welcome to the free zone...your expression is amazing...

Kamis, 02 Desember 2010

SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS; Tokoh Islamisasi Ilmu Pengetahuan

A. Latar Belakang
Dunia Islam saat ini tengah mengalami dekadensi multidimensi. Problem yang semakin kritis ini menuntut segera dilaksanakannya upaya pemecahan secara mendesak. Menurut sinyalemen para pemikir Muslim kontemporer, permasalahan yang kompleks ini terkait keadaan stagnan dari para ilmuwan Muslim yang sampai saat ini belum mampu mencetuskan sebuah pengembangan baru kajian ilmu pengetahuan. Tanpa bermaksud untuk mengenang romantisme sejarah, Islam pernah mengalami masa keemasan peradaban, dengan tidak mengesampingkan faktor-faktor yang lain, juga disebabkan banyaknya karya-karya filsafat Yunani yang disadur oleh para pemikir Muslim untuk kemudian diasimilasikan dan dirumuskan menjadi sebuah pemikiran filsafat Islam. Pada masa inilah islamisasi ilmu pengetahuan mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan dalam dunia Islam. Pada saat yang sama justru bangsa-bangsa Barat mengalami kemunduran peradaban dikarenakan sikap ortodoksi mereka terhadap dogma-dogma agama ciptaan mereka sendiri. Ketika kejayaan Islam runtuh, banyak literatur ilmu pengetahuan Islam diadopsi (dirampas) oleh bangsa Eropa sehingga Barat mengalami kemajuan yang pesat dalam ilmu pengetahuan.
Melihat stagnasi pemikiran ilmuwan Muslim dalam pengembangan ilmu pengetahuan saat ini, tentunya masalah urgen yang harus segera diselesaikan demi menumbuhkan progesifitas pengembangan ilmu pengetahuan adalah masalah dalam dunia pendidikan Islam. Sebagaimana diakui oleh para pemikir pendidikan Islam, bahwa degradasi pemikiran Islam disinyalir akibat dari kurangnya landasan epistemologi Islam dalam dunia pendidikan Islam itu sendiri. Terlebih lagi umat Islam selama ini di”nina-bobok”kan oleh sikap fatalistik yang diwariskan secara turun temurun. Sikap yang sebenarnya bertentangan dengan semangat al-Qur’an ini harus dibuang jauh-jauh untuk mewujudkan konsep insan kamil seperti yang digadang-gadang oleh al-Qur’an dan Sunah Nabi.
Sekuralisme sebagaimana yang ditulis tinta sejarah mulai muncul ketika Eropa (Barat) mengalami zaman renaissance. Sekuralisme sendiri adalah konsekuensi paradigmatis yang berakar dari landasan epistemologi ilmu pengetahuan yang dibangun oleh para ilmuwan Barat. Para ilmuwan Barat secara frontal menolak campur tangan agama dalam masalah ilmu pengetahuan. Sebenarnya penolakan ini lebih disebabkan karena pertentangan dogma-dogma agama Kristen, yang dianut oleh mayoritas kaum akademis dunia Barat, yang tidak selaras dan tidak mampu berjalan beriringan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Dogma-dogma agama Kristiani disinyalir tidak sesuai dengan kebenaran ilmiah dari ilmu pengetahuan.
Di dunia Islam sendiri, sekuralisme sampai saat ini masih menjadi perdebatan yang sengit dari berbagai pemikir Islam. Para pemikir Islam kontemporer mencoba menjawab tantangan sekularisme yang terjadi di Barat dengan konsep “islamisasi ilmu pengetahuan”. Terlepas dari pro-kontra terhadap konsep itu sendiri, sebab kemunculan islamisasi ilmu pengetahuan tidak bisa dilepaskan dari ketimpangan-ketimpangan yang merupakan akibat langsung dari keterpisahan sains dan agama. Tokoh-tokoh pendukung islamisasi ilmu pengetahuan antara lain Naquib Al-Attas, Ismail Raji al-Faruqi, Hussein Nasr, dan Ziauddin Sardar.
Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengarahkan konsentrasi kajian ini terhadap salah satu tokoh dari sekian banyak tokoh “islamisasi ilmu pengetahuan” yaitu Syed Naquib Al-Attas. Dikarenakan banyak hal yang menarik untuk dikaji dari pemikiran-pemikirannya. Disamping itu Syed Naquib al-Attas juga memberikan sumbangsih yang tidak bisa dinafikan dalam dunia pendidikan Islam baik secara konseptual maupun praksisnya. Naquib secara sistematis merumuskan strategi Islamisasi ilmu dalam bentuk kurikulum pendidikan untuk umat Islam.

B. Biografi Syed Muhammad Naquib al-Attas
1. Silsilah keturunan
Naquib al-Attas bernama lengkap Syed Muhammad Naquib al-Attas ibn Ali ibn Abdullah ibn Muhsin ibn Muhammad al-Attas. Silsilah keluarga Naquib dapat dilacak melalui silsilah sayyid keluarga Ba’alawi dari Hadramaut yang sampai kepada Imam Husein, cucu Nabi Muhammad SAW. dari keturunan putri Nabi, Fatimah. Ibu Naquib bernama Syarifah Raquan al-‘Aydarus berasal dari Bogor, Jawa Barat yang merupakan keturunan ningrat kerajaan Sunda di Sukapura. Ibunda Naquib ini merupakan keturunan dari Muhammad al’Aydarus, seorang ulama, guru dan pembimbing rohani Syed Abu Hafs ‘Umar ba’ Syaiban dari Hadramaut, dan juga pernah menjadi guru Nur al-Din al-Raniri, seorang alim ulama dari tanah Melayu.
Dari pihak bapak, kakek Naquib yang bernama Syed Abdullah ibn Muhsin ibn Muhammad al-Attas adalah seorang wali yang berpengaruh tidak hanya di jazirah Arab, tetapi juga di tanah Melayu. Syed Abdullah menikah dengan seorang wanita Turki berdarah aristokrat, Ruqayah Hanum. Ruqayah Hanum sendiri sebelum menikah dengan kakek Syed Naquib al-Attas, pernah menikah dengan Ungku Abdul Majid, adik dari Sultan Abu Bakar Johor. Dan adik dari nenek Syed Naquib al-Attas (Ruqayah hanum) ini, Khadijah adalah permaisuri dari Sultan Abu Bakar Johor. Dan setelah sepeninggal Sultan Abu Bakar Johor, permaisuri Khadijah dinobatkan menjadi Ratu Johor.
Syed Naquib al-Attas adalah anak kedua dari tiga bersaudara. kakak Naquib, Syed Husein adalah seorang sosiolog dan pernah menjadi Wakil Rektor Universitas Malaya. Adik Naquib, Syed Zaid adalah seorang insiyur kimia dan menjadi dosen di Institut Teknologi MARA.
2. Riwayat hidup
Naquib al-Attas lahir pada tanggal 5 September 1931 di Bogor, Jawa Barat. Pada usia 5 tahun Naquib tinggal di Johor, dia tinggal dengan pamannya, Ahmad, kemudian bibinya, Azizah, yang keduanya adalah anak dari nenek Naquib, Ruqayah Hanum dari suaminya yang pertama. Pada tahun 1941- 1945 Naquib kembali ketanah Jawa. Setelah PD II pada tahun 1946, ia berpindah lagi ke Johor dan tinggal dengan salah satu pamannya yang bernama Ungku Abdul Aziz ibn Ungku Abdul Majid, keponakan Sultan yang kelak menjadi Kepala Menteri Johor Modern keenam. Pamannya ini mempunyai perpustakaan manuskrip sastra dan sejarah Melayu yang lengkap. Di perpustakaan inilah Naquib banyak menghabiskan masa mudanya dengan membaca dan mendalami manuskrip-manuskrip sejarah, sastra, agama serta buku-buku klasik Barat. Setelah Ungku Abdul Aziz pensiun, Naquib muda tinggal dengan pamannya yang lain, yakni Dato’ Onn ibn Dato’ ja’far (Kepala Menteri Johor ketujuh), sampai ia menyelesaikan pendidikan tingkat menengahnya.
Setelah menamatkan sekolah menengahnya pada tahun 1951, Naquib muda mendaftar di resimen Melayu sebagai kadet dan mengikuti pendidikan militer di Inggris dari tahun 1952 sampai 1955. Selama di Inggris, ia berusaha memahami aspek-aspek yang mempengaruhi semangat dan gaya hidup masyarakat Inggris. Disana, dia juga membina persahabatan dengan peserta pendidikan yang lain, yakni Syarif Zaid ibn Syakir, yang kelak menjadi Kepala Militer kemudian menjadi Perdana Menteri Yordania. Selama mengikuti pendidikan militer ini, Naquib berkenalan dengan pandangan metafisika tasawuf, terutama dari karya-karya besar para ulama’ tasawuf, yang tersedia di perpustakaan kampus. Disamping mengikuti pendidikan militer, Naquib juga menyempatkan diri mengunjungi kota-kota yang terkenal dengan tradisi intelektual dan seni keislamannya, diantaranya sebagian besar kota-kota di Eropa (terutama Spanyol) dan di Afrika Utara.
Setelah lulus dalam akademi kemiliteran ini, Naquib ditugaskan menjadi pegawai kantor di resimen tentara kerajaan Melayu. Namun karena minatnya yang dalam terhadap ilmu pengetahuan, ia akhirnya mengundurkan diri dan melanjutkan studinya di Universitas Malaya pada tahun 1957-1959. Setamatnya dari Universitas Malaya, ia mendapat beasiswa dari Canada Council Fellowship untuk belajar di Institute of Islamic Studies, Universitas McGill, Montreal. Disinilah ia berkenalan dengan beberapa sarjana Muslim terkenal, diantaranya Sir Hamilton Gibb (Inggris), Fazlur Rahman (Pakistan), Toshihiko Izutsu (Jepang) dan Sayyed Hossein Nasr (Iran). Pada tahun 1963, atas dorongan dari para koleganya, ia melanjutkan pendidikan doktoralnya dan selesai pada tahun 1965. Sekembalinya ke Malaysia, Naquib dilantik menjadi Kepala jurusan Sastra di Universitas Malaya, kemudian diangkat menjadi Dekan Fakultas Sastra pada universitas yang sama pada tahun 1968-1970. Pada tahun 1970, Naquib juga merupakan salah satu pencetus berdirinya Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Di universitas ini, dia menginstruksikan pemakaian bahasa Melayu menggantikan bahasa Inggris yang digunakan sebagai bahasa pengantar dalam perkuliahan, meskipun gagasannya ini kemudian mungundang pro-kontra dari berbagai pihak.
Naquib sering mendapat penghargaan internasional, baik dari para orientalis maupun dari para pakar peradaban Islam dan Melayu. Misalnya, ia pernah dipercaya untuk memimpin diskusi panel mengenai Islam di Asia Tenggara pada Congres International des Orientalis yang ke-29 di Paris pada tahun 1973. Pada tahun 1975, ia dilantik sebagai anggota Imperial Iranian Academy of Philosophy atas kontribusinya dalam pemikiran perbandingan filsafat. Dia pernah menjadi konsultan utama penyelenggaraan international Islamic Festival yang diselenggarakan di London pada tahun 1976. Naquib juga menjadi pembicara dan peserta aktif dalam World Conference on Islamic Education pertama yang dilangsungkan di Makkah pada tahun 1977. Dari tahun 1976-1977, ia menjadi professor tamu untuk mata kuliah studi Islam di Universitas Temple, Philadelphia. Pada tahun 1978, dia diminta oleh UNESCO untuk memimpin pertemuan para ahli sejarah yang diselenggarakan di Aleppo, Suriah. Naquib juga menghadiri dan memimpin sesi-sesi penting dalam berbagai kongres internasional. Di Malaysia sendiri, posisi dan peranan Naquib sebagai seorang pakar studi Islam dan sastrawan tidak perlu diragukan lagi. Dari tahun 1970-1984, dia dipilih menjadi ketua Lembaga Bahasa dan Kasusastran Melayu di Universitas Kebangsaan Malaysia. Dia juga pernah menjabat sebagai ketua Lembaga Tun Abdul Razak untuk Studi Asia tenggara di Universitas Ohio Amerika untuk periode 1980-1982. Naquib sendiri adalah pendiri sekaligus Rektor ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization), Malaysia sejak 1987 sampai sekarang.
3. Latar belakang pendidikan
Latar belakang keluarganya memberikan pengaruh yang besar dalam pendidikan awal Naquib. Dari keluarga yang berada di Bogor, dia memperoleh pendidikan dalam ilmu-ilmu keislaman dengan intens. Pada usia 5 tahun Syed Muhammad Naquib al-Attas menempuh pendidikan dasar di Sekolah Dasar Ngee Heng Johor, Malaysia pada tahun 1936-1941. Namun saat pendudukan Jepang di Indonesia, ia pergi belajar ke Jawa untuk belajar di Madrasah al-`Urwatu al-Wuthqa di Sukabumi, Jawa Barat, sebuah lembaga pendidikan yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, pada tahun 1941-1945. Setelah Perang Dunia II pada tahun 1946 ia kembali ke Johor untuk menyelesaikan pendidikan menengahnya di Bukit Zahra School kemudian melanjutkan di English College pada tahun 1946-1951. Ia begitu tertarik untuk mempelajari sastra Melayu, sejarah, dan kebudayaan Barat. Saat kuliah di Universitas Malaya, Naquib menulis literatur tentang Sufisme, yakni Rangkaian Ruba`iyat dan Some Aspects of Sufism as Understood and Practised among the Malays. Lulus dari Universitas Malaya, ia mendapatkan beasiswa untuk berstudi di Institute of Islamic Studies di McGill University, Montreal, Kanada. Tahun 1962 Naquib berhasil menyelesaikan studi pasca sarjananya dengan thesis Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh. Naquib kemudian melanjutkan studi ke School of Oriental and African Studies, University of London di bawah bimbingan Professor A. J. Arberry dari Cambridge dan Dr. Martin Lings. Thesis doktornya (1962) adalah studi tentang dunia mistik Hamzah Fansuri, seorang sufi besar dari Melayu yang sangat kontroversial.
Pada tahun 1987, Naquib mendirikan sebuah institusi pendidikan tinggi bernama International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur. Melalui institusi ini Naquib bersama sejumlah kolega dan mahasiswanya melakukan kajian dan penelitian mengenai pemikiran dan peradaban Islam, serta memberikan respons yang kritis terhadap Peradaban Barat.
4. Karya-karya
Sebagai seorang pemikir Islam, Naquib termasuk salah satu tokoh yang produktif. Pemikirannya tidak terkhusus pada satu bidang ilmu, tetapi dalam berbagai disiplin ilmu. Naquib sampai saat ini telah menulis 26 buku dan monograf, baik dalam bahasa Inggris maupun melayu dan banyak yang telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa dibelahan dunia. Diantara karya Naquib adalah (1959) Rangkaian Ruba’iyat, (1963) Some Aspects of Shufism as Understood and Practiced among the Malays, (1966) Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh, (1968) The Origins of Malays Sya’ir, (1969) Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesian Archipelago, (1970) The Mysticism of hamzah Fanshuri, (1971) Concluding Postscript to the Origin of Malays Sya’ir, (1972) The Correct Date of the Terengganu Inscription, (1972) Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (1973) Risalah untuk Kaum Muslimin, (1975) Comments on the Re-Examination of Al-Raniri’s Hujjat au’l Siddiq: A Refutation, (1976) Islam; The Concept of Religion and the Foundation of Ethics and the Morality, (1978) Islam and Secularism, (1979) Aims and Objectives of Islamis Education; Islmaic Education Series, (1980) The Concept of Education in Islam, (1985) Islam, Securalism and The Philosophy of the Future, (1986) A Commentary on the Hujjat al-Shiddiq ofNur al-Dinal-Raniri, (1988) The Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of the `Aqa’id of al-Nasafi, (1989) Islam and the Philosophy of Science, (1990) The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul, (1990) On Quiddity and Essence, (1990) The Intuition of Existence, (1992) The Concept of Religion and the Foundation of Ethics and Morality, (1993) The Meaning and Experience of Happiness in Islam, (1994) The Degrees of Existence, (1995) Prolegomena to the Metaphysics of Islam: an Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam.
Disamping karya yang berbentuk buku dan monograf diatas, Naquib telah menyampaikan lebih dari 400 makalah ilmiah di Negara-negara Eropa, Amerika, Jepang, Timur Tengah dan berbagai Negara Islam lainnya. Selain itu, Naquib juga aktif menulis artikel-artikel dalam jurnal-jurnal international. Jumlah artikel ini tidak kurang dari 27 artikel dalam berbagai jurnal international.

C. Pemikiran Syed Naquib al-Attas
1. Pandangan tentang epistomologi Islam
Naquib menjelaskan bahwa kemerosotan ilmu pengetahuan Islam terutama sekali berhubungan dengan epistemologi. Problem umat Islam muncul ketika sains modern diterima di negara-negara Muslim modern, di saat kesadaran epistemologis Muslim amat lemah. Padahal epistemologi sains modern berpijak pada landasan pemisahan agama dalam ilmu pengetahuan. Sains modern tumbuh dan berkembang dari tradisi filsafat yang menafikan kekuasaan dan keberadaan Tuhan dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Landasan epistemologi sains modern besandar pada metode rasionalis-empiris dan menyangkal peran intuisi serta menolak wahyu dan agama sebagai sumber ilmu yang benar. Dalam tradisi ilmiah modern inilah agama dikatakan hanya menjadi belenggu dalam proses dinamika pengembangan ilmu, karena agama tidak mampu menjawab tantangan zaman yang semakin hari semakin bertumpu pada teknologi. Hegemoni pengetahuan barat yang begitu kuat mengakar diseluruh penjuru dunia, tanpa disadari telah diimani oleh sebagian besar umat Muslim. Umat Muslim menerimanya tanpa adanya upaya kritis untuk menilik lebih dalam tentang bagaimana epistemologi yang dikandung oleh sains modern sekarang ini. Adanya anggapan bahwa sains modern adalah satu-satunya cabang ilmu yang otoritatif segera melemahkan pandangan Islam mengenai ilmu.
Naquib menolak preposisi sains modern sebagai sumber pencapaian kebenaran yang paling otoritatif dalam kaitannya dengan epistemologis, karena banyak kebenaran agama yang tak dapat dicapai oleh sains. Pada tingkat dan pemaknaan seperti ini, sains modern telah terlepas jauh dari kebenaran. Kebenaran dalam Islam sendiri merupakan titik kulminasi seluruh aktifitas intelektual dan intuitif yang mampu dicapai manusia dengan segala potensi yang telah diberikan Tuhan. Unifikasi dari berbagai potensi yang meliputi indera, rasio intelektual dan intuisi inilah yang berupaya untuk membuka tabir kebenaran yang tersebar diseluruh jagad raya. Dalam paradigma pemikiran Islam, pencapaian ilmu pengetahuan tidak berhenti pada terminal kesesuaian antara realitas rasio dengan realitas inderawi, tapi lebih dari itu merupakan kesesuaian dan keserasian antara realitas intelektual-intuitif dengan realitas ontologis. Epistemologi Islam tidak berangkat dari keraguan (sebagaimana sains modern barat dikembangkan dengan berlandaskan kepadanya), melainkan berangkat dari keyakinan akan adanya kebenaran itu sendiri. Kebenaran yang secara inheren telah terkandung dalam al-Qur’an sebagai petunjuk Tuhan. Kebenaran yang secara esensial tersembunyi dibalik alam semesta, baik yang berkaitan dengan gejala-gejala, proses maupun peristiwa-peristiwa alam dan kemanusiaan. Bagi Naquib sendiri, dalam proses pembalikan kesadaran epistemologis ini, program islamisasi menjadi satu bagian kecil dari upaya besar pemecahan masalah epistemologi ilmu pengetahuan.
2. Pandangan tentang dewesternisasi dan islamisasi
Dalam pandangan Naquib, dewesternisasi adalah proses memisahkan dan menghilangkan unsur-unsur sekuler dari tubuh pengetahuan yang akan merubah bentuk-bentuk dan nilai-nilai dari pandangan konseptual tentang pengetahuan seperti yang disajikan saat ini. Yang pada dasarnya upaya tersebut merupakan bentuk usaha pemurnian ajaran Islam dari segala pengaruh barat. Upaya dewesternisasi ini sendiri tidak akan mempunyai signifikansi bagi umat Islam bila tidak dilanjutkan dengan gerakan Islamisasi. Islamisasi menurutnya adalah proses pembebasan manusia dari tradisi mitos dan sekuralisme. Bahwa ilmu pengetahuan harus lepas dari pandangan dua tradisi diatas, bagi Naquib adalah sebuah keniscayaan dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang bernuansa dan berwawasan islami. Naquib mengoreksi disiplin ilmu-ilmu modern dan memurnikan ilmu-ilmu Islam yang telah tercelup dalam paham-paham sekuler. Perkembangan ilmu pengetahuan modern yang mengandung ideologi sekuralisme ini harus direformulasikan secara konseptual melalui islamisasi ilmu pengetahuan agar tidak terlepas dari nilai-nilai spiritualitas dan transedensi ketuhanannya.

D. Konsepsi Pemikiran Pendidikan Syed Naquib al-Attas
1. Gagasan tentang manusia
Manusia adalah binatang rasional yang mengacu kepada nalar. istilah nalar sendiri selaras dengan terma ‘aql. Al-‘aql sendiri pada dasarnya adalah ikatan atau simbol yang mengandung makna suatu sifat dalam menyimpulkan objek-objek ilmu pengetahuan dengan menggunakan sarana kata-kata. Dan dari sinilah timbul istilah al-Hayawanun Nathiq. Nathiq selain dimaknai rasio juga dimaknai sebagai “pembicaraan” (yakni suatu kekuatan dan kapasitas untuk merangkai simbol bunyi yang menghasilkan makna). Disamping mempunyai rasio, manusia juga mempunyai fakultas batin yang mampu merumuskan makna-makna (Dzu Nutq). Fakultas batin ini disebut-sebut sebagai hati, yaitu suatu substansi ruhaniyah yang dapat memahami dan membedakan kebenaran dari kepalsuan.
Manusia terdiri dari dua substansi, yakni jiwa dan raga, yang berwujud badan dan roh; atau dengan bahasa lain jasmaniyah dan ruhaniyah. Sebelum berbentuk jasmani, manusia telah mengikat janji akan mengakui Allah sebagai Tuhannya. Perjanjian suci (ikrar primordial) ini mempunyai konsekuensi selalu akan mengikuti kehendak Allah SWT. Dalam diri manusia sebenarnya ada potensi untuk beragama, dalam arti kepatuhan kepada Tuhan. Dan tidak ada kepatuhan (din) yang sejati tanpa adanya sikap pasrah atau penyerahan diri (islam).
Dengan berlandaskan kepada kepatuhan dan penyerahan diri, maka manusia akan mencapai kesadaran bahwa segala potensi yang dimiliki harus diarahkan sebagai bentuk penyembahan (ibadah) kepada Pencipta semesta. Jadi, hidup manusia didunia ini tidak lain bertujuan untuk beribadah dan mengabdikan diri kepada-Nya. Tujuan ini harus menjadi landasan yang paling fundamental bagi setiap aktifitas manusia dalam menjaga dan mengelaborasikan potensi yang dimilikinya untuk memanfaatkan alam semesta dengan segenap fasilitas yang ada didalamnya yang telah diberikan Tuhan. Inilah konsepsi Khalifatullah fi al-Ardh yang harus dijalankan manusia dengan penuh tanggung jawab.
2. Gagasan tentang definisi dan makna pendidikan Islam
Dalam Islam istilah pendidikan dikenal melalui tiga terma yang kesemuanya mengandung makna dan konsekuensi tersendiri dalam proses pendidikan yang didasarkan pada istilah-istilah tersebut. Istilah-istilah tersebut yaitu, tarbiyah, ta’dib dan ta’lim. Naquib cenderung lebih memakai ta’dib daripada istilah tarbiyah maupun ta’lim. Kata tarbiyah berarti mengasuh, menanggung, memberi makan, memelihara, menjadikan tumbuh, membesarkan dan menjinakkan. Sehingga tarbiyah mengandung unsur pendidikan yang lebih bersifat fisik dan material. Terlebih, terma tarbiyah secara luas dapat digunakan tidak hanya untuk manusia, tetapi juga untuk batu, tanaman dan hewan. Sedangkan pendidikan dalam pandangan Islam hanya terkhusus kepada manusia. Sedangkan terma ta’lim, meskipun mempunyai makna yang lebih luas dari tarbiyah, yakni informasi, nasehat, bimbingan, ajaran dan latihan; namun tetap tidak bisa mewakili pengertian pendidikan Islam karena juga dapat digunakan untuk selain manusia, sementara pendidikan hanya untuk manusia saja. Dari pengertian atas dua terma diatas, menurut Naquib, terma ta’diblah yang lebih cocok digunakan dalam pendidikan Islam. ta’dib berasal dari kata adaba yang mempunyai arti mendidik, kehalusan budi, kebiasaan yang baik, akhlak, kepantasan, kemanusiaan dan kasusastran. Dalam struktur konseptual, terma ta’dib sudah mencakup unsur-unsur pengetahuan (‘ilm), pengajaran (ta’lim) dan penyuluhan yang baik (tarbiyah).
Sebagaimana dalam pandangan Naquib bahwa masalah mendasar dalam pendidikan Islam selama ini adalah hilangnya nilai-nilai adab (etika) dalam arti luas. Baginya, alasan mendasar memakai istilah ta’dib adalah, karena adab berkaitan erat dengan ilmu. Ilmu tidak bisa diajarkan dan ditularkan kepada anak didik kecuali orang tersebut memiliki adab yang tepat terhadap ilmu pengetahuan dalam pelbagai bidang. Inti dari pendidikan itu sendiri adalah pembetukan watak dan akhlak yang mulia. Dari sini Naquib mengartikan makna pendidikan sebagai suatu proses penanaman sesuatu ke dalam diri manusia dan kemudian ditegaskan bahwa sesuatu yang ditanamkan itu adalah ilmu; dan tujuan dalam mencari ilmu ini terkandung dalam konsep ta’dib.
Lebih lanjut, Naquib menjelaskan bahwa perbedaan antara ta’dib dan tarbiyah adalah terletak pada makna substansinya. Kalau tarbiyah lebih menonjolkan pada aspek kasih sayang (rahmah), sementara ta’dib, selain dimensi rahmah juga bertitik tolak pada aspek ilmu pengetahuan. Secara mendasar, ia mengakui bahwa dengan konsep ta’dib, pendidikan Islam berarti mencakup seluruh unsur-unsur pengetahuan, pengajaran, dan pengasuhan yang baik. Penekanan pada segi adab dimaksudkan agar ilmu yang diperoleh dapat diamalkan secara baik dan tidak disalahgunakan menurut kehendak bebas pemilik ilmu, sebab ilmu tidak bebas nilai (value free) tetapi sarat nilai (value laden), yakni nilai-nilai Islam yang mengharuskan pelakunya untuk mengamalkan demi kepentingan dan kemaslahatan umat manusia.
Sementara, bila dicermati lebih mendalam, konsep pendidikan Islam hanya terbatas pada tarbiyah atau ta’lim ini, telah dirasuki oleh pandangan hidup Barat yang melandaskan nilai-nilai dualisme, sekularisme, intelektualisme, dan sofisme sehingga nilai-nilai adab semakin menjadi kabur dan semakin jauh dari nilai-nilai hikmah ilahiyah. Kekaburan makna adab itu, dalam pandangan Naquib, menjadi sebab utama dari kezaliman, kebodohan, dan kegilaan. Sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa salah satu sebab kemunduran umat Islam adalah di bidang pendidikan. Maka dari konsep ta’dib seperti dijelaskan, akan ditemukan problem mendasar kemunduran pendidikan umat Islam. Problem itu tidak terkait masalah buta huruf, melainkan berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang disalah artikan, bertumpang tindih, atau diporak-porandakan oleh pandangan hidup sekular (Barat). Akibatnya, makna ilmu itu sendiri telah bergeser jauh dari makna hakiki dalam Islam. Fatalnya lagi, ini semua kemudian menjadi 'dalang' dari berbagai tindakan korup (merusak) dan kekerasan juga kebodohan. Lahir kemudian pada pemimpin yang tak lagi mengindahkan adab, pengetahuan, dan nilai-nilai positif lainnya. Untuk itulah, dalam amatan Naquib, semua kenyataan ini harus segera disudahi dengan kembali membenahi konsep dan sistem pendidikan Islam yang dijalankan selama ini.
Pada sisi lain, adanya pandangan dikotomi keilmuan dalam pendidikan Islam; antara ilmu agama dan ilmu umum telah menimbulkan persaingan di antara keduanya, yang saat ini – dalam hal peradaban – dimenangkan oleh Barat, sehingga pengaruh pendidikan Barat terus mengalir deras, dan ini membuat identitas umat Islam mengalami krisis dan tidak berdaya. Dalam hal ini Naquib berpendapat bahwa perlu adanya penanaman nilai-nilai spiritual, termasuk spiritual intelligent dalam pendidikan Islam. Sebagaimana ia membagi ilmu menjadi dua, yakni ilmu fardhu ‘ain (yang tercakup didalamnya ilmu-ilmu agama) dan ilmu fardhu kifayah (yang meliputi ilmu-ilmu rasional-filosofis seperti ilmu kealaman, ilmu sosial, ilmu terapan dan teknologi). Ia menekankan akan pentingnya pengajaran ilmu fardhu ‘ain yang integral dalam pengajaran ilmu fardhu kifayah. Yakni, dengan memberikan pegajaran tentang ilmu pengetahuan yang menekankan dimensi ketuhanan, intensifikasi hubungan manusia-Tuhan dan manusia-manusia, serta nilai-nilai moralitas lainnya yang membentuk cara pandang anak didik terhadap kehidupan dan alam semesta. Bagi Naquib, adanya pembagian ilmu menjadi ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah tidak perlu diperdebatkan. Tetapi, pembagian tersebut harus dipandang dalam perspektif integral atau tauhid, yakni ilmu fardhu ‘ain sebagai asas dan rujukan bagi ilmu fardhu kifayah. Bahwa setelah manusia dikenalkan akan posisinya dalam tatanan kosmik lewat proses pendidikan, ia diharapakan dapat mengamalkan ilmunya dengan baik di masyarakat berdasarkan adab, etika dan ajaran agama.
3. Gagasan tentang tujuan pendidikan Islam
Seperti halnya pandangannya tentang tujuan hidup manusia, Naquib beranggapan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan kebajikan dalam “diri manusia” sebagai individu dan sebagai bagian dari masyarakat. Secara ideal, Naquib menghendaki pendidikan Islam mampu mencetak manusia yang baik secara universal (al-insan al-kamil). Insan kamil yang dimaksud adalah manusia yang bercirikan: pertama; manusia yang seimbang, memiliki keterpaduan dua dimensi kepribadian; a) dimensi isoterik-vertikal yang intinya tunduk dan patuh kepada Allah dan b) dimensi eksoterik-dialektikal-horisontal, yakni membawa misi keselamatan bagi lingkungan sosial alamnya. Kedua; manusia seimbang dalam kualitas pikir, zikir dan amalnya.
Tujuan akhir pendidikan Islam adalah menghasilkan manusia yang baik, baik dalam kehidupan materiil dan spirituilnya. Dalam hal ini, manusia yang baik yang dimaksud adalah individu yang beradab, bijak, mengenali dan sadar akan realitas sesuatu, termasuk posisi Tuhan dalam realitas itu. Suatu tujuan yang mengarah pada dua demensi sekaligus yakni, sebagai `abdullah (hamba Allah), dan sebagai Khalifah fi al-Ardh (wakil Allah di muka bumi). Dengan harapan yang tinggi, Naquib menginginkan agar pendidikan Islam dapat mencetak manusia paripurna, insan kamil yang bercirikan universalis dalam wawasan dan ilmu pengetahuan dengan bercermin kepada ketauladanan Nabi Muhammad SAW.
Pandangan Naquib tentang masyarakat yang baik, sesungguhnya tidak terlepas dari individu-individu yang baik. Jadi, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat yang baik, berarti tugas pendidikan harus membentuk kepribadian masing-masing individu secara baik. Karena masyarakat merupakan bagian dari kumpulan individu-individu. Manusia yang seimbang pada garis vertikal dan horizontalnya. Dalam konsep inilah tujuan pendidikan Islam mengarah pada terbentuknya manusia universal (insal kamil). Lebih lanjut, menurutnya pendidikan Islam harus mengacu kepada aspek moral-transedental (afektif), tampa harus menuinggalkan aspek kognitif (sensual logis) dan psikomorik (sensual empirik).
4. Gagasan tentang sistem pendidikan Islam
Gagasan Naquib tentang sistem pendidikan Islam ini tidak bisa dilepaskan (terpisah) dari pemaknaannya terhadap konsep pendidikan. Sistem pendidikan Islam bagi Naquib haruslah mengandung unsur adab (etika) dan ilmu pengetahuan, karena inti dari pendidikan itu sendiri adalah pembetukan watak dan akhlak mulia manusia yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi dirinya sendiri khususnya dan bagi umat manusia umumnya.
Sesuai dengan pandangannya terhadap tujuan pendidikan untuk membentuk insan kamil, maka insan kamil harus dijadikan paradigma dalam pengembangan lembaga pendidikan Islam. Dengan demikian lembaga pendidikan Islam harus menjadikan Nabi Muhammad SAW. sebagai modelnya. Sistem pendidikan Islam harus merefleksikan ilmu pengetahuan dan perilaku Rasulullah, serta berkewajiban mewujudkan umat Muslim yang menampilkan kualitas keteladanan Nabi Muhammad SAW. Naquib ingin menampilkan sistem pendidikan Islam yang terpadu, yakni antara dimensi ‘abdullah dengan dimensi Khalifah fi al-Ardh.
Dan sesuai dengan kategori ilmu yang dibuat Naquib, pendidikan Islam haruslah berisikan ilmu-ilmu fardhu ‘ain dan ilmu-ilmu fardhu kifayah. Sistem pendidikan yang diformulasikannya adalah mengintegrasikan ilmu dalam sistem pendidikan Islam, artinya Islam harus menghadirkan dan mengajarkan dalam proses pendidikannya tidak hanya ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu rasional, intelek dan filosofis. Namun ilmu pengetahuan dan teknologi harus terlebih dahulu dilandasi pertimbangan nilai-nilai dan ajaran agama. Karena secara makro dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam masih mengalami keterjajahan oleh konsepsi pendidikan Barat. Ilmu masih dipandang secara dikotomis, sehingga tidak ada integrasi ilmu yang seharusnya diwujudkan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang berwawasan dan bernuansa Islami.

E. Kesimpulan
Pemikiran dan gagasan pendidikan Syed Muhammad Naquib al-Attas mempunyai daya signifikansi yang amat tinggi serta layak untuk dipertimbangkan sebagai sebuah solusi alternatif yang dapat diaktualisasikan dan diimplementasikan dalam dunia pendidikan Islam pada konteks sekarang. Dimana pendidikan Islam sekarang ini tidak mampu memberikan sumbangan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi umat manusia. Pendidikan Islam secara tidak sadar masih saja memandang mewah ilmu pengetahuan Barat dan mengagung-agungkan teknologi Barat yang jelas-jelas telah mengandung sekuralisasi. Maka dari itu Naquib mencoba menawarkan de-westernisasi dan islamisasi sebagai landasan konseptual dalam mengembangkan pendidikan Islam, yang masih saja stagnan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang selama ini masih dibawah kungkungan superioritas Barat.
Dasar argumentasinya adalah untuk mencegah adanya dikotomi ilmu yang memisahkan secara total sisi religiuitas agama dalam pengembangan ilmu pengetahuan, dan ini harus menjadi acuan bagi setiap lembaga pendidikan Islam yang ada saat ini agar tidak menghasilkan output yang justru tidak memiliki jiwa dan karakter yang islami. Naquib juga berusaha menjaga keseimbangan (equiliberium) dalam konsepnya antara aspek afektif, kognitif dan psikomotorik manusia sebagai potensinya sehingga mampu mengemban amanat Tuhan untuk menjadi kholifah fi al-ardh. Pendidikan Islam harus memiliki corak moral dan rilegius dalam mengemban tugasnya sebagai pencetak intelektual Muslim yang sadar akan realitas kehidupan guna mewujudkan insan kamil yang di idam-idamkan. Secara ilmiah Syed Naqib al-Attas telah mengemukakan preposisi-preposisinya sehingga menjadi sebuah konsep pendidikan Islam yang jelas dan sistematis.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Attas, Naquib S.M. Islam dan Sekuralisme. (trjmh oleh Karsidjo Djojo Suwarso). Cet I. Bandung; Pustaka Salman. 1981.
_______. Konsep Pendidikan dalam Islam; Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam (trjmh oleh Haidar Baqir). Cet I. Bandung; Mizan. 1987.
Badaruddin, Kemas. Filsafat Pendidikan islam (Analisis Pemikiran Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas). Jakarta; Pustaka Pelajar. 2007.
Daud, Wan W.M.N. Filsafat dan Praktek Pendidikan Syed Naquib al-Attas (trjmh oleh Hamid Fahmy dkk.). Bandung; Mizan. 2003.
http://www.belajarislam.com/wawasan/sains/338-pemikiran-pendidikan-menurut-sm-naquib-al-attas. Diakses pada tanggal 25 November 2010.
http://mujtahid-komunitaspendidikan.blogspot.com/2010/02/gagasan-pendidikan-syed-naquib-al-attas.html. Diakses pada tanggal 25 November 2010.
http://indrayogi.multiply.com/reviews/item/109. Diakses pada tanggal 25 November 2010.
http://grelovejogja.wordpress.com/2007/02/15/syed-naquib-al-attas/. Diakses pada tanggal 25 November 2010.
Majid, Nurcholis. Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Cet IV. Jakarta; Paramadina. 2000.
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta; Ciputat Pers. 2002.
_______ (Edtr). Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia. Cet III. Jakarta; Kencana. 2009.

2 komentar: