welcome to the free zone...your expression is amazing...

Jumat, 19 November 2010

Meninjau Kembali Ideologi dan Paradigma Pendidikan Nasional

A.Pendahuluan
Ideologi merupakan istilah yang bisa diartikan sebagai sebuah sistem berfikir (yang diyakini oleh sekelompok orang) yang mendasari setiap langkah dan gerak mereka dalam kehidupan sosialnya. Ideologi dapat diartikan pula sebagai sebuah pemahaman tentang bagaimana memandang dunia (realitas). Oleh karena itu ideologi merupakan landasan bagi pemaknaan realitas. Kata ideologi sendiri berasal dari bahasa Yunani idea (ide/gagasan) dan logos (studi tentang/pengetahuan tentang). Secara harfiah ideologi berarti studi tentang ide-ide/gagasan. Adapun secara istilah ideologi adalah sistem gagasan yang mempelajari keyakinan-keyakinan dan hal-hal ideal; asas haluan; pandangan hidup. Istilah ini mengacu pada seperangkat keyakinan dalam merealisasikan sebuah obyek. Maka tidak salah anggapan bahwa permasalahan ideologi selalu menarik untuk dikaji karena berawal dari sanalah realitas dipersepsikan. Sistem (aturan) yang melandasi pemaknaan kehidupan ini (baca: ideologi) akan selalu menentukan kemana arah dan pandangan hidup para penganutnya.
Demikian halnya dengan ideologi, kata paradigma juga berasal dari bahasa Yunani para (di sebelah, di samping) deigma (memperlihatkan; model/contoh ideal). Istilah paradigma diartikan sebagai pedoman/teladan; cara memandang sesuatu; dasar untuk menyeleksi suatu problem-problem dan pola untuk memecahkannya. Paradigma bisa diartikan pula sebagai landasan berfikir dalam menentukan sikap dan tindakan. Paradigma akan sangat menentukan bagaimana langkah dan tindakan yang diambil dalam mencapai sebuah tujuan.
Pendidikan pada hakikatnya merupakan sebuah usaha sadar untuk menuntun umat manusia secara bertahap dalam menjalani kehidupannya. Dalam hal ini pendidikan sekaligus sebagai upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan peradaban umat manusia. Maka tidak heran apabila dikatakan bahwa maju mundurnya sebuah bangsa sangatlah ditentukan oleh pelaksanaan pendidikan yang ada didalamnya.
Dalam dunia pendidikan, landasan yang mendasari pelaksanaan pendidikan tidak bisa dinafikan begitu saja dalam proses dinamikanya. Bahwa pendidikan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh (inside) ideologi maupun paradigma yang dikandungnya. Ideologi dan paradigma yang mendasari proses pendidikan akan sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam karena hal tersebut terkait dengan bagaimana langkah dan usaha yang ditempuh sebagai upaya untuk mengimplementasikan landasan berfikir kedalam prosesi pendidikan itu sendiri.
Ideologi pendidikan yang dianut sebuah bangsa akan sangat menentukan karakteristik pendidikan yang diterapkan didalamnya. Bangsa ini sendiri, hemat penulis belum jelas dalam menganut ideologi pendidikan yang ada atau paling tidak belum mampu mengembangkan ideologi Pancasila kedalam dunia pendidikan. Tidak ubahnya dengan ideologi pendidikan, paradigma pendidikan juga sangatlah penting dalam tubuh pendidikan. Selama ini paradigma pendidikan di negara kita selalu mengalami perubahan yang tidak berpengaruh signifikan dalam merealisasikan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Seperti dalam ungkapan Thomas Khun yang mengatakan bahwa paradigma selalu mengalami anomali, sehingga akan berkonsekuensi melahirkan paradigma baru. Lalu sejauh ini, pertanyaan yang muncul adalah seperti apakah ideologi dan paradigma pendidikan yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia sehingga bisa diterapkan demi mewujudkan cita-cita pendidikan bangsa ini sendiri?
Melihat selayang pandang penulis, tentunya masih banyak serpihan-serpihan pertanyaan yang ingin kita tanyakan dan bahas lebih lanjut. Semoga pemaparan yang ringkas ini bisa sedikit masukan kepada kita untuk meninjau kembali pengejawantahan ideologi dan paradigma pendidikan di indonesia.

B.Ideologi Pendidikan Nasional
1.Macam-macam Ideologi Pendidikan di Dunia
Sejauh ini pakar-pakar pendidikan mencoba mengklasifikasikan ideologi pendidikan kedalam beberapa aliran-aliran ideologis. Salah satu pakar pendidikan yang sering dijadikan rujukan dalam penggolongan ideologi pendidikan ini adalah William F O’neil. Menurutnya, secara garis besar ideologi pendidikan dapat ditarik menjadi dua golongan, yakni ideologi konservatif dan ideologi liberal. Namun dalam kajian ini penulis mencoba untuk memaparkan klasifikasi ideologi pendidikan berdasarkan karakter yang dikandung oleh masing-masing ideologi tersebut, antara lain:
a.Ideologi fundamentalisme; yaitu ideologi yang ingin meminimalkan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan intelektual serta cenderung mendasarkan diri kepada penerimaan relatif terhadap realitas tanpa adanya kritik terhadap kebenaran dan konsensus sosial yang sudah mapan.
b.Ideologi intelektualisme; yaitu ideologi yang didasarkan pada sistem-sistem pemikiran filosofis yang otoritarian. Intelektualisme pendidikan ingin mengubah praktek-praktek politik dan pendidikan demi menyesuaikan secara lebih sempurna dengan cita-cita intelektual yang sudah mapan.
c.Ideologi konservatisme; yaitu ideologi yang memandang bahwa ketimpangan dalam masyarakat merupakan hukum alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah. Dalam bentuknya yang paling klasik, kaum konservatif berkeyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan sosial atau paling tidak mempengaruhinya. Secara implisit, ideologi ini mendukung ketaatan terhadap lembaga-lembaga yang sudah teruji waktu, disertai dengan rasa hormat yang mendalam terhadap tatanan sosial yang konstruktif.
d.Ideologi liberalisme; yaitu ideologi yang mengajarkan kebebasan individu dan berusaha mempromosikan perwujudan potensi individu secara maksimal. Tujuan jangka panjang pendidikan menurut kaum liberal adalah melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada dengan cara mengajar setiap individu bagaimana menghadapi masalah-masalah dalam kehidupannya sendiri secara efektif. Peserta didik memiliki masalah hidup sendiri dan memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam menyelesaikannya. Yang terpenting adalah bagaimana mereka diarahkan agar dapat secara optimal menyelesaikan masalah hidup mereka secara mandiri melalui pendidikan.
e.Ideologi anarkhisme; yaitu ideologi yang menolak pembatasan-pembatasan kelembagaan terhadap perilaku personal. Ideologi ini bercita-cita melakukan deinstitusionalisasi masyarakat, sehingga menjadikan masyarakat bebas dari belenggu lembaga. Pendekatan terbaik terhadap pendidikan adalah pendekatan yang mengusahakan percepatan perombakan humanistik berskala besar dengan cara menghapus sistem persekolahan.
f.Ideologi kritis-radikal; yakni ideologi yang berpandangan bahwa perhatian utama pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap “the dominant ideologi” ke arah tranformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang berfikir serta bertindak untuk selalu kritis terhadap keadaan dan struktur yang tidak adil dan menindas. Visi pendidikan harusnya adalah melakukan kritik terhadap sistem dan kelas dominan sebagai perwujudan atas keberpihakan terhadap rakyat kecil yang tertindas, dalam rangka untuk mewujudkan tatanan sosial yang lebih adil.
Melihat aliran-aliran ideologi pendidikan diatas, pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah ideologi pendidikan nasional yang dianut/dimiliki bangsa Indonesia sehingga dapat menuntun kita menuju terwujudnya tujuan pendidikan nasional?
Penulis secara pribadi beranggapan bahwa bangsa Indonesia belum jelas dalam menganut ideologi pendidikan yang ada atau bahkan belum mampu mengembangkan ideologi negara ini sendiri (ideologi Pancasila) ke dalam dunia pendidikan. Perbedaan arah praktek penyelenggaraan pendidikan pada dasarnya disebabkan oleh perbedaan ideologi pendidikan itu sendiri. Bangsa yang telah memiliki dan menganut ideologi pendidikan tertentu akan memperoleh cara hidup dan cara pandang dalam menyelenggarakan pendidikan secara kokoh sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan cara hidup dan cara pandangnya. Hal tersebut selanjutnya digunakan untuk menciptakan kondisi tertentu yang dapat membantu keberhasilan dalam menumbuhkan, membangun jaringan dan mengorganisir segenap sumber daya pendidikan dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Sebaliknya, bangsa yang belum atau kurang memiliki dasar ideologi pendidikan yang jelas, selanjutnya akan gamang dan mengalami kesulitan dalam menumbuhkan, membangun dan mengorganisir segenap sumber daya pendidikannya dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan.
Berbagai kebijakan pendidikan di Indonesia selama ini belum berakar pada pilihan ideologi yang dianut. Akibatnya beberapa upaya pembangunan pendidikan berlangsung tanpa akar ideologi yang jelas. Sehingga beberapa kebijakan pendidikan berakhir secara tragis tanpa ada hasil yang signifikan bagi kemajuan bangsa.
2.Pancasila sebagai Ideologi Negara
Memperbincangkan ideologi pendidikan nasional tidak bisa dilepaskan dari dirkursus tentang ideologi Negara Indonesia yakni ideologi Pancasila, karena ideologi negara tentunya harus menjadi landasan bagi segala kebijakan dan keputusan bangsa (dalam hal ini pemerintah) dalam setiap aspek kehidupan bernegara termasuk masalah pendidikan. Segala bentuk kebijakan yang dikeluarkan pemerintah haruslah berlandaskan pada Pancasila serta harus sesuai dengan nilai-nilai luhur dan semangat yang terkandung didalamnya. Terkait dengan hal tersebut, maka kebijakan pemerintah sangat menentukan dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional. Setidak-tidak ada tiga dimensi kebijakan pemerintah yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, yaitu:
a.Dimensi management pemerintah; kebijakan ini menyangkut bagaimana, sejauh mana pendidikan nasional harus dikelola serta dikembangkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
b.Dimensi prioritas pembangunan; kebijakan ini menyangkut sejauh mana pendidikan nasional mendapat prioritas dalam sistem pembangunan nasional disamping bidang-bidang lainnya.
c.Dimensi partisipasi masyarakat; kebijakan ini menyangkut sejauh mana masyarakat mendapat peluang dan kesempatan untuk berkiprah mengembangkan pendidikan.
3.Problematika Penerapan Ideologi Pancasila dalam Dunia Pendidikan
Mengingat kondisi dunia pendidikan di Indonesia, pekerjaan rumah yang harus dirumuskan adalah perwujudan dan pengembangan konsep ideologi pendidikan Pancasila. Beberapa tokoh pendidikan sudah mulai mencoba untuk merumuskan konsep dasar filsafat pendidikan Pancasila, antara lain: Notonagoro, Imam Barnadib dan Subiyanto Wiroyudo. Tinggal bagaimana langkah pemerintah dalam menerapkan ideologi pendidikan Pancasila kedalam dinamika pendidikan di Indonesia, dengan berbagai macam keberagaman yang ada didalamnya.
Masalah pendidikan adalah salah satu masalah yang bersifat universal. Semua manusia tanpa terkecuali sangat berkepentingan terhadap pendidikan. Masalah pendidikan biasanya muncul ketika ada deskripansi (kesenjangan) antara dunia cita-cita (das sollen) dengan dunia nyata (das sein) pendidikan. Sedangkan kebijakan pendidikan dilakukan dalam rangka mengurangi kesenjangan atau paling tidak mendekatkan antara dunia cita-cita dengan dunia nyata pendidikan. Berdasarkan dimensi kebijakan pemerintah dalam dunia pendidikan, maka penulis mencoba untuk mengklarifikasi masalah-masalah yang ada didalamnya, antara lain:
a.Masalah dimensi management; meskipun UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sudah diberlakukan, namun otonomi daerah sampai saat ini terkesan masih setengah hati. Hal yang bisa kita telisik dalam dunia pendidikan adalah bagaimana Ujian Nasional masih dijadikan standarisasi kelulusan peserta didik oleh pemerintah. Tentunya hal ini bertolak belakang dengan semangat program MBS (Managemen Berbasis Sekolah) yang baru-baru ini mencuat. Kerancauan ini diperparah oleh adanya Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom yang mempertegas sistem pengelolaan lembaga pendidikan, dimana pendidikan dasar sampai menengah keatas merupakan tanggung jawab pemerintah daerah sedangkan pendidikan tinggi menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
b.Masalah dimensi prioritas pembangunan; Dalam amanat UUD pasal 31 ayat 4 disebutkan bahwa Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan Nasional. Seperti halnya dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pemerintah diwajibkan mengalokasikan dana pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan anggaran ini belum termasuk untuk gaji guru dan biaya pendidikan kedinasan. Namun dalam realitasnya praktek anggaran penyelenggaraan pendidikan belum atau masih sangat jauh dari angka 20 persen. Rendahnya anggaran pendidikan menjadi bukti bahwa bidang pendidikan belum memperoleh prioritas yang memadai dalam sistem pembangunan nasional; dan hal ini sekaligus menunjukkan demikian rendahnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan. Hal tersebut sudah barang tentu dapat menciptakan suasana yang kurang kondusif terhadap keberhasilan usaha pencapaian tujuan pendidikan nasional.
c.Masalah dimensi partisipasi masyarakat; masyarakat adalah bagian dari pendidikan, dalam hal ini berarti bahwa masyarakat ikut menentukan arah dan sekaligus ikut bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan. Sebenarnya peran serta masyarakat Indonesia dalam menyelenggarakan pendidikan nasional relatif besar. Hal ini bisa diukur dari betapa banyaknya lembaga pendidikan swasta di Indonesia. Namun peran serta masyarakat ini terbentur dengan pendanaan dalam penyelenggaraan pendidikan dan mindset “favorite” yang ditanamkan oleh pemerintah. Pendanaan penyelenggaraan pendidikan swasta seolah tidak mendapat perhatian sepenuhnya dari pemerintah, dimana subsidi dana bagi lembaga pendidikan swasta berbanding sangat jauh dengan lembaga pendidikan negeri. Serta mindset favorite yang “dikembang biakkan” oleh pemerintah selama ini mematikan nilai tawar pendidikan swasta dimana mindset itu adalah sekolah favorit adalah sekolah yang berstatus negeri. Maka tidak heran semakin banyak sekolah swasta yang akhirnya harus gulung tikar, karena dari segi pendanaan mereka tidak mencukupi dan dari segi kepercayaan masyarakat, orang tua peserta didik lebih merasa bergengsi jika anak-anak mereka disekolahkan di lembaga pendidikan yang berstatus negeri. Bahkan bertahun-tahun sebelum reformasi, yakni pada zaman orde baru, dengan ideologi developmentalismenya pemerintah mengebiri aspirasi dan peran serta masyarakat dalam pendidikan. Karakter pemerintah begitu otoriter dan menindas rakyat. Rakyat difungsikan hanya sebatas obyek yang perlu “dididik”, dimobilisir, didorong bahkan kalau perlu ditekan demi lancarnya “pembangunan” ala pemerintahan orde baru yang sesungguhnya tidak membuat rakyat sejahtera tapi malah membuat rakyat semakin sengsara.\

C.Paradigma Pendidikan Nasional
1.Paradigma Pendidikan Nasional dan Anomalinya
Bahwa paradigma selalu mengalami anomali adalah benar adanya. Hal tersebut tercermin dalam perkembangan paradigma pendidikan nasional sampai detik ini. Romo Wahono memaparkan, bahwa kesalahan pendidikan kita utamanya terletak pada kesalahan paradigmanya. Kesalahan ini mula-mula merupakan warisan kolonial belanda. Dimasa orde baru, kesalahan ini dipelihara dan semakin mendekatkannya pada ide kapitalisme liberal. Kemudian, dengan sentuhan fasisme kolonial jepang, sistem pendidikan menjadi beraroma liberalis-feodalis. Parahnya, paradigma liberalis-feodalis ini dipayungi oleh paradigma kompetisi yang diajarkan oleh globalisasi. Paling tidak berikut akan penulis paparkan secara singkat anomali paradigma pendidikan nasional secara singkat dari tinjauan historis-sosiologisnya.
a.Paradigma sentralistik; paradigma ini dilaksanakan dengan ketat pada masa orde baru. Semua serba tersentral dan terstandarisasi. Intervensi yang berlebihan dari pemerintahan orde baru terhadap dunia pendidikan malah semakin mematikan peran masyarakat serta menjadikan lembaga pendidikan sebagai wahana bagi penanaman ideologi penguasa untuk melanggengkan status quo.
b.Paradigma formisme; dalam paradigma ini, aspek kehidupan dipandang dengan sangat distingtif. Dan satu-satunya kata kunci adalah dikotomi. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan, laki-laki – perempuan, pendidikan formal – non-formal, pendidikan agama – pendidikan umum. Pandangan dikotomis inilah yang menyebabkan terjadinya dualisme dalam pendidikan, sehingga muncullah istilah ilmu agama dan ilmu umum. Keterpisahan secara diametral antara keduanya berakibat pada rendahnya mutu pendidikan dan bertentangan dengan amanat UU pasal 1 No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional yang menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik memiliki moral dan spiritual keagamaan serta memiliki pengetahuan yang komprehensif yang berguna bagi dirinya, masyarakat bangsa dan negara. disebutkan pula dalam pasal diatas bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD RI 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional serta tanggap terhadap kemajuan teknologi dan perkembangan zaman.
c.Paradigma intelektualis; dimana pendidikan lebih menekankan pada aspek kognitif tanpa begitu memperhatikan aspek afektif dan psikomotorik peserta didik. Pendidikan adalah bagaimana siswa mampu menjawab soal-soal buatan yang jauh terlepas dari realitas kehidupan sehari-hari mereka. Pendidikan adalah mampu menjawab soal-soal matematika dengan rumus-rumus yang harus dihafal diluar kepala. Standarisasi kelulusan diukur dengan seberapa besar nilai dari jawaban atas soal-soal ilmu pengetahuan. Sehingga anak didik menjadi robot ilmu pengetahuan tanpa memiliki perasaan dan kebebasan dalam mengeksplorasi bakat dan kompetensi dasar mereka sebagai manusia yang pada hakikatnya berbeda-beda.
d.Paradigma kompetitif; pendidikan sudah kehilangan esensinya sebagai lahan untuk mendidik. Lembaga pendidikan mengajarkan kepada peserta didik bahwa hidup adalah kompetisi. Barang siapa yang unggul dia akan bisa menjadi orang yang berada diatas melebihi orang lain. Kompetisi harus dimenangkan, tak peduli dengan berbagai cara apapun tanpa mempertimbangkan moralitas. Sehingga banyak peserta didik tidak memiliki moralitas dan kering hati nuraninya. Implikasinya, mereka menjadi kompetitor yang menghalalkan segala cara untuk menjadi orang yang paling berkuasa melebihi orang lain. Inilah mungkin yang menyebabkan dan melahirkan budaya KKN dikalangan kaum elite dalam pemerintahan. Mereka adalah output nyata dari pendidikan berparadigma kompetitif.
e.Paradigma mekanistik-prosedural; reformasi pendidikan yang diluncurkan oleh Departeman Pendidikan dan dinas-dinas pendidikan lebih bertumpu pada mekanisme-mekanisme, dan prosedur-prosedur baru, dan cenderung tanpa pemahaman dan penghayatan yang reformasional. Selama ini kebijakan yang diberikan hanya terkait masalah kurikulum, profesinalitas guru dalam memberikan materi pengajaran sesuai dengan silabus yang dipatok oleh pemerintah. Bahwa materi dipisah-pisah secara parsial dan pembagian waktu jam pelajaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan aspek afektif dan psikomotorik siswa. Hal ini dapat dicontohkan dengan bagaimana kemudian jam pelajaran moral dan agama hanya diberikan 2 jam selama seminggu, tak lupa jam kesehatan jasmani juga sama demikian. Lalu kenapa materi pelajaran ekonomi, biologi yang diberikan 4-6 jam selama seminggu lebih berpatokan hanya pada buku diktat dari pemerintah tanpa menyentuh substansi dari materi tersebut dengan melakukan penelitian secara langsung baik itu dipasar, diladang ataupun ditempat-tempat yang begitu akrab dalam kehidupan sehari-hari siswa. Paradigma mekanistik prosedural ini memandang bahwa sekolah adalah tempat proses produksi dijalankan, dimana siswa diberlakukan sebagai raw input.
2.Alternatif Paradigma Baru Pendidikan Nasional
Para pemikir dan pemerhati pendidikan mencoba untuk memberikan sumbangsih pemikiran mereka dalam menawarkan alternatif paradigma baru pendidikan yang semestinya dilakukan/diterapkan bagi masyarakat Indonesia. Diantara sekian banyak tawaran alternatif paradigma baru pendidikan, penulis hanya mampu memberikan sedikit dari beberapa tawaran yang ada, diantaranya adalah:
a.Paradigma baru reformasi pendidikan; sejalan dengan usulan Pestalozzi, tokoh sejarah pendidikan Eropa dan penyantun sejumlah panti yatim piatu, yang sesuai dengan konsep filsafat pendidikan Indonesia bahwa pendidikan ialah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun kecerdasan di sini jangan ditafsirkan sebagai kecerdasan kognitif atau intelektual belaka, tapi kecerdasan manusia yang seutuhnya, kecerdasan total manusia dalam berbagai bidang kehidupannya. Berdasarkan hal ini kita dapat berkata mengenai kehidupan ekonomi bangsa yang cerdas, kehidupan religius bangsa yang cerdas, kehidupan politik bangsa yang cerdas, dan seterusnya. Paradigma reformasi pendidikan berurusan langsung dengan manusia sebagai subjek dan objek reformasi. Sesuai dengan filsafat pendidikan Indonesia yang bertujuan membangun kecerdasan manusia yang seutuhnya, dan filsafat besar lainnya, maka dapat dikatakan bahwa suatu reformasi dikatakan berurusan secara langsung dengan manusia ialah ketika reformasi ditujukan untuk spiritualitas manusia. Spiritualitas adalah unsur fundamental manusia. Di abad mutakhir ini telah muncul kekhawatiran yang amat serius tentang semakin menipisnya rasa kemanusiaan dan hilangnya semangat religius dalam segala aktivitas kehidupan manusia. Konsep pendidikan yang lebih humanistik, yang memandang seluruh potensi (fitrah) manusia secara komprehensif dalam upayanya menyerap seluruh wawasan keilmuan dan dimensi spiritual-etiknya. Pendidikan adalah seluruh proses kehidupan, dan proses kehidupan yang terencana terletak di tangan negara. Dari segi ini negara berperan sebagai the great educator, sebuah istilah yang dipinjam dari Gramsci. Sehubungan dengan hal di atas, agar reformasi lebih berhasil, maka paradigma reformasi hendaknya berlandaskan pada paradigma baru ini. Paradigmaa baru ini lebih bertumpu pada spiritualitas manusia yang hidup dalam bentuk keyakinan, cita-cita dan jiwa setiap individu. Spiritualitas yang lebih merupakan faktor pendorong yang pokok pada suatu perubahan sosial, di samping faktor-faktor lainnya. Peranan yang hendaknya turut dimainkan ketika menyelenggarakan suatu program reformasi sekurang-kurangnya ada dua hal, yaitu sebagai figur teladan dalam cita-cita reformasi dan dinamisator interaksi yang pedagogis (mendidik). Inilah figur pedagog sepanjang zaman. Siapa mereka itu untuk Indonesia saat ini? Hemat penulis, mereka itu hendaknya para aparat pemerintahan mulai dari presiden hingga ke lapisan birokrasi yang berikutnya dan elite sosial lainnya.
b.Paradigma integratif-interkonektif/paradigma pendidikan holistik-dialogis; paradigma ini merupakan alternatif dari anomali paradigma sebelumnya, yakni paradigma dikotomis (formisme). Dimana dalam paradigma formisme, pengembangan ilmu baik itu ilmu agamis-spiritualis ataupun ilmu pengetahuan berbicara dengan bahasanya sendiri-sendiri dan tidak ada komunikasi yang harmonis dan dinamis diantara keduanya. Keilmuan apapun tidak dapat berdiri sendiri. Begitu ilmu pengetahuan tertentu mengklaim dapat berdiri sendiri, merasa dapat menyelesaikan persoalannya sendiri, tidak memerlukan bantuan dan sumbangan dari ilmu lain; maka self sufficiency ini cepat atau lambat akan berubah menjadi narrowmindedness untuk tidak menyebutnya fanatisme partikuralitas disiplin keilmuan. Kerjasama, tegur sapa, saling koreksi dan saling keterhubungan antar disiplin ilmu akan lebih dapat membantu manusia memahami kompleksitas kehidupan yang dijalaninya dan memecahkan persoalan yang dihadapinya. Secara epistemologis, paradigma ini merupakan respon terhadap kesulitan-kesulitan yang dirasakan selama ini, yang diwariskan selama berabad-abad tentang adanya dikotomi pendidikan umum dan agama. Masing-masing berdiri sendiri tanpa merasa perlu adanya saling tegur sapa. Secara aksiologis paradigma ini hendak menawarkan pandangan dunia (world view) manusia beragama dan ilmuwan yang bermoral, yang lebih terbuka, mampu berdialog dan bekerjasama.
c.Paradigma pendidikan demokratis; Pendidikan haruslah memberikan jawaban kepada kebutuhan (needs) masyarakat itu sendiri. Demokrasi pendidikan berarti pendidikan dari, untuk dan oleh rakyat. Pendidikan muncul dan berkembang dari masyarakat, bukan sebagai proyek apalagi perintah dari penguasa yang seringkali sarat dengan kepentingan tertentu. Pendidikan tumbuh dari masyarakat dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat itu sendiri. Dan masyarakat bukanlah obyek pendidikan, tetapi partisipan aktif yang mempunyai peran dalam setiap dinamika pendidikan. Pendidikan demokratis adalah pendidikan yang mengakui hak untuk berbeda ( right to be different). Pendidikan tidak boleh otoriter dan mengandung unsur-unsur doktrinisasi. Proses pendidikan yang otoriter dan doktrinatif hanya akan melahirkan manusia-manusia yang bisu yang takut mengajukan pilihan. Pendidikan demokratis berati pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai kebudayaan lokal dalam kerangka kebudayaan nasional secara komprehensif. Sehingga pendidikan mampu menunjukkan identitas bangsa Indonesia yang majemuk tetapi tetap dalam satu kesatuan; Bhineka Tunggal Ika.
d.Paradigma pendidikan humanis; pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Menjadi manusia bukan sekedar dapat makan untuk hidup, tetapi lebih dari itu menjadi manusia berarti memiliki tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya. Pendidikan humanis adalah proses pendidikan yang membangun karakter kemanusiaan dalam diri manusia, yang menghargai harkat dan martabat manusia lain, yang tidak terlepas dari moral hidup bersama atau moral sosial. Muara pendidikan yang manusiawi adalah mewujudkan pendidikan yang bermakna, yakni suatu sistem pendidikan yang menekankan pada watak (karakter) atau moral dalam sistem nilai dan aktualisasi diri, pada peserta didik. Dan ini berarti meninggalkan sistem pendidikan yang menekankan pada pemupukan pengetahuan atau ”knowledge deposit” (paradigma pendidikan intelektualis). Pendidikan humanis ini memiliki beberapa ciri, yaitu: memandang pendidikan sebagai sebuah sistem organik, bukan mekanik. Tidak memisahkan antara teori dan praksis. Memperlakukan peserta didik bukan sebagai bahan mentah, melainkan sebagai individu yang memiliki bakat dan minat tertentu. Pendidikan adalah proses egaliterian (manusia memiliki derajat yang sama).

D.Kesimpulan
Klasifikasi ideologi pendidikan berdasarkan karakter yang dikandung oleh masing-masing ideologi, antara lain: ideologi fundamentalisme, ideologi intelektualisme, ideologi konservatisme, ideologi liberalisme, ideologi anarkhisme dan ideologi kritis-radikal. Diantara beberapa karakteristik ideologi pendidikan yang disebutkan diatas, bangsa Indonesia belum jelas dalam menganut ideologi pendidikan yang ada atau bahkan belum mampu mengembangkan ideologi negara ini sendiri (ideologi Pancasila) ke dalam dunia pendidikan. Maka Problem solving yang hendak ditawarkan tidak lepas dari perumuskan ideologi Negara (Pancasila) kedalam dunia pendidikan; yakni dengan perwujudan dan pengembangan konsep ideologi pendidikan Pancasila yang sudah dibahas oleh beberapa pakar pendidikan maupun ketatanegaraan. Sehingga kebijakan pendidikan yang dilakukan pemerintah dapat mencapai pada hakikat dan tujuan pendidikan nasional itu sendiri.
Bercermin pada kegagalan paradigma pendidikan dimasa sebelumnya, maka ada beberapa tawaran paradigma baru pendidikan guna mencapai tujuan pendidikan yang di idam-idamkan oleh rakyat Indonesia. Diantara beberapa tawaran yang ada antara lain: paradigma baru reformasi pendidikan; dimana reformasi pendidikan harus mampu menyentuh sisi religiuitas agar reformasi yang diterapkan bisa tepat guna dan tidak kering dari spiritualitas, paradigma integratif-interkonektif/paradigma pendidikan holistik-dialogis; dimana pandangan dikotomis dalam pendidikan harus dibuang jauh-jauh agar terjadi dialog yang dinamis dalam proses pendidikan, paradigma pendidikan demokratis; dimana pendidikan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, serta paradigma pendidikan humanis; pendidikan adalah proses memanusiakan manusia.


DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonektif. Cet. II. Yogyakarta; Pustaka pelajar. 2010.
Arifi, Ahmad. Politik Pendidikan Islam; Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam di Tengah Arus Globalisasi. Yogyakarta; Teras. 2009.
Amnur, Ali Muhdi (Edt). Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional. Yoyakarta; Pustaka Fahima. 2007.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Cet II. Jakarta; Gramedia. 2000.
Freire, Paulo. Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan. (Trjm: Agung Prihantoro & Fuad Arif F.). Cet VI. Yogyakarta; Pustaka Pelajar. 2007.
H.A.R. Tilaar. Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung; Remaja Rosdakarya. 2000.
http://saungwali.wordpress.com/2007/06/05/paradigma-baru-reformasi-pendidikan. Diakses pada tanggal 30 Oktober 2010.
Journal.uny.ac.id/index.php/cp/article/view/334/pdf. Didownload pada tanggal 23 Oktober 2010.
O’neil, William F. Ideologi-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta; Pustaka Pelajar. 2001.
Partanto, Pius A & M. Dahlan. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya; Arkola. 1994.
Rohman, Arif. Politik Ideologi Pendidikan. Yogyakarta; LaksBang Mediatama. 2009.
Susetyo, Benny. Politik Pendidikan Penguasa. Yogyakarta; LKiS. 2005.
Wahono, Francis. Kapitalisme Pendidikan; antara Kompetisi dan Keadilan. Yogyakarata; Pustaka Pelajar, Cinderalas dan Insist Press. 2001.
www.inherent-dikti.net.files.sisdiknas.pdf. Didownload pada tanggal 07 November 2010.
Zamroni. Pendidikan dan Demokrasi dalam Transisi (Prakondisi Menuju Era Globalisasi). Jakarta; PSAP Muhammadiyah. 2007.

1 komentar: