welcome to the free zone...your expression is amazing...

Minggu, 02 Maret 2008

konsep pendidikan ikhwanul muslimin

A. Latar Belakang Masalah
Setelah jatuhnya kerajaan Khilafah Utsmaniyyah Turki pada tahun 1924, umat Islam seolah-olah seperti anak yang kehilangan bapak. Gerakan-gerakan nasionalis yang didalangi oleh penjajah barat mendapat tempat dan kuasa di dalam pemerintahan negara terutamanya Turki, Mesir dan negara-negara Arab yang lain.
Saat inilah sebagian umat Islam yang masih setia pada corak pemerintahan Islam muncul di Mesir. Mereka menumbuhkan sebuah persatuan yang dinamakan ‘Ikhwatul Muslimin’ (Persaudaraan Islam) guna memperjuangkan ideologi Islam dan membawa umat seluruhnya kembali ke pangkalan jalan yang lurus.
Ikhwatul Muslimin yang mempunyai pengaruh besar atas kebangkitan Islam ini diasaskan oleh Hasan Al-Banna. Lalu bagaimanakah konsep pendidikan Ikhwanul Muslimin dalam memberdayakan umat dan memperjuangkan ideologi Islam.

B. Sejarah Singkat Timbulnya Ikhwanul Muslimin
Sejarah mencatat bahwa dunia Islam pada saat itu, khususnya Mesir terlampau banyak dikendalikan oleh Barat; baik dalam segi moral maupun politik. Keadaan tersebut diawali ketika bulan November 1914 Inggris mengumumkan perang melawan kesultanan Utsmani Turki. Dan kemudian pada bulan berikutnya Inggris memplokamirkan Mesir sebagai wilayah Protektoratnya.
Penjajah Barat ketika mendapat tempat dan kuasa di dalam pemerintahan negara terutamanya Turki, Mesir dan negara-negara Arab yang lain; ingin merubah corak dan ideologi masyarakat sesuai dengan keinginan mereka.
Saat inilah sebagian umat Islam yang masih setia pada corak pemerintahan Islam muncul di Mesir. Mereka menumbuhkan sebuah persatuan yang dinamakan ‘Ikhwatul Muslimin’ (Persaudaraan Islam) guna memperjuangkan ideologi Islam dan membawa umat seluruhnya kembali ke pangkalan jalan yang lurus.
Selain faktor diatas, faktor lain yang menyebabkan berdirinya Ikhwanul Muslimin adalah masalah kekacauan dalam pendidikan. Berbagai sumber mencatat, bahwa dalam sistem pendidikan di Mesir terdapat dualisme. Disatu pihak sekolah-sekolah pemerintah hanya mementingkan pengetahuan umum dan mengabaikan pengetahuan agama; sedangkan dipihak lain sekolah agama melupakan pengetahuan umum.
Selain itu situasi politik yang terjadi di Mesir pada saat itu juga mempengaruhi kelahiran organisasi ini. Sumber-sumber terpercaya menyebutkan bahwa dibidang politik luar negeri, dalam dunia Islam terpecah dalam kelompok negara-negara kecil. Dan dalam keadaan itu pula kaum Imperialis merampas negara-negara Arab untuk diekploitasi sumber kekayaan alamnya.
Beberapa faktor tersebutlah yang oleh para peneliti dan sejarawan dinilai sebagai yang melatar belakangi bangkitnya Hasan Al-Banna untuk membentuk suatu organisasi, yaitu pada saat ia menyelesaikan studinya di Darul Ulum. Organisasi tersebut tepatnya didirikan di Islamiyah, sebuah kota yang terletak disebelah timur laut Kairo, Mesir pada tahun 1928. oleh karena itu Ikhwanul Muslimin lebih dikenal sebagai sebuah organisasi yang didirikan oleh Hasan Al-Banna yang dilahirkan di Mesir pada tahun 1906 di Al-Mahmudiyah Mesir.

C. Gerakan-Gerakan Ikhwanul Muslimin Di Mesir
Sebagai sebuah organisasi sosial dan kemasyarakatan, kehadiran Ikhwanul Muslimin tidak dapat dilepaskan dari perkembangan masyarakat di Mesir pada masa itu. Sebagaimana gerakan pembaharuan Islam pada umumnya, Ikhwanul Muslimin muncul sebagai reaksi terhadap sosio-kultur di Kairo. Masyarakat kairo pada saat itu terlihat kurang peduli lagi terhadap nilai-nilai Islam. Dari hari kehari para Ulama' di Mesir tidak mampu lagi menghentikan tingkah laku kaum modernis kecuali hanya melemparkan sumpah serapah terhadap berbagai masalah bid'ah.
Akibat dari imperialisme dan intervensi Barat di Mesir, umat Islam semakin terbuai oleh budaya lokal yang jumud serta lemah dalam mengamalkan nilai-nilai keIslaman. Akibatnya, kehidupan keagamaan menjadi cenderung formalis dan penuh kemunafikan. Sementara praktek mistik membawa masyarakat pada kehidupan tahayul dan memadamkan sifat irasional Islam yang dikenal kreatif.
Sebagaimana diketahui bahwa tema-tema sentral yang menjadi kerangka pemikiran Ikhwanul Muslimin untuk melakukan gerakannya adalah berkaitan dengan masalah moral masyarakat, ekonomi, fungsionalisasi agama yang dinilainya sudah kurang mampu membendung pengaruh sekuler. Selain itu dasar yang paling penting yang dijadikan doktrin Ikhwanul Muslimin dalam melancarkan pembaharuannya sebagaimana dikemukakan Ali Gharishah ada lima: yaitu Allah tujuan kami, Rasulullah tauladan kami, Al-Qur'an undang-undang dasar hidup kami, Jihad adalah jalan perjuangan kami, dan Syahid dijalan Allah adalah cita-cita luhur kami.
Pandangan Ikhwanul Muslimin yang menarik adalah tentang konsep pemerintahan Supra-Nasional, yakni pemerintahan yang meliputi seluruh dunia Islam dengan sentralisasi kekuatan pada pemerintahan pusat yang dikelola atas dasar prinsip persamaan penuh antara semua umat Islam. Negara yang dikehendaki oleh Ikhwanul Muslimin bukanlah Negara Islam kecil dalam sebuah Negara Islam yang besar. Tetapi yang mereka inginkan adalah suatu Negara Islam internasional yang mencakup seluruh Negara Islam sedunia yang dapat melaksanakan risalah Islam secara universal dan mampu menghadapi kekuatan musuh Islam yang memiliki beraneka ragam sarana dan persenjataan modern.
Selanjutnya menurut tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin bahwa kekayaan seseorang diakui haknya, akan tetapi pemiliknya mempunyai fungsi sosial. Dalam artian ia hanya wakil dari masyarakat untuk memegang amanah Allah. Negara yang menjalankan pemerintahan sebagai wakil rakyat mempunyai hak dan kewajiban untuk mengatur dan menyelidiki kekayaan seseorang, mengontrol pemakaiannya dan memotong sebagian yang menjadi hak orang miskin.
Ikhwanul Muslimin berusaha melaksanakan seluruh ajaran sosial dan ekonomi yang berdasarkan Al-Qur'an seperti perpajakan yang diambil dari hukum zakat dan pelarangan membungakan uang.
Implementasi dari gagasan-gagasan tersebut dapat dilihat dari beberapa kegiatan Ikhwanul Muslimin yang turut serta dalam program kepedulian sosial dan upaya pengentasan kemiskinan melalui pendistribusian zakat, infak dan sedekah secara sengaja. Mereka berlomba-lomba mengumpulkan harta untuk fakir miskin, bahkan mereka memiliki badan khusus yang terdaftar dalam kementrian Sosial Mesir, yaitu Lembaga Kebajikan dan Pelayan Sosial.

D. Konsep Pendidikan Ikhwanul Muslimin
Konsep pendidikan Ikhwan Muslimin ditujukan bagi pemecahan berbagai masalah yang dihadapi. Dengan kata lain, Ikhwan Muslimin melihat pendidikan sebagai alat untuk membantu masyarakat dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan sebagaimana telah disebutkan diatas. Atas dasar konsep tersebut, Ikhwan Muslimin memajukan berbagai masalah pendidikan sebagai berikut:
1.Sistem Pendidikan
Salah satu pemikiran pendidikan Ikhwan Muslimin dibidang pendidikan berkaitan dengan upaya mengintegrasikan sistem pendidikan yang dikotomis antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Melalui upaya ini Ikhwan Muslimin bermaksud memberikan nilai agama pada pengetahuan umum, dan memberi makna progresiff terhadap pengetahuan dan amaliah agama, sehingga sikap keagamaan tersebut tampil lebih aktual. Dalam hubungan ini Ikhwan Muslimin berusaha memperbaharui makna iman yang telah lapuk oleh peradaban modern, yaitu dengan cara kembali pada sumber-sumber ajaran yang orisinil. Upaya-upaya tersebut dapat terlihat dari bingkai pendidikan Ikhwan Muslimin yang berorientasi ketuhanan, universal, terpadu, seimbang dan bermuatan keterampilan yang positif dan konstruktif.
Orientasi ketuhanan dalam pendidikan amat penting, karena aspek ketuhanan atau keilmuan merupakan hal yang terpenting dalam pendidikan Islam. Aspek ketuhanan ini sangat mendasar pengaruhnya, terutama jika dihubungkan dengan tujuan pertama pendidikan Islam, yaitu mewujudkan manusia-manusia yang memiliki keimanan yang kokoh. Yaitu iman yang tidak hanya terbatas pada pengertian dan perkataan, tetapi juga harus di implementasikan dengan praktik-praktik ibadah dan ritualitas agama yang menumbuhkan sikap positif untuk kehidupan pribadi dan masyarakat. Selanjutnya yang dimaksudkan dengan universal dan terpadu adalah bahwa pendidikan Islam tidak hanya mementingkan satu segi tertentu saja, dan tidak pula mengharuskan adanya spesialisasi yang sempit melainkan mencakup semua aspek secara terpadu dan seimbang. Pendidikan Islam tidak hanya mementingkan rohani dan moral seperti yang terdapat pada paham kaum sufi dan tidak pula hanya menekankan pendidikan rasio seperti yang didambakan kaum filosof. Dan tidak juga hanya mementingkan latihan keterampilan dan disiplin sebagaimana pendidikan dalam kemiliteran, tetapi pendidikan Islam itu mementingkan semua dimensi secara seimbang.
Ciri universalisme dan terpadu dalam pendidikan Islam tersebut sesungguhnya merupakan refleksi dari watak ajaran Islam yang universal dan terpadu. Islam sebagaimana diketahui adalah suatu agama yang sempurna dan lengkap, yang mencakup tidak hanya tuntutan moral dan peribadatan, tetapi juga petunjuk-petunjuk mengenai cara mengatur segala aspek kehidupan, termasuk didalamnya kehidupan politik, ekonomi dan sosial.
Selain itu pendidikan Islam juga harus mementingkan aspek rohani. Dalam hubungan ini Muhammad Quthb mengatakan bahwa ruh adalah suatu kekuatan yang tidak terlihat dan tidak diketahui materi dan cara kerjanya. Ia adalah alat untuk mengadakan kontak dengan Allah sesuai dengan fitrahnya, yaitu alat yang membawa manusia kepada tuhan. Untuk mencapai tujuan penyatuan rohaniah dengan tuhan, manusia dianjurkan agar menciptakan hubungan yang terus menerus antara ruh dengan Allah pada saat dan kegiatan bagaimanapun, baik pada saat berfikir, merasa maupun berbuat.
Selain membina aspek rohani, pendidikan Islam juga harus membina intelektualitas atau cara berfikir yang benar. Hal ini dinilai penting oleh Ikhwanul Muslimin, mengingat eksistensi manusia terdiri dari unsur rohani, akal dan jasmani. Ketiga unsur tersebut harus terpadu dan tidak dapat dipisah-pisahkan.
Khusus mengenai akal, Ikhwanul Muslimin menilai bahwa akal merupakan potensi atau kekuatan besar yang diberikan Allah kepada manusia. Islam sangat menghargai akal dan menempatkannya sebagai salah satu dasar dari adanya pembebanan hukum, dan sebagai tolak ukur yang membedakan antara baik dan buruk. Dalam kaitan ini Ikhwanul Muslimin menilai bahwa berfikir dengan menggunakan akal merupakan kegiatan mental yang bernilai ibadah. Sedangkan mencari bukti-bukti atas sesuatu merupakan keharusan dan belajar merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslimin. Dengan demikian, tidaklah aneh jika pendidikan Islam sama sekali tidak dipisahkan dari pendidikan keimanan atau pendidikan jiwa. Hal ini dapat dimengerti, karena sikap seseorang merupakan cermin dari pemikiran dan pandangannya terhadap dunia, kehidupan dan manusia itu sendiri.
Sejalan dengan pemikiran diatas, Ikhwanul Muslimin juga mementingan pendidikan jasmani. Wujud nyata dari pendidikan jasmani ini menurut Yusuf Al-Qardawi adalah mengambil benutk pemeliharaan kebersihan, kesehatan secara peventif dan pengobatan. Untuk itu, kepada setiap anggota Ikhwanul Muslimin ditekankan agar membiasakan hidup bersih, tidak merokok dan mengurangi minum kopi dan teh; karena hal itu akan mengganggu kesehatan. Pendidikan jasmani ini ditujukan: pertama, agar setiap muslim berbadan sehat dan berupaya memelihara kesehatan fisik dan mental. Kedua, agar setiap muslim dapat beraktifitas dengan lincah dan positif. Ketiga, agar setiap muslim mempunyai daya tahan tubuh yang senantiasa prima.
Sejalan dengan pemikiran tesebut diatas; Ikhwanul Muslimin juga mementingkan pendidikan sosial. Menurutnya, bahwa pendidikan sosial merupakan salah satu misi perjuangannya. Dalam kaitan ini, Yusuf Al-Qardawi mengatakan bahwa beribadah merupakan konsekuensi hubungan dengan Allah, sedangkan kepedulian sosial merupakan konsekuensi hubungan antar sesama manusia. Dan perjuangan merupakan pengejawantahan hubungan dengan musuh-musuh agama.
2.Karakter Pendidikan Islam
Menurut Ikhwanul Muslimin, bahwa karakter pendidikan Islam tidak hanya terletak pada optimalisasi pengembangan potensi dan sumber daya manusia; tetapi harus didasarkan pula pada kejernihan iman dan niat yang positif. Karena tanpa itu semua sains dan teknologi hanya akan jadi bomerang, bahkan dapat mendatangkan marabahaya kehidupan yang tidak diperkirakan sebelumnya.
Untuk mewujudkan karakter pendidikan yang demikian, maka perlu didasarkan pada rasa persaudaraan yang kokoh, keterpautan dan kepedulian sesama muslim; bahkan kalau perlu siap menghadapi penderitaan. Dalam hal ini, sejarah mencatat beberapa tokoh Ikhwanul Muslimin yang darah dan dagingnya mati ditiang gantungan.
3.Lembaga Pendidikan
Selain berbicara tentang sistem dan karakteristik pendidikan, Ikhwanul Muslimin juga berbicara tentang lembaga pendidikan. Dalam hal ini, Ikhwanul Muslimin mengajukan lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan lembaga pendidikan non-formal (diluar sekolah).
Salah satu upaya untuk menangani pendidikan sekolah, Ikhwanul Muslimin membentuk komite khusus dibidang pendidikan dikantor pusat, panitia penyelenggara pendidikan. Dalam seluruh jenjang pendidikan formal, Ikhwanul Muslimin memberikan ciri Islam yang sangat kuat. Dalam hubungan ini, Mariyam Jamilah mengatakan, bahwa Hasan Al-Bana, selaku pendiri Ihwanul Muslimin tidak bosan-bosannya menghimbau pemerintah agar menata kembali pendidikan yang berasaskan Islam dan memperhatikan pentingnya penyusunan kurikulum yang berbeda antara siswa dan siswi, dan secara khusus ia memohon agar pengajar ilmu-ilmu eksakta tidak di baurkan dengan faham materialisme modern.
Selanjutnya berkenaan dengan pendidikan luar sekolah, Ikhwan Muslimin berpandangan bahwa pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang di selenggarakan di luar sekolahan melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak harus berjenjang dan berkesinambungan. Baik melalui keluarga, kelompok belajar, kursus dan satuan pendidikan lainnya yang sejenis. Dalam hal ini Ikhwan al-Muslimin menyelenggarakan kegiatan keagamaan, kursus, kejuruan untuk anak putus sekolah; pendidikan privat bagi anak laki-laki dan perempuan, serta pendidikan kewiraswastaan bagi mereka yang tidak mampu lagi untuk meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Selain itu Ikhwan Muslimin juga menyelenggarakan pendidikan dengan sistem halaqah, yaitu pendidikan yang di selenggarakan secara berkelompok dan membentuk lingkaran. Pendidikan ini merupakan suatu aktivitas yang paling esensial bagi para anggotanya. Sesungguhnya keterlibatan Ikhwanul Muslimin dalam halaqah ini merupakan suatu keharusan. Karena halaqah adalah unsur paling pokok dalam pergerakan. Hal ini pernah dilakukan Abu Darda' di masjid, yaitu ketika ia mengajarkan Al-Qur'an semenjak matahari terbit hingga shalat dzuhur dengan membagi muridnya sebanyak sepuluh orang tiap kelompok yang dipandu oleh seorang guru dalam setiap kelompok.
4.Metode Pendidikan Islam
Sejalan dengan kegiatan pendidikan tersebut, Ikhwanul Muslimin menawarkan berbagai metode pendidikan yang dapat digunakan sesuai dengan bidang studi yang diajarkan. Diantara metode pendidikan tersebut adalah metode pendidikan melalui teladan, teguran, hukuman, cerita, pembiasaan dan pengalaman konkret. Secara keseluruhan metode tersebut dapat dijumpai dasarnya baik dalam Al-Qur'an maupun praktek yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam membina para sahabat beliau.
Bedasarkan uraian diatas terlihat dengan jelas bahwa konsep pendidikan yang ditawarkan Ikhwanul Muslimin sejalan dengan visi dan misi pejuangannya, yaitu membebaskan masyarakat dari keterbelakangan baik dalam kehidupan beragama, sisi ekonomi, politik, sosial, ilmu pengetahuan, maupun kebudayaan. Dengan demikian Ikhwanul Muslimin menempatkan pendidikan sebagai alat untuk meningkatkan harkat dan martabat umat Islam khususnya yang berada di mesir pada saat itu. Untuk mencapai visi dan misi tersebut Ikhwanul Muslimin telah menggunakan semua jenis dan model pendidikan dari yang besifat formal sampai pada pendidikan non-formal.
Demikian pula berbagai metode yang dipandang efektif dan berdaya guna dapat digunakan sebagai cara untuk menerapkan pendidikan.

E. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan:
Pemikiran pendidikan Ikhwan Muslimin dibidang pendidikan berkaitan dengan upaya mengintegrasikan sistem pendidikan yang dikotomis antara pendidikan agama dan pendidikan umum.
Menurut Ikhwanul Muslimin, bahwa karakter pendidikan Islam tidak hanya terletak pada optimalisasi pengembangan potensi dan sumber daya manusia; tetapi harus didasarkan pula pada kejernihan iman dan niat yang positif.
Salah satu upaya untuk menangani pendidikan sekolah, Ikhwanul Muslimin membentuk komite khusus dibidang pendidikan dikantor pusat, panitia penyelenggara pendidikan. Dalam seluruh jenjang pendidikan formal, Ikhwanul Muslimin memberikan ciri Islam yang sangat kuat.
Diantara metode pendidikan yang diusung Ikhwanul Muslimin adalah metode pendidikan melalui teladan, teguran, hukuman, cerita, pembiasaan dan pengalaman konkret.
Konsep pendidikan yang ditawarkan Ikhwanul Muslimin sejalan dengan visi dan misi pejuangannya, yaitu membebaskan masyarakat dari keterbelakangan baik dalam kehidupan beragama, sisi ekonomi, politik, sosial, ilmu pengetahuan, maupun kebudayaan. Dengan demikian Ikhwanul Muslimin menempatkan pendidikan sebagai alat untuk meningkatkan harkat dan martabat umat Islam khususnya yang berada di mesir pada saat itu. Untuk mencapai visi dan misi tersebut Ikhwanul Muslimin telah menggunakan semua jenis dan model pendidikan dari yang besifat formal sampai pada pendidikan non-formal.

DAFTAR PUSTAKA
Jamila, Maryam. (Penrj) Lutfi, Hamid AB. 1989. Para Mujahid Agung. Cet II. Bandung: Mizan.
Boisard, Marcel A. (Penrj) Rasyidi, HM. 1980. Humanisme Dalam Islam. Cet I. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Harun (Edt). 1993. Ensiklopedia Islam. Jilid I. Jakarta; Anda Utama.
Gharishah, Ali. (Penrj) Basyarah, Salim. 1992. Lima Dasar Gerakan Ikhwan Al-Muslimin.Cet IV. Jakarta: Gema Insani Perss.
Al-Banna, Hasan. (Penrj) Marjuned, Ramlan. 1987. Konsep Pembaharuan Masyarakat Islam. Cet I. Jakarta: Media Da'wah.
Al-Qardhawai, Yusuf. (Penrj) Husain, Nabhan. 1985. Sistem Pendidikan Ikhwan Al-Muslimin. Cet I. Jakarta: IIFSO.
Musa, Ishak Al-Husaini. 1983. Ikhwan Al-Muslimin. Cet I. Jakarta: Grafiti Perss.
Al-Kailani, Ismail. (Penrj) Suhandi, Kathur. 1992. Sekuralisme: Upaya Memisahkan Agama Dan Negara. Cet II. Jakata: Pusataka Al-Kautsar.
Masyur, Musthafa. (Penrj) Farhat, Abu. 1990. Ikhwan Al-Muslimin Menjawab Gugatan. Cet I. Jakarta: CV. Esya.
Sadzali, Munawir. 1992. Islam Dan Tata Negara. Cet IV. Jakarta: UI Perss.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar