempunyai kualitas, sebagaimana pandangan Parmenides bahwa atom-atom tidak dijadikan dan kekal. Tetapi Leukippos dan Demokritos menerima pemikiran tentang ruang kosong sehingga memungkinkan adanya gerak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa realitas seluruhnya terdiri dari dua hal: yang penuh dengan atom-atom dan yang kosong. Menurut Demokritos jiwa juga terdiri dari atom-atom. Menurutnya proses pengenalan manusia tidak lain sebagai interaksi antar atom. Setiap benda mengeluarkan eidola (gambaran-gambaran kecil yang terdiri dari atom-atom dan berbentuk sama seperti benda itu). Eidola ini masuk ke dalam panca indra dan disalurkan kedalam jiwa yang juga terdiri dari atom-atom eidola. Atom jiwa bersentuhan dengan atom licin menyebabkan rasa manis, persentuhan dengan atom kesat menimbulkan rasa pahit sedangkan sentuhan dengan atom berkecepatan tinggi menyebabkan rasa panas, dan seterusnya.
Kajian Filsafat diteruskan oleh Socrates. Filsafat dalam periode ini ditandai oleh ajarannya yang "membumi" dibandingkan ajaran-ajaran filsuf sebelumnya. Maksudnya, filsuf pra-Socrates mengkonsentrasikan diri pada persoalan alam semesta sedangkan Socrates mengarahkan obyek penelitiannya pada manusia di atas bumi. Socrates memulai filsafatnya dengan bertitik tolak dari pengalaman keseharian dan kehidupan kongkret. Menurut Socrates tidak benar bahwa yang baik itu baik bagi warga negara Athena dan lain lagi bagi warga negara Sparta. Yang baik mempunyai nilai yang sama bagi semua manusia, dan harus dijunjung tinggi oleh semua orang. Pendiriannnya yang terkenal adalah pandangannya yang menyatakan bahwa keutamaan (arete) adalah pengetahuan, pandangan ini kadang-kadang disebut Intelektualisme etis. Dengan demikian Socrates menciptakan suatu etika yang berlaku bagi semua manusia. Sedangkan dalam perkembangan ilmu pengetahuan Socrates menemukan metode induksi dan memperkenalkan definisi-definisi umum.
Lalu ada muridnya yang bernama Plato. Hampir semua karya Plato ditulis dalam bentuk dialog dan Socrates diberi peran yang dominan dalam dialog tersebut. Sekurang-kurangnya ada dua alasan mengapa Plato memilih yang begitu. Pertama, sifat karyanya Socratik – Socrates berperan sentral – dan diketahui bahwa Socrates tidak mengajar tetapi mengadakan tanya jawab dengan teman-temannya di Athena. Dengan demikian, karya Plato dapat dipandang sebagai monumen bagi sang guru yang dikaguminya. Kedua, berkaitan dengan anggapan Plato mengenai filsafat. Menurutnya, filsafat pada intinya tidak lain daripada dialog, dan filsafat seolah-olah drama yang hidup, yang tidak pernah selasai tetapi harus dimulai kembali.
Ada tiga ajaran pokok dari Plato yaitu tentang idea, jiwa dan metode pengetahuan. Menurut Plato realitas terbagi menjadi dua yaitu inderawi yang selalu berubah dan dunia idea yang tidak pernah berubah. Idea merupakan sesuatu yang obyektif, tidak diciptakan oleh pikiran dan justru sebaliknya pikiran tergantung pada idea-idea tersebut. Idea-idea berhubungan dengan dunia melalui tiga cara; Idea hadir di dalam benda, idea-idea berpartisipasi dalam kongkret, dan idea merupakan model atau contoh (paradigma) bagi benda konkret. Pembagian dunia ini pada gilirannya juga memberikam dua pengenalan. Pertama, pengenalan tentang idea; inilah pengenalan yang sebenarnya. Pengenalan yang dapat dicapai oleh rasio ini disebut episteme (pengetahuan) dan bersifat, teguh, jelas, dan tidak berubah. Dengan demikian Plato menolak relatifisme kaum sofis. Kedua, pengenalan tentang benda-benda disebut doxa (pendapat), dan bersifat tidak tetap dan tidak pasti; pengenalan ini dapat dicapai dengan panca indera. Dengan dua dunianya ini juga Plato bisa mendamaikan persoalan besar filsafat Pra-socratik yaitu pandangan pantarhei-nya Herakleitos dan pandangan yang ada-ada-nya Parmenides. Keduanya benar, dunia inderawi memang selalu berubah sedangkan dunia idea tidak pernah berubah dan abadi. Tentang jiwa Plato berpendapat bahwa jiwa itu baka, lantaran terdapat kesamaan antara jiwa dan idea. Lebih lanjut dikatakan bahwa jiwa sudah ada sebelum hidup di bumi. Sebelum bersatu dengan badan, jiwa sudah mengalami pra eksistensi dimana ia memandang idea-idea. Berdasarkan pandangannya ini, Plato lebih lanjut berteori bahwa pengenalan pada dasarnya tidak lain adalah pengingatan (anamnenis) terhadap idea-idea yang telah dilihat pada waktu pra-eksistensi. Dunia yang kelihatan, menurut Plato, hanya merupakan bayangan dari dunia yang sungguh-sungguh, yaitu dunia ide-ide yang abadi. Jiwa manusia berasal dari dunia ide-ide. Jiwa di dunia ini terkurung di dalam tubuh. Keadaan ini berarti keterasingan. Jiwa kita rindu untuk kembali ke "surga ide-ide".
Filsafat Plato, yang lebih bersifat khayal daripada suatu sistem pengetahuan, sangat dalam dan sangat luas dan meliputi logika, epistemolgi, antropologi, teologi, etika, politik, ontologi, filsafat alam dan estetika.
Plato juga membuat uraian tentang negara. Tetapi jasanya terbesar adalah usahanya membuka sekolah yang bertujuan ilmiah. Sekolahnya diberi nama "Akademia" yang paling didedikasikan kepada pahlawan yang bernama Akademos. Mata pelajaran yang paling diperhatikan adalah ilmu pasti. Menurut cerita tradisi, di pintu masuk akademia terdapat tulisan; "yang belum mempelajari geometri janganlah masuk di sini".
Tradisi estafet filsafat kemudian diteruskan oleh Aristoteles, yang merupakan murid dari Plato sendiri. Spektrum pengetahuan yang diminati oleh Aristoteles luas sekali, menurutnya pengetahuan manusia dapat disistemasikan sebagai berikut; pengetahuan teoritis, praktis, produktif, teologi/metafisik, matematik, fisika, etika, politik, seni, ilmu ukur dan retorika. Aristoteles berpendapat bahwa logika tidak termasuk ilmu pengetahuan tersendiri, tetapi mendahului ilmu pengetahuan sebagai persiapan berfikir secara ilmiah. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, logika diuraikan secara sistematis. Mengenai pengetahuan, Aristoteles mengatakan bahwa pengetahuan dapat dihasilkan melalui jalan induksi dan deduksi, Induksi mengandalkan panca indera yang "lemah", sedangkan deduksi lepas dari pengetahuan inderawi. Karena itu dalam logikanya Aristoteles sangat banyak memberi tempat pada deduksi yang dipandangnya sebagai jalan sempurna menuju pengetahuan baru. Salah satu cara Aristoteles mempraktekkan deduksi adalah Syllogismos (silogosme).
Didalam fisikanya, Aristoteles mempelajari dan membagi gerak (kinetis) menjadi dua; gerak spontan dan gerak aksidental. Gerak spontan yang diartikan sebagai perubahan secara umum dikelompokkan menjadi gerak subsitusional yakni sesuatu menjadi sesuatu yang lain seperti seekor anjing mati dan gerak aksidental yakni perubahan yang menyangkut salah satu aspek saja. Gerak aksidental ini berlangsung melalui tiga cara; yaitu gerak lokal seperti meja pindah dari satu tempat ke tempat lain, gerak kualitatif seperti daun hijau menjadi kuning, dan gerak kuantitatif seperti pohon tumbuh membesar. Dalam setiap gerak ada 1) keadaan terdahulu, 2) keadaan baru, dan 3) substratum yang tetap. Sebagai contoh air dingin menjadi panas; dengan dingin sebagai keadaan terlebih dahulu, panas sebagai keadaan baru dan air sebagai substratum. Analisa gerak ini menuntut kita membedakan antara aktus dan potensi. Dalam fase pertama panas menjadi potensi air dan pada fase kedua panas menjadi aktus. Aristoteles juga mengintrodusir pengertian bentuk (morphe atau eidos) dan materi (hyle) ke dalam analisa geraknya. Dalam contoh air dingin menjadi panas, air sebagai hyle dan dingin serta panas sebagai morphe. Aristoteles mengatakan alam yang tidak hidup terdiri dari empat anasir api, udara, air dan tanah; dan bahwa setiap anasir menuju ketempat kodratinya (locus naturalis). Berkaitan dengan jagat raya Aristoteles mengatakan bahwa kosmos terdiri dari dua wilayah yaitu wilayah sublunar (di bawah bulan) dan wilayah yang meliputi bulan, planet-planet dan bintang-bintang. Jagat raya berbentuk bola dan terbatas, tetapi tidak mempunyai permulaan dan kekal. Badan-badan jagat raya diluar bumi semua terdiri dari anasir kelima yaitu ether yang tidak dapat dimusnahkan dan tidak dapat berubah menjadi anasir lain. Gerak kodrati anasir ini adalah melingkar.
Pandangan psikologi Aristoteles adalah bahwa jiwa dan badan dipandang sebagai dua aspek dari satu substansi. Badan adalah materi dan jiwa dalam bentuk dan masing-masing berperan sebagai potensi dan aktus. Pada manusia, jiwa dan tumbuh merupakan dua aspek dari substansi yang sama yakni manusia. Anggapan ini mempunyai konsekuensi bahwa jiwa tidak kekal karena jiwa tidak dapat hidup tanpa materi. Potensi dan aktus juga mempunyai bentuk dalam pengenalan inderawi. Pengenalan inderawi tidak lain adalah peralihan dari potensi (yakni dari aktus obyek) ke aktus organ tubuh. Sebagaimana proses pengenalan inderawi dalam pengenalan rasional bentuk tepatnya bentuk intelektual diterima oleh rasio. Bentuk intelektual ialah bentuk hakikat atau esensi suatu benda. Fungsi rasio dibagi menjadi dua macam yaitu rasio pasif (nus pathetikos) yang menerima esensi dan rasio aktif (nus poitikos) yang "membentuk" esensi.
Ta meta ta physica berarti hal-hal sesudah hak-hal fisis. Di dalam Metaphysica-nya Aristoteles membahas Penggerak Utama. Gerak utama di jagat raya tidak mempunyai permulaan maupun penghabisan. Karena setiap sesuatu yang bergerak, digerakkan oleh sesuatu yang lain perlulah menerima satu Penggerak Pertama yang menyebabkan gerak itu, tetapi ia sendiri tidak digerakkan. Penggerak ini sama sekali lepas dari materi, karena segalanya yang mempunyai materi mempunyai potensi untuk bergerak.
Dalam filsafat, Aristoteles disebut sebagai tokoh madzhab Peripatis (peripatos, berjalan-jalan) yang menyadarkan diri pada deduksi untuk memperoleh kebijaksanaan. Sedangkan gurunya, Plato merupakan tokoh madzhab Illuminasionis yang juga mengandalkan jalan hati, asketisme dan penyucian jiwa dalam menyingkap realitas. Filsafat Aristoteles sangat sistematis. Sumbangannya kepada perkembangan ilmu pengetahuan besar sekali. Tulisan-tulisan Aristoteles meliputi bidang logika, etika, politik, metafisika, psikologi dan ilmu alam.
Ada satu tokoh lagi yang tidak boleh ditinggalkan, yakni Marcus Tullius Cicero. Sebagaimana yang sudah diketahui, ia adalah seorang filsuf dari Romawi yang terkemuka dari aliran Stoicisme. Aliran yang didirikan oleh Zeno dari Citium. Dimana beberapa pandangan menurut kaum Stoicisme, yakni. Pertama, dalam hal logika mereka menekankan kalkulus proposional dan menurunkan kaitan-kaitan logis dari akal sendiri oleh semacam keniscayaan logis. Kedua, epistemologi Stoicisme memberikan sumbangsih ungkapan “pandangan umum” kepada filsafat. Mereka berpandangan bahwa semua manusia mempunyai sekumpulan ide yang umum. Ide-ide itu berperan dalam synkatathesis (penerimaan proporsi-proporsi kebenaran). Ketiga, dalam fisika mereka menekankan hakikat jasmani semua benda dan memandang dunia sebagai sesuatu yang dapat ditentukan.

C.Periode Mediaeval (Abad tengah)
Para tokoh besarnya antara lain:
Plotinos (205-270), al-Kindi (801-866), al-Farabi (870-950), Ibn Sina (980-1037), Ibn Rushd (1126-1198), Maimonides (1135-1204), Thomas Aquinas (1225-1274), Bonaventura (1217-1274), Albertus Magnus (1220-1280), Yohanes Duns Scotus (1266-1308).
Seorang filsuf Mesir, Plotinos mengajarkan suatu filsafat yang sebagian besar berdasarkan pada ajaran Plato dan yang kelihatan sebagai suatu agama. Neo-platonisme ini mengatakan bahwa seluruh kenyataan merupakan suatu proses "emanasi" (penampakan) yang berasal dari Yang Esa dan yang kembali ke Yang Esa. Berkat "eros": kerinduan untuk kembali ke asal ilahi menjadi tujuan dari segala sesuatu. Ajaran falsafi-teologis dari Bapa-bapa Gereja menunjukkan pengaruh Plotinos. Mereka berusaha untuk memperlihatkan bahwa iman sesuai dengan pikiran-pikiran paling dalam dari manusia. Mereka berhasil membela ajaran kristiani terhadap tuduhan dari pemikir-pemikir kafir.
Sekitar tahun 1000 Masehi peranan Plotinos diambil alih oleh penganut Aristoteles. Pertemuan pemikiran Aristoteles dengan iman Kristiani menghasilkan banyak filsuf penting, diantaranya Thomas Aquinas, Bonaventura, Albertus Magnus, Yohanes Duns Scotus. Mereka sebagian besar berasal dari kedua ordo baru yang lahir dalam Abad Pertengahan, yaitu para Dominikan dan Fransiskan. Filsafat mereka disebut Skolastik (dari kata Latin scholasticus, "guru"). Dalam periode ini filsafat diajarkan dalam sekolah-sekolah biara dan universitas-universitas menurut suatu kurikulum yang tetap dan yang bersifat internasional. Tema-tema pokok dari ajaran mereka itu: hubungan iman-akal budi, adanya dan hakikat Tuhan, antropologi, etika dan politik.
Di Timur Tengah sendiri, pada masa ini paham-paham Aristoteles menjadi masyhur kembali melalui beberapa filsuf Islam dan Yahudi, diantaranya Avicena, Averroes dan Maimonides. Tokoh filsafat Muslim yang pertama dikenal adalah al-Kindi. Pandangannya meliputi metode logika untuk mencari kebenaran, matematika dan fisika. Kemudian disusul al-Farabi yang mengeksplorasi ilmu geometri dan mekanika sekaligus ia seorang musikus yang besar. Adapun Ibn Shina dikenal sebagai peletak dasar kaidah kedokteran dengan kitabnya yang berjudul Qanun fi al-Thibb. Beliau juga mengarang kitab as-Syifa yang berisi tentang matematika, metafisika, fisika, psikologi, zoology, geologi, botani, ilmu astronomi dan music. Sedangkan Ibn Rusyd dikenal sebagai lewat komentarnya atas karya-karya Aristoteles.

D.Abad ke-17 sampai Abad ke-19
Para tokoh besarnya diantara lain:
Nicolaus Copernicus (1473-1543), Johannes Keppler (1571-1630), Galileo Galilei (1564-1642), Francis Bacon (1562-1626), René Descartes (1596-1650), Blaise Pascal (1623-1662), Benedictus de Spinoza (1632-1677), Gottfried Wilhelm Leibnez (1646-1716), John Locke (1632-1704), Isaac Newton (1642-1727), George Berkeley (1685-1753), Christian Wolff (1679-1754), David Hume (1711-1776), Immanuel Kant (1724-1804), Auguste Comte (1798-1857), George Friedrich Wilhelm Hegel (1770-1831), George Boole (1815-1864), Augustus De Morgan (1806-1871), Herbert Spencer (1820-1903), Henry Sidgwick (1838-1900), Karl Marx (1818-1883)
Pembaharuan yang kelihatan dalam filsafat Renaissance dan Aufkleraung adalah bahwa ilmu pengetahuan tidak berlandaskan pada “hukum Tuhan”, seperti dalam Abad Pertengahan, melainkan pada penalaran dari manusia itu sendiri untuk mengungkapkan kebenaran. Mulai sekarang manusia-lah yang dianggap sebagai titik fokus dari kenyataan. Filsuf-filsuf ini menekankan kemungkinan-kemungkinan akal budi ("ratio") manusia. Para filsuf mencoba melepaskan diri dari cengkraman gereja, sehingga kemudian dikenal istilah sekuralisasi pengetahuan. Tokoh awalnya adalah Copernicus yang mengintrodusir dalil bahwa bumi bukan pusat dari alam semesta, bukan seperti yang dikemukakan Ptolomeus dimana bumi adalah pusat jagad raya (geosentis) yang diperkuat oleh gereja. Teori Copernicus ini melahirkan revolusi pemikiran tentang ilmu astronomi. Kemudian muncul Keppler yang mengemukakan hukum astronomi bahwa orbit dari semua planet berbentuk elips. Pendapat ini diperkuat dengan pembuktian Galileo, dimana ia menyatakan bahwa pusat jagad raya adalah matahari (heliosentris). Dan bumi mengalami dua gerak (rotasi); yakni bergerak pada porosnya dan bergerak mengelilingi matahari. Ada juga Pascal yang menyusun dasar-dasar perhitungan statistic. Kemudian Newton yang melahirkan teori grafitasi, perhitungan calculus dan sistem kerja optik.
Adalah Francis Bacon yang menjadi perintis filsafat ilmu pengetahuan dengan ungkapannya yang terkenal “knowledge is power”. Pada abad ini perdebatan tentang filsafat ilmu tidak lepas dari perdebatan dalam ilmu itu sendiri. Bacon dengan metode induksi yang memandang dalam menghasilkan ilmu pengetahuan para ilmuwan harus menghasilkan penyebutan yang seksama terhadap fenomena empiris yang diselidiki sebagai pendahuluan untuk mengidentifikasi “bentuk” obyek yang ingin dijelaskan. Berbeda dengan Descrates yang terfokus pada persoalan penyusunan sistem-sistem deduktif yang serba koheren dan konsisten dalam teori pengetahuan. Pada abad ini berbagai aliran filsafat muncul. Adapun paham-paham yang muncul secara garis besar adalah Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme, Idealisme, Positivisme dan Marxisme.
Pertama, aliran Rasionalisme mengajarkan bahwa akal (rasio) adalah alat terpenting untuk memperoleh dan menguji ilmu pengetahuan. Tokoh penting dalam aliran ini adalah Descrates, Spinoza, Leibniz dan Wolff.
Kedua, aliran Empirisme menyatakan bahwa tidak ada sesuatu dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman. Aliran ini secara tegas menolak pandangan paham Rasionalisme yang berdasarkan pada kepastian yang bersifat apriori. Pelopor aliran ini adalah Francis Bacon, kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes, Jhon Locke, George Berkeley dan David Hume.
Ketiga, aliran Kritisisme dari seorang filsuf Jerman yang bernama Immanuel Kant. Aliran ini berusaha menjembantani pandangan-padangan yang saling bertentangan antara Rasionalisme dan Empirisme. Menurut Kant, pengetahuan merupakan hasil terakhir yang diperoleh dengan adanya kerjasama antara dua komponen, yaitu bahan-bahan yang bersifat pengalaman indrawi disatu pihak dengan pengolahan kesan-kesan yang bersangkutan sehingga terdapat suatu hubungan sebab akibat dalam kerangka pikir (rasio) dipihak lain. Kant mengemukakan bahwa pengetahuan harusnya sintesis a priori, yakni pengetahuan harus bersumber dari rasio dan empiris dan sekaligus bersifat apriori dan aposteriori.
Keempat, Idealisme yang bermula pada pemikiran Idealismenya Plato. Diawali dengan Idealisme Subjektifnya Fitche dan Idealisme Objektifnya Scelling. Kemudian keduanya disintesiskan dalam filsafat Idealisme mutlaknya Hegel. Namun demikian pada dasarnya sumber filsafat aliran ini adalah mengikuti filsafat Kritisismenya Kant.
Kelima, Positivisme yakni sistem filsafat yang dikembangkan oleh Auguste Comte, seorang matematikus dan filsuf dari Prancis, yang mengakui bahwa sumber pengetahuan berasal dari fakta-fakta positif dari fenomena-fenomena yang bisa diobservasi. Filsafat Positivisme ini juga disebut dengan Empirisme-kritis. Dan dari filsafat ini dikemudian hari lahirlah bidang ilmu sosiologi.
Keenam, Marxisme yang didirikan oleh Karl Marx atas perpaduan antara metode dealektika Hegel dan filsafat Materialisme Feuerbach. Pemikiran Marx bertalian sangat erat dengan sistem sosial dan ekonomi. Bagi Marx masalah filsafat bukan hanya sebatas masalah ilmu pengetahuan, melainkan juga masalah tindakan. Para filosof selama ini hanya sekedar menafsirkan dunia dengan berbagai cara, namun luput untuk berusaha mengubahnya. Filsafat ini juga yang melatari adanya revolusi industri di Eropa dan ideologi-ideologi besar di dunia.

E.Perbincangan Abad ke-20
Para tokohnya diantara lain:
William James (1842-1910), Wilhelm Windelband (1848-1915), Friedrich Ludwig Gottlob Frege (1848-1925), Miguel De Unamuno Y Jugo (1864 - 1936), Moritz Schlick (1882-1936), Sigmund Freud (1856-1939), Alfred North Whitehead (1861-1947), Jhon Dewey (1859-1952), George Edward Moore (1873-1958), Bertrand Arthur William Russell (1872-1970), Jacques Maritain (1882-1973), Jean Paul Sartre (1905-1980), Michel Foucault (1926-1984), Francois Lyotard (1924-1998), Jacques Derrida (1930-2004)
Pada abad ini perkembangan ilmu pengetahuan ditandai dengan munculnya berbagai aliran filsafat, yang kebanyakan dari aliran-aliran itu merupakan kelanjutan dari aliran pada abad sebelumnya. Diantaranya: Neo-thomisme, Neo-kantianisme, Neo-hegelianisme, Neo-Marxisme, Neo-Positivisme dan sebagainya. Dan ada juga aliran yang baru dengan corak yang sama sekali berbeda dengan aliran sebelumnya, diantaranya: Analitisme, Eksistensialisme, Strukturalisme, Pragmatisme dan Postmodernisme. Akan lebih menarik apabila penjelasan kajian dan perbincangan ilmu pada masa ini difokuskan hanya kepada beberapa aliran yang masih berkembang hingga dewasa ini.
Pertama, Filsafat Analitis merupakan aliran terpenting di Inggris dan Amerika Serikat, sejak sekitar tahun 1950. Filsafat Analitis (yang juga disebut Analitic Philosophy dan Linguistic Philosophy) menyibukkan diri dengan analisis bahasa dan analisis konsep-konsep. Filsafat analitis ini sangat dipengaruhi oleh Wittgenstein dan Bertrand Russell. Wittgenstein mengungkapkan bahwa apa yang dihasilkan oleh sebuah karya filsafat bukan melulu sederetan ungkapan filsafati, melainkan upaya membuat ungkapan-ungkapan menjadi jelas. Tujuan filsafat adalah penjelasan logis terhadap pemikiran; filsafat bukan doktrin melainkan aktifitas. Dengan demikian jelaslah bahwa para filsuf Analitik ini memberi respons atas aliran Idealisme yang lebih menekankan pada upaya pengintrodusiran ungkapan-ungkapan filsafat yang kebanyakan bermakna ganda, kabur dan tidak terpahami oleh nalar.
Kedua, Eksistensialisme mengajukan protes dan pemberontakan terhadap Rasionalisme dan Idealisme Hegel. Aliran ini menekankan pada peran individu dan menolak dengan tegas alam impersonal (tanpa kepribadian) yang dihasilkan dari zaman industri modern. Salah seorang tokoh aliran ini adalah Jean Paul Sartre yang membedakan rasio dialektis dan rasio analitis. Kedua rasio ini harus dijalankan dalam mengungkapkan ilmu pengetahuan.
Ketiga, Strukturalisme berkembang di Perancis, lebih-lebih sejak tahun 1960. Strukturalisme berawal dari suatu sekolah pemikiran dalam bidang filsafat, linguistik, psikiatri, fenomenologi agama, ekonomi dan politikologi. Sturukturalisme menyelidiki "patterns" (pola-pola dasar yang tetap) dalam bahasa-bahasa, agama-agama, sistem-sistem ekonomi dan politik, dan dalam karya-karya kesusasteraan. Tokoh-tokoh terkenal dari Strukturalisme antara lain Cl. Lévi-Strauss, J. Lacan dan Michel Foucault.
Keempat, Pragmatisme merupakan gerakan filsafat dari Amerika. Pragmatisme dikenal juga dengan sebutan Instrumentalisme. Aliran ini menerapkan suatu sikap dalam berfilsafat dengan memakai akibat-akibat praktis dari pikiran unutk memberikan tolak ukur terhadap nilai kebenaran suatu ilmu pengetahuan dalam kehidupan. Tokoh dari aliran ini adalah William James dan Jhon Dewey.
Kelima, Postmodernisme atau dikenal dengan nama lain Post-strukturalisme lahir sebagai reaksi terhadap kegagalan modernisme. Klaim-klaim dari kaum Postmodernisme tentang “berakhirnya modernisme” dimaksudkan untuk menunjukkan berakhirnya anggapan modern tentang “dunia subyek” dan “dunia obyektif”. Tokohnya yakni Lyotard dan Derrida yang ingin mendobrak tatanan modenitas telah terjebak dalam mitos bahwa ilmu pengetahuan dan aplikasinya dalam teknologi telah mampu menyelesaikan persoalan kemanusiaan. Padahal dalam tataran realitasnya, banyak persoalan kemanusiaan yang muncul sebagai dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

E.Kesimpulan
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa perkembangan historis dari aliran-aliran ilmu pengetahuan adalah sebagai berikut:
a.Masa Klasik
Pada masa ini pemikiran ilmu pengetahuan lebih didominasi oleh karakteristik kosmosentris. Terjadi silang pendapat yang saling bertentangan dari aliran-aliran kaum Stoic dan Epicurus serta paham-paham Plato dan Aristoteles.
b.Abad Pertengahan
Pada masa ini pemikiran ilmu pengetahuan lebih didominasi oleh karakteristik teosentris. Pada periode ini ilmu pengetahuan berpihak penuh pada otoritas agama (yang dalam hal ini bisa direpresentasikan oleh gereja dalam tradisi kristen); dimana ilmu pengetahuan berada dibawah pengawasan institusi gereja. Pengajaran imu-ilmu pengetahuan dilaksanakan digereja-gereja. Bukan hanya di barat, di dunia timur tengah (yang notabenenya merupakan daerah kekuasaan umat Islam), permasalahan ilmu pengetahuan juga diwarnai dengan perbincangan para penganut Plato dan aristoteles.
c.Abad XVII- XIX
Pada masa ini Pada masa ini pemikiran ilmu pengetahuan lebih didominasi oleh karakteristik antroposentris. Perbincangan tentang pencarian kebenaran lebih mengarah mengenai metodologi ilmiah yakni dengan hampiran induktif dari Francis Bacon dan hampiran deduktif dari René Descartes. Pada periode ini melimpah aliran-aliran pencarian sumber pengetahuan ilmiah, dimulai dari kaum rasionalis dan kaum empiris disusul Kritisisme serta Idealismenya pengembangan Kantians melalui pengenalan metode kritis dalam filsafatnya, lalu kaum Positivis dan terakhir paham Marxisme.
d.Abad XX
Pada masa ini pemikiran ilmu pengetahuan lebih didominasi oleh karakteristik logosentris. Babak dimulainya tanggapan-tanggapan terhadap relativitas, mekanika kuantum dan perubahan mendalam lainnya dalam ilmu-ilmu kealaman. Serta timbulnya berbagai aliran filsafat; baik sebagai tanggapan atas paham aliran sebelumnya ataupun dengan corak pemikiran yang sama sekali baru.


DAFTAR PUSTAKA
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Cet II. Jakarta; Gramedia. 2000.
Bakhtiar Amsal. Filsafat Ilmu. Cet II. Jakarta; Raja Grafino Persada. 2005.
Gie, The Liang. Pengantar Filsafat Ilmu. Cet VIII. Yogyakarta; Liberty. 2010.
Muntasyir, Rizal & Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Cet IX. Yogyakarta; Pustaka Pelajar. 2009.
Muslehuddin, Muhammad. Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis. (Pent: Yudian W. Asmin). 1991. Yogyakarta; Tiara Wacana.
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Cet IV. Jakarta; Gaya Media Pratama. 2005.
Ravertz, Jerome R. The Philosophy of Science. (Pent: Saut Pasaribu). Cet IV. Yogyakarta; Pustaka Pelajar. 2009.
Siswanto, Joko. Sistem-sistem Metafisika Dunia Barat: Dari Aristoteles sampai Derrida. Yogyakarta; Pustaka Pelajar. 1998.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fak. Filsafat UGM. Filsafat Ilmu. Cet V. Yogyakarta; Liberty. 2010.
http://kuliahfilsafat.blogspot.com/2009/04/sejarah-filsafat-klasik-filsafat-yunani.html