welcome to the free zone...your expression is amazing...

Sabtu, 04 Desember 2010

Analisis Sekolah Berstandar Internasional

A. Latar Belakang
Ketertinggalan Indonesia di berbagai bidang di era globalisasi dibandingkan negara-negara tetangga rupanya menyebabkan pemerintah terdorong untuk memacu diri untuk memiliki standar internasional dalam segala sektor. Sektor pendidikan termasuk salah satu sektor, yang mendapatkan prioritas dalam menjaga gengsi bangsa (pemerintah), yang didorong untuk mampu berstandar internasional. Akhir-akhir ini ramai dibicarakan Sekolah Bertaraf Internasional atau SBI. Sebuah kebijakan pemerintah Indonesia untuk memperbaiki kualitas pendidikan nasional agar memiliki daya saing dengan negara-negara maju lainnya.
Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) merupakan sebuah jenjang sekolah nasional di Indonesia dengan standar mutu internasional. Proses belajar mengajar di sekolah ini menekankan pengembangan daya kreasi, inovasi, dan eksperimentasi untuk memacu ide-ide baru yang belum pernah ada. Pengembangan SBI di Indonesia didasari oleh Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 Ayat 3. Dalam ketentuan ini, pemerintah didorong untuk mengembangkan satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Standar internasional yang dituntut dalam SBI adalah standar kompetensi lulusan, kurikulum, proses belajar mengajar, SDM, fasilitas, manajemen, pembiayaan, dan penilaian standar internasional. Dalam SBI, proses belajar mengajar disampaikan dalam dua bahasa yaitu bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.
Sebagai civitas akademik, kita tentunya tidak boleh begitu saja menelan mentah-mentah setiap kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah dalam hal pendidikan. Seperti kita ketahui bersama, bahwa kebijakan – tanpa bermaksud menegasikan hakikat mulia dari makna kebijakan itu sendiri – merupakan “alat politik” yang sarat dengan kepentingan dan tendensi yang mendasarinya. Maka alangkah lebih bijak apabila kita tilik lebih dalam seperti apa konsepsi dan implementasi dari Sekolah Bertaraf internasional (SBI) yang digadang-gadang bakal meninggikan harkat dan martabat bangsa Indonesia dimata dunia internasional. Dalam kesempatan kali ini penulis mencoba untuk membahas Sekolah Berstandar Internasional (SBI) dalam tataran konseptual dan implementasinya. Kemudian penulis paparkan berbagai kritik yang dilontarkan terhadap konsepsi dan implementasi dari Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) ini. Dan diakhir tulisan ini penulis mencoba memberikan analisis singkat dalam rangka bentuk tanggung jawab penulis sebagai civitas akademik.

B. Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dalam Tataran Konseptual
1. Latar belakang Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
Adapun latar belakang dari kebijakan tentang Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) adalah:
a. Pada tahun 90-an, banyak sekolah-sekolah yang didirikan oleh suatu yayasan dengan menggunakan identitas internasional tetapi tidak jelas kualitas dan standarnya;
b. Banyak orang tua yang mampu secara ekonomi memilih menyekolahkan anaknya ke Luar Negeri;
c. Belum ada payung hukum yang mengatur penyelenggaraan sekolah internasional;
d. Perlunya membangun sekolah berkualitas sebagai pusat unggulan (center of excellence) pendidikan;
e. Atas fenomena di atas, Pemerintah mulai mengatur dan merintis sekolah bertaraf internasional;
f. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia perlu pengakuan secara internasional terhadap kualitas proses, dan hasil pendidikannya.
2. Landasan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
Sebagai sebuah kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, seharusnya Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) memiliki landasan hukum yang jelas dan diatur dalam konstitusi Negara. Adapun landasan konstitusional dari Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) adalah:
a. UU Sisdiknas Pasal 50 Ayat 3
“Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”.
b. PP No.19/2005 (Standar Nasional Pendidikan).
c. PP No. 17/2010 (Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan).
d. Permendiknas No. 63/2009 (Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan).
e. Permendiknas No. 78/2009 (Penyelenggaraan SBI pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah).
Adapun penyelenggaraan dari SBI ini didasarkan pada landasan filosofi eksistensialisme dan esensialisme (fungsionalisme). Filosofi eksistensialisme berkeyakinan bahwa pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui fasilitas yang dilaksanakan melalui proses pendidikan yang bermartabat, pro-perubahan, kreatif, inovatif, eksperimentif, menumbuhkan dan mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan peserta didik. Filosofi eksistensialisme berpandangan bahwa dalam proses belajar mengajar, peserta didik harus diberi perlakuan secara maksimal untuk mengaktualkan, mengeksiskan, menyalurkan semua potensinya, baik potensi (kompetensi) intelektual (IQ), emosional (EQ), dan Spiritual (SQ). Filosofi esensialisme menekankan bahwa pendidikan harus berfungsi dan relevan dengan kebutuhan. Terkait dengan tuntutan globalisasi, pendidikan harus menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang mampu bersaing secara internasional.
3. Rumusan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
Rumusan dari SBI sebagaimana yang tertuang dalam rencana pengembangan pendidikan oleh Direktur Pendidikan adalah SNP + X (OECD) maksudnya adalah SNP singkatan dari Standar Nasional Pendidikan plus X. Sedangkan OECD singkatan dari Organization for Economic Co-operation and Development atau sebuah organisasi kerjasama antar negara dalam bidang ekonomi dan pengembangan. Anggota organisasi ini biasanya memiliki keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan yang telah diakui standarnya secara internasional. Yang termasuk anggota OECD ialah: Australia, Austria, Belgium, Canada, Czech Republic, Denmark, Finland, France, Germany, Greece, Hungary, Iceland, Ireland, Italy, Japan, Korea, Luxembourg, Mexico, Netherlands, New Zealand, Norway, Poland, Portugal, Slovak Republic, Spain, Sweden, Switzerland, Turkey, United Kingdom, United States dan Negara maju lainnya seperti Chile, Estonia, Israel, Russia, Slovenia, Singapore, dan Hongkong.
Sebagaimana dalam “Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah tahun 2007”, bahwa sekolah/madarasah internasional adalah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu Negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan /atau Negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, sehingga memiliki daya saing di forum internasional.
Jadi, SNP + X di atas artinya bahwa dalam penyelenggaraan SBI, sekolah/madrasah harus memenuhi Standar Nasional Pendidikan (Indonesia) dan ditambah dengan indikator X, maksudnya ditambah atau diperkaya/dikembangkan/diperluas/diperdalam dengan standar anggota OECD di atas atau dengan pusat-pusat pelatihan, industri, lembaga-lembaga tes/sertifikasi internasional, seperti Cambridge, IB, TOEFL/TOEIC, ISO (International Organization for Standardization), pusat-pusat studi dan organisasi-organisasi multilateral seperti UNESCO, UNICEF, SEAMEO, dan sebagainya.

4. Karakteristik Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
1). Karakteristik visi
Dalam sebuah lembaga/organisasi, menentukan visi sangat penting sebagai arahan dan tujuan yang akan dicapai. Tony Bush & Merianne Coleman menjelaskan visi untuk menggambarkan masa depan organisasi yang diinginkan. Itu berkaitan erat dengan tujuan sekolah atau perguruan tinggi, yang diekspresikan dalam terma-terma nilai dan menjelaskan arah organisasi yang diinginkan. Tony Bush & Merianne Coleman mengutip pendapat Block, bahwa visi adalah masa depan yang dipilih, sebuah keadaan yang diinginkan. Sedangkan visi Sekolah Bertaraf Internasional adalah: Terwujudnya Insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional. Visi ini mengisyaratkan secara tidak langsung gambaran tujuan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah model SBI, yaitu mewujudkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif/memiliki daya saing secara internasional.
2). Karakteristik Esensial
Karakteristik esensial dalam indikator kunci minimal (SNP) dan indikator kunci tambahan (x) sebagai jaminan mutu pendidikan bertaraf internasional dapat dilihat pada table di bawah ini.
Karakteristik Esensial SMP-SBI sebagai Penjaminan Mutu Pendidikan Bertaraf Internasional.
No Obyek Penjaminan Mutu (Unsur Pendidikan dalam SNP) Indikator Kinerja Kunci Minimal (dalam SNP) Indikator Kinerja Kunci Tambahan sebagai (x-nya)
I Akreditasi Berakreditasi A dari BAN-Sekolah dan Madrasah Berakreditasi tambahan dari badan akreditasi sekolah pada salah satu lembaga akreditasi pada salah satu negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keung-gulan tertentu dalam bidang pendidikan
II Kurikulum (Standar Isi) dan Standar Kompe-tensi lulusan Menerapkan KTSP Sekolah telah menerapkan sistem administrasi akademik berbasis teknologi Informasi dan Komu-nikasi (TIK) dimana setiap siswa dapat meng-akses transkipnya masing-masing.
Memenuhi Standar Isi Muatan pelajaramn (isis) dalam kurikulum telah setara atau lebih tinggi dari muatan pelajaran yang sama pada sekolah unggul dari salah satu negara diantara 30 negara anggota OECD dan/atau dari negara maju lainnya.
Memenuhi SKL Penerapan standar kelulusan yang setara atau lebih tinggi dari SNP
Meraih mendali tingkat internasional pada berbagai kompetensi sains, matematika, tekno-logi, seni, dan olah raga.
III Proses Pembelajaran Memenuhi Standar Proses • Proses pembelajaran pada semua mata pelajaran telah menjadi teladan atau rujukan bagi sekolah lainnya dalam pengembangan akhlak mulia, budi pekerti luhur, kepribadian unggul, kepemimpinan, jiwa kewirausahaan, jiwa patriot, dan jiwa inovator
• Proses pembelajaran telah diperkaya dengan model-model proses pembelajaran sekolah unggul dari salah satu negara diantara 30 negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya.
• Penerapan proses pembelajaran berbasis TIK pada semua mapel
• Pembelajaran pada mapel IPA, Matematika, dan lainnya dengan bahasa Inggris, kecuali mapel bahasa Indonesia.
IV Penilaian Memenuhi Standar Penilai-an Sistem/model penilaian telah diperkaya dengan sistem/model penilaian dari sekolah unggul di salah satu negara diantara 30 negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnnya.
V Pendidik Memenuhi Standar Pen-didik • Guru sains, matematika, dan teknologi mampu mengajar dengan bahasa Inggris
• Semua guru mampu memfasilitasi pem-belajaran berbasis TIK
• Minimal 20% guru berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A
VI Tenaga Kependidikan Memenuhi Standar Tenaga Kependidikan • Kepala sekolah berpendidikan minimal S2 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A
• Kepala sekolah telah menempuh pelatihan kepala sekolah yang diakui oleh Pemerintah
• Kepala sekolah mampu berbahasa Inggris secara aktif
• Kepala sekolah memiliki visi internasional, mampu membangun jejaring internasional, memiliki kompetensi manajerial, serta jiwa kepemimpinan dan enterprenual yang kuat
VII Sarana Prasarana Memenuhi Standar Sarana Prasarana • Setiap ruang kelas dilengkapi sarana pembelajaran berbasis TIK
• Sarana perpustakaan TELAH dilengkapi dengan sarana digital yang memberikan akses ke sumber pembelajaran berbasis TIK di seluruh dunia
• Dilengkapi dengan ruang multi media, ruang unjuk seni budaya, fasilitas olah raga, klinik, dan lain-lain.
VIII Pengelolaan Memenuhi Standar Penge-lolaan • Sekolah meraih sertifikat ISO 9001 versi 2000 atau sesudahnya (2001, dst) dan ISO 14000
• Merupakan sekolah multi kultural
• Sekolah telah menjalin hubungan “sister school” dengan sekolah bertaraf/berstandar internasional diluar negeri
• Sekolah terbebas dari rokok, narkoba, kekerasan, kriminal, pelecehan seksual, dan lain-lain
• Sekolah menerapkan prinsip kesetaraan gender dalam semua aspek pengelolaan sekolah
IX Pembiayaan Memenuhi Standar Pem-biayaan • Menerapkan model pembiayaan yang efisien untuk mencapai berbagai target indikator kunci tambahan
3). Karakteristik Penjaminan Mutu (Quality Assurance)
a). Input
Ciri input SBI ialah (1) telah terakreditasi dari badan akreditasi sekolah di salah negara anggota OECD atau negara maju lainnya, (2) standar lulusan lebih tinggi daripada standar kelulusan nasional, (3) jumlah guru minimal 20% berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A dan mampu berbahasa Inggris aktif. Kepala sekolah minimal S2 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A dan mampu berbahasa Inggris aktif. (4) siswa baru (intake) diseleksi secara ketat melalui saringan rapor SD, ujian akhir sekolah, Scholastic Aptitude Test (SAT), kesehatan fisik, dan tes wawancara. Siswa baru SBI harus memiliki potensi kecerdasan unggul yang ditunjukkan oleh kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual, dan berbakat luar biasa.
b). Proses pembelajaran SBI
Ciri-ciri proses pembelajaran, penilaian, dan penyelenggaraan SBI sebagai berikut: (1) pro-perubahan, yaitu proses pembelajaran yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan daya kreasi, inovasi, nalar, dan eksperimentasi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru, a joy of discovery, (2) menerapkan model pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan; student centered; reflective learning, active learning; enjoyable dan joyful learning, cooperative learning; quantum learning; learning revolution; dan contextual learning, yang kesemuanya itu telah memiliki standar internasional; (3) menerapkan proses pembelajaran berbasis TIK pada semua mata pelajaran; (4) proses pembelajaran menggunakan bahasa Inggris, khususnya mata pelajaran sains, matematika, dan teknologi; (5) proses penilaian dengan menggunakan model penilaian sekolah unggul dari negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya, dan (6) dalam penyelenggaraan SBI harus menggunakan standar manajemen intenasional, yaitu mengimplementasikan dan meraih ISO 9001 versi 2000 atau sesudahnya dan ISO 14000, dan menjalin hubungan sister school dengan sekolah bertaraf internasional di luar negeri.
c). Output (produk)/lulusan SBI
Adalah memiliki kemampuan-kemampuan bertaraf nasional plus internasional sekaligus, yang ditunjukkan oleh penguasaan SNP Indonesia dan penguasaan kemampuan-kemampuan kunci yang diperlukan dalam era global. Ciri-ciri output/outcomes SBI sebagai berikut; (1) lulusan SBI dapat melanjtkan pendidikan pada satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik di dalam negeri maupun luar negeri, (2) lulusan SBI dapat bekerja pada lembaga-lembaga internasional dan/atau negara-negara lain, dan (3) meraih mendali tingkat internasional pada berbagai kompetensi sains, matematika, teknologi, seni, dan olah raga.

C. Implementasi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
1. Partisipasi pemerintah dalam perintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
Adapun yang dicanangkan pemerintah dalam proses menuju Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) adalah sebagai berikut:
1. Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang meliputi:
a. standar isi;
b. Standar proses;
c. Standar kompetensi lulusan;
d. Standar pendidik dan tenaga kependidikan;
e. Standar sarana dan prasarana;
f. Standar pengelolaan;
g. Standar pembiayaan; dan
h. Standar penilaian pendidikan
2. Sekolah yang memenuhi standar minimal SNP diberikan pendampingan, pembimbingan, penguatan, dalam bentuk Rintisan SBI (RSBI)
3. Jenjang menuju Sekolah Berbasis Internasional adalah bahwa sekolah harus memenuhi syarat-syarat dalam jenjang pendidikan yang distandartkan sebagai berikut, yakni: pertama sekolah harus memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP), kemudian memenuhi standar Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), baru bisa disebut sebagai Sekolah Berstandar Internasional (SBI)

Program dan kegiatan yang dicanangkan pemerintah dalam proses perintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) adalah sebagai berikut:
1. Mempersiapkan kurikulum yang mengacu pada kurikulum negara maju
2. Meningkatkan kualitas proses pembelajaran
3. Melatih guru dalam pemanfaatan TIK dalam proses pembelajaran
4. Meningkatkan kompetensi dan kualifikasi guru
5. Mendapatkan pendampingan dari Tenaga Ahli
6. Menjalin sister school
7. Meningkatkan kemampuan guru dalam berbahasa internasional
8. Menerapkan Sistem Manajemen Mutu (ISO)
9. Menyelenggarakan pelatihan leadership untuk Kepala Sekolah
10. Melengkapi sarana sekolah
Adapun dari segi pembiayaan pemerintah menetapkan rincian anggaran sebagai berikut:
SUMBER BIAYA PENGGUNAAN
APBN Untuk biaya operasional dalam rangka
pengembangan kapasitas untuk menuju
standar kualitas SBI
1.Proses Pembelajaran (30%)
2.Sarana penunjang PBM (25%)
3.Manajemen Maksimal 20%
4.Subsidi siswa miskin dan kesiswaan (25%)
APBD Prov/Kab/Kota Untuk biaya investasi dan biaya operasional
rutin
Masyarakat dan atau Orang Tua Biaya investasi dan operasional untuk
menutup kekurangan biaya dari APBN dan
APBD untuk menuju standar kualitas SBI
Dan dalam evaluasi dari program perintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), Direktorat Pendidikan mencoba merencanakan sistem evaluasi sebagai berikut:
Evaluasi dilakukan setiap tahun untuk melihat kemajuan kinerja sekolah, meliputi:
a. Kemampuan penguasaan bahasa asing guru dan siswa dengan menggunakan instrumen TOEFL dan TOEIC
b. Kemampuan penguasaan siswa dalam mata pelajaran matematika dan IPA serta kompetensi keahlian (SMK)
c. Kelengkapan infrastruktur
d. Kelengkapan Bahan ajar (buku, peralatan)
e. Kepemimpinan Kepala Sekolah
f. Komitmen Pemda dalam mendukung RSBI
2. Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang semakin diminati
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) untuk tingkat SMU dan SMP ternyata semakin diminati oeh masyarakat. Terbukti dengan meningkatnya jumlah pendaftar ke sekolah tersebut. Daya tampung Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) rata-rata adalah 404 siswa yang dibagi dalam 12 kelas biasa dan satu kelas akselerasi. Tentunya jumlah yang relative sedikit dibandingkan antusiame pendaftar yang mencapai 1.000 pendaftar di setiap RSBI. Menurut panitia penerimaan siswa baru disalah satu Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), peningkatan jumlah pendaftar selain disebabkan oleh meningkatnya minat masyarakat untuk bersekolah di RSBI, juga disebabkan proses pendaftaran yang semakin mudah dengan cara "online" dan tidak perlu datang ke sekolah.

D. Kritik Terhadap Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
Tujuan utama penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional adalah upaya perbaikan kualitas pendidikan nasional, khususnya supaya eksistensi pendidikan nasional Indonesia diakui di mata dunia dan memiliki daya saing dengan negara-negara maju lainnya.
Kebijakan pemerintah mengenai SBI selain didukung secara konstitusi dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 50 ayat (3), SBI juga merupakan proyek prestisius, karena akan dibiayai oleh Pemerintah Pusat 50%, Pemerintah Propinsi 30%, dan Pemerintah Kabupaten/Kota 20%. Padahal, untuk setiap sekolahnya saja Pemerintah Pusat mengeluarkan 300 juta rupiah setiap tahun paling tidak selama 3 (tiga) tahun dalam masa rintisan tersebut.
Sejak dilendingkan kebijakan SBI, pemerintah menuai pujian dan juga kritikan, baik itu pujian bahwa kebijakan SBI merupakan langkah maju untuk memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia, maupun kritikan bahwa konsep ini tidak didahului dengan studi secara mendalam. Dan disini penulis cenderung untuk memaparkan berbagai analisis yang dilakukan oleh beberapa pakar pendidikan dalam mengkritisi kebijakan SBI yang menurut mereka sangat tidak relevan dan cenderung akan mengalami banyak anomaly dikemudian hari. Diantara kritik terhadap SBI yakni:
1. Pendidikan yang diskriminatif dan eksklusif
Penyelenggaraan SBI akan melahirkan konsep pendidikan yang diskriminatif (hanya diperuntukkan bagi siswa yang memiliki kemam-puan/kecerdasan unggul) dan ekslusif (pendidikan bagi anak orang kaya). Output SBI yang sudah ada akan diarahkan kemana nantinya, terutama ketika mereka akan menginjakkan pendidikan di Universitas.
2. Rumusan konseptual yang tidak jelas
Dalam kurikulum SBI ada rumus SNP + X. Artinya Standar Nasional Pendidikan ditambah atau diperkaya/dikembangkan/diperluas/diperdalam dengan standar internasional dari salah satu anggota OECD atau lembaga tes/sertifikasi internasional.
Faktor X dalam rumus di atas tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas. Sebab, konsep ini tidak menjelaskan lembaga/negara tertentu yang harus diadaptasi/diadopsi standarnya, dan faktor apa saja yang harus ditambah/diperkaya/dikembangkan/diperluas/diperdalam? Apakah sistem pembelajaran bahasanya, teknologinya, ekonominya, dan lain-lain. Sehingga menurut Satria Dharma, mungkin ini merupakan strategi agar target yang hendak dikejar menjadi longgar dan sulit untuk diukur.
konsep ini berangkat dari asumsi yang salah tentang penguasaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan hubungannya dengan nilai TOEFL. Penggagas mengasumsikan bahwa untuk dapat mengajar hard science dalam pengantar bahasa Inggris maka guru harus memiliki TOEFL >500. Padahal tidak ada hubungan antara nilai TOEFL dengan kemampuan mengajar hard science dalam bahasa Inggris. Skor TOEFL yang tinggi belum menjamin kefasihan dan kemampuan orang dalam menyampaikan gagasan dalam bahasa Inggris. Banyak orang yang memiliki nilai TOEFL <500 yang lebih fasih berbahasa Inggris dibandingkan orang yang memiliki nilai TOEFL >500 . Singkatnya, menjadikan nilai TOEFL sebagai patokan keberhasilan pengajaran hard science bertaraf internasional adalah asumsi yang keliru. TOEFL lebih cenderung mengukur kompetensi seseorang, padahal yang dibutuhkan guru sekolah bilingual adalah performance-nya, dan performance ini banyak dipengaruhi faktor-faktor non-linguistik. TOEFL bukanlah ukuran kompetensi pedagogik.
3. Pendidikan yang berorientasi materiil
Konsep SBI cenderung lebih menekankan pada alat daripada proses. Indikasi ini nampak ketika penyelenggaraan SBI lebih mementingkan alat/media pembelajaran yang canggih, bilingual sebagai medium of instruction, berstandar internasional, daripada proses penanaman nilai pada peserta didik. Prof Djohar menyatakan bahwa tuntutan pendidikan global jangan diartikan hanya mempersoalkan kedudukan pendidikan kita terhadap rangking kita dengan negara-negara lain, akan tetapi harus kita arahkan kepada perbaikan pendidikan kita demi eksistensi anak bangsa kita untuk hidup di alam percaturan global, dengan kreativitasnya, dengan EI-nya dan dengan AQ-nya, dan dengan pengetahuannya yang tidak lepas dari kenyataan hidup nyata mereka.
4. Berpotensi pada komersialisasi pendidikan
Lahirnya SBI bisa membawa dampak komersialisasi pendidikan kepada para pelanggan jasa pendidikan, semisal masyarakat, siswa atau orang tua. Indikasi ini nampak ketika sekolah SBI menarik puluhan juta kepada siswa baru yang ingin masuk sekolah SBI. Hal ini dilakukan dengan dalih bahwa sekolah tersebut bertaraf internasional, dilengkapi dengan sistem pembelajaran yang mengacu pada negara anggota OECD, menggunakan teknologi informasi canggih, bilingual, dan lain-lain. SBI pada sekolah swasta akan berbeda pula besaran dananya, mengingat kucuran dari pemerintah mengalami seleksi khusus, jadi masyarakat yang tertarik dengan nama SBI dan itu pada sekolah swasta akan mengeluarkan dana besar, tentunya permasalahan ini akan kembali lagi pada mampu tidaknya seseorang untuk melanjutkan pendidikan, ironis sekali dengan pencanangan sekolah gratis yang diprogramkan pemerintah akhir-akhir ini. Menjamurnya SBI di Indonesia dapat ditakutkan akan menjadi lahan bisnis dalam dunia pendidikan dan kembali lagi masyarakat akan jadi korban.
5. Bertolak belakang dengan semangat otonomi dan independensi sekolah (MBS)
SBI tentunya sangat bertentangan dengan semangat MBS. Bergulirnya otonomi sekolah melahirkan sistem Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Menurut Prof. Djohar, MBS digunakan sebagai legitimasi untuk menentukan kebijakan sistem pembelajaran di sekolah. Sekolah memiliki kemerdekaan untuk menentukan kebijakan yang diambil, termasuk kemerdekaan guru dan siswa untuk menentukan sistem pembelajarannya.

E. Kesimpulan
Dari kajian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) merupakan upaya pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia agar mempunyai daya saing dengan negara maju di era global. Salah satunya dengan mengadopsi standar internasional anggota OECD sebagai faktor kunci tambahan di samping Standar Nasional Pendidikan. Dalam perjalanannya, kebijakan SBI mulai terlihat beberapa kelemahan, baik secara konseptual maupun implementasinya. Pemerintah sebaiknya melakukan pelbagai langkah perbaikan konsep dengan melibatkan pelbagai unsur/stakeholders pendidikan dan melakukan studi/penelitian mendalam dengan melibatkan lebih banyak publik, dan tidak sekedar memenuhi syarat minimal birokrasi. Perlu diingat bahwa masyarakatlah yang membiayai dan yang akan menjadi end-user dari produk ini.
Ditilik dari latar belakang munculnya SBI versi Mendiknas, seolah pemerintah tidak melihat (jika tidak ingin dikatakan buta dan ceroboh) terhadap realitas pendidikan yang terjadi di bangsanya sendiri. Untuk apa dan siapa SBI ini juga masih menjadi polemik, karena siswa SBI didominasi oleh masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke atas, selain itu siswa SBI hanya untuk siswa diatas rata-rata SNP. Dari pelaksanaannya pun banyak kelemahan yang harus dipertimbangkan, diantaranya proses belajar mengajar dengan menekankan pemakaian bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar justru akan menurunkan kapasitas guru dalam proses pembelajarannya. Karena content dari materi harus dipersulit lagi dengan penggunaan istilah bahasa Inggris. Pemahaman siswa terhadap materi pun akhirnya menjadi korban. Karena penyerapan materi yang diberikan dipersulit dengan penyerapan artikulasi guru dalam menerangkan materi dengan bahasa Inggris. Output SBI juga masih samar terutama ketika siswa ingin melangkahkan pendidikan lanjutan. Perlu dipertanyakan juga apakah para orang tua siswa mampu secara finansial memberikan biaya anaknya untuk berkuliah di luar negeri. Menjamurnya Sekolah Berbasis Internasional (SBI) juga berpotensi dalam upaya manipulatif lembaga pendidikan yang tidak jujur untuk mengaku-aku telah berstandar internasional demi sebuah prestise dan masukan dana yang tidak sedikit dari pemerintah pusat, pemerintah daerah dan tentunya masyarakat sebagai pengguna utama. Seharusnya pemerintah jeli dan mengkaji lebih jauh dan menyeluruh terhadap relevansi dan signifikansi Sekolah Berstandar Internasional (SBI) sebelum membuat kebijakan pendidikan agar peningkatan pendidikan di Indonesia melonjak, bukan berarti melonjak adalah mengikuti/menyamai luar negeri tapi mendongkrak masyarakat bawah yang sebelumnya awam pendidikan menjadi paham pendidikan. Program SBI sendiri perlu mendapat evaluasi yang mendalam agar fungsional dan untuk siapa SBI dicanangkan menjadi jelas.

DAFTAR PUSTAKA
Bush, Tony & Coleman, Merianne. Manajemen Strategis Kepemimpinan Pendidikan.(terj. oleh Fahrurozi). Yogyakarta: IRCiSoD. 2006.
Djohar. Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan. Yogyakarta: CV. Grafika Indah. 2006.
Haryana, Kir. Konsep Sekolah Bertaraf Internasional (artikel). Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama. 2007.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sekolah_bertaraf_internasional. Diakses pada tanggal 05 November 2010.
http://images.derizzain.multiply.multiplycontent.com/Kebijakan%20Sekolah%20Bertaraf%20Internasional.rtf?. Didownload pada tanggal 05 November 2010. Didownload pada tanggal 05 November 2010.
http://www.antaranews.com/view/?i=1243986104&c=NAS&s=PDK. Diakses pada tanggal 05 November 2010.
http://www.eramuslim.com/berita/infoumat/menyoalsekolahbertarafinternasional.html. Diakses pada tanggal 05 November 2010.
http://www.inherent-dikti.net.files.sisdiknas.pdf. Didownload pada tanggal 07 November 2010.
http://www.kabarindonesia.com. Diakses pada tanggal 05 November 2010.
http:// www.mandikdasmen.depdiknas.go.iddocsdok_34.pdf. Didownload pada tanggal 05 November 2010.
http://www.mandikdasmen.depdiknas.go.iddocsdok_34.pdf. Didownload pada tanggal 05 November 2010.
http://satriadharma.wordpress.com/2007/09/19/sekolah-bertaraf-internasional-quovadiz/. Diakses pada tanggal 05 November 2010.
Usman, Husaini. Manajemen Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2006.

Kamis, 02 Desember 2010

SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS; Tokoh Islamisasi Ilmu Pengetahuan

A. Latar Belakang
Dunia Islam saat ini tengah mengalami dekadensi multidimensi. Problem yang semakin kritis ini menuntut segera dilaksanakannya upaya pemecahan secara mendesak. Menurut sinyalemen para pemikir Muslim kontemporer, permasalahan yang kompleks ini terkait keadaan stagnan dari para ilmuwan Muslim yang sampai saat ini belum mampu mencetuskan sebuah pengembangan baru kajian ilmu pengetahuan. Tanpa bermaksud untuk mengenang romantisme sejarah, Islam pernah mengalami masa keemasan peradaban, dengan tidak mengesampingkan faktor-faktor yang lain, juga disebabkan banyaknya karya-karya filsafat Yunani yang disadur oleh para pemikir Muslim untuk kemudian diasimilasikan dan dirumuskan menjadi sebuah pemikiran filsafat Islam. Pada masa inilah islamisasi ilmu pengetahuan mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan dalam dunia Islam. Pada saat yang sama justru bangsa-bangsa Barat mengalami kemunduran peradaban dikarenakan sikap ortodoksi mereka terhadap dogma-dogma agama ciptaan mereka sendiri. Ketika kejayaan Islam runtuh, banyak literatur ilmu pengetahuan Islam diadopsi (dirampas) oleh bangsa Eropa sehingga Barat mengalami kemajuan yang pesat dalam ilmu pengetahuan.
Melihat stagnasi pemikiran ilmuwan Muslim dalam pengembangan ilmu pengetahuan saat ini, tentunya masalah urgen yang harus segera diselesaikan demi menumbuhkan progesifitas pengembangan ilmu pengetahuan adalah masalah dalam dunia pendidikan Islam. Sebagaimana diakui oleh para pemikir pendidikan Islam, bahwa degradasi pemikiran Islam disinyalir akibat dari kurangnya landasan epistemologi Islam dalam dunia pendidikan Islam itu sendiri. Terlebih lagi umat Islam selama ini di”nina-bobok”kan oleh sikap fatalistik yang diwariskan secara turun temurun. Sikap yang sebenarnya bertentangan dengan semangat al-Qur’an ini harus dibuang jauh-jauh untuk mewujudkan konsep insan kamil seperti yang digadang-gadang oleh al-Qur’an dan Sunah Nabi.
Sekuralisme sebagaimana yang ditulis tinta sejarah mulai muncul ketika Eropa (Barat) mengalami zaman renaissance. Sekuralisme sendiri adalah konsekuensi paradigmatis yang berakar dari landasan epistemologi ilmu pengetahuan yang dibangun oleh para ilmuwan Barat. Para ilmuwan Barat secara frontal menolak campur tangan agama dalam masalah ilmu pengetahuan. Sebenarnya penolakan ini lebih disebabkan karena pertentangan dogma-dogma agama Kristen, yang dianut oleh mayoritas kaum akademis dunia Barat, yang tidak selaras dan tidak mampu berjalan beriringan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Dogma-dogma agama Kristiani disinyalir tidak sesuai dengan kebenaran ilmiah dari ilmu pengetahuan.
Di dunia Islam sendiri, sekuralisme sampai saat ini masih menjadi perdebatan yang sengit dari berbagai pemikir Islam. Para pemikir Islam kontemporer mencoba menjawab tantangan sekularisme yang terjadi di Barat dengan konsep “islamisasi ilmu pengetahuan”. Terlepas dari pro-kontra terhadap konsep itu sendiri, sebab kemunculan islamisasi ilmu pengetahuan tidak bisa dilepaskan dari ketimpangan-ketimpangan yang merupakan akibat langsung dari keterpisahan sains dan agama. Tokoh-tokoh pendukung islamisasi ilmu pengetahuan antara lain Naquib Al-Attas, Ismail Raji al-Faruqi, Hussein Nasr, dan Ziauddin Sardar.
Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengarahkan konsentrasi kajian ini terhadap salah satu tokoh dari sekian banyak tokoh “islamisasi ilmu pengetahuan” yaitu Syed Naquib Al-Attas. Dikarenakan banyak hal yang menarik untuk dikaji dari pemikiran-pemikirannya. Disamping itu Syed Naquib al-Attas juga memberikan sumbangsih yang tidak bisa dinafikan dalam dunia pendidikan Islam baik secara konseptual maupun praksisnya. Naquib secara sistematis merumuskan strategi Islamisasi ilmu dalam bentuk kurikulum pendidikan untuk umat Islam.

B. Biografi Syed Muhammad Naquib al-Attas
1. Silsilah keturunan
Naquib al-Attas bernama lengkap Syed Muhammad Naquib al-Attas ibn Ali ibn Abdullah ibn Muhsin ibn Muhammad al-Attas. Silsilah keluarga Naquib dapat dilacak melalui silsilah sayyid keluarga Ba’alawi dari Hadramaut yang sampai kepada Imam Husein, cucu Nabi Muhammad SAW. dari keturunan putri Nabi, Fatimah. Ibu Naquib bernama Syarifah Raquan al-‘Aydarus berasal dari Bogor, Jawa Barat yang merupakan keturunan ningrat kerajaan Sunda di Sukapura. Ibunda Naquib ini merupakan keturunan dari Muhammad al’Aydarus, seorang ulama, guru dan pembimbing rohani Syed Abu Hafs ‘Umar ba’ Syaiban dari Hadramaut, dan juga pernah menjadi guru Nur al-Din al-Raniri, seorang alim ulama dari tanah Melayu.
Dari pihak bapak, kakek Naquib yang bernama Syed Abdullah ibn Muhsin ibn Muhammad al-Attas adalah seorang wali yang berpengaruh tidak hanya di jazirah Arab, tetapi juga di tanah Melayu. Syed Abdullah menikah dengan seorang wanita Turki berdarah aristokrat, Ruqayah Hanum. Ruqayah Hanum sendiri sebelum menikah dengan kakek Syed Naquib al-Attas, pernah menikah dengan Ungku Abdul Majid, adik dari Sultan Abu Bakar Johor. Dan adik dari nenek Syed Naquib al-Attas (Ruqayah hanum) ini, Khadijah adalah permaisuri dari Sultan Abu Bakar Johor. Dan setelah sepeninggal Sultan Abu Bakar Johor, permaisuri Khadijah dinobatkan menjadi Ratu Johor.
Syed Naquib al-Attas adalah anak kedua dari tiga bersaudara. kakak Naquib, Syed Husein adalah seorang sosiolog dan pernah menjadi Wakil Rektor Universitas Malaya. Adik Naquib, Syed Zaid adalah seorang insiyur kimia dan menjadi dosen di Institut Teknologi MARA.
2. Riwayat hidup
Naquib al-Attas lahir pada tanggal 5 September 1931 di Bogor, Jawa Barat. Pada usia 5 tahun Naquib tinggal di Johor, dia tinggal dengan pamannya, Ahmad, kemudian bibinya, Azizah, yang keduanya adalah anak dari nenek Naquib, Ruqayah Hanum dari suaminya yang pertama. Pada tahun 1941- 1945 Naquib kembali ketanah Jawa. Setelah PD II pada tahun 1946, ia berpindah lagi ke Johor dan tinggal dengan salah satu pamannya yang bernama Ungku Abdul Aziz ibn Ungku Abdul Majid, keponakan Sultan yang kelak menjadi Kepala Menteri Johor Modern keenam. Pamannya ini mempunyai perpustakaan manuskrip sastra dan sejarah Melayu yang lengkap. Di perpustakaan inilah Naquib banyak menghabiskan masa mudanya dengan membaca dan mendalami manuskrip-manuskrip sejarah, sastra, agama serta buku-buku klasik Barat. Setelah Ungku Abdul Aziz pensiun, Naquib muda tinggal dengan pamannya yang lain, yakni Dato’ Onn ibn Dato’ ja’far (Kepala Menteri Johor ketujuh), sampai ia menyelesaikan pendidikan tingkat menengahnya.
Setelah menamatkan sekolah menengahnya pada tahun 1951, Naquib muda mendaftar di resimen Melayu sebagai kadet dan mengikuti pendidikan militer di Inggris dari tahun 1952 sampai 1955. Selama di Inggris, ia berusaha memahami aspek-aspek yang mempengaruhi semangat dan gaya hidup masyarakat Inggris. Disana, dia juga membina persahabatan dengan peserta pendidikan yang lain, yakni Syarif Zaid ibn Syakir, yang kelak menjadi Kepala Militer kemudian menjadi Perdana Menteri Yordania. Selama mengikuti pendidikan militer ini, Naquib berkenalan dengan pandangan metafisika tasawuf, terutama dari karya-karya besar para ulama’ tasawuf, yang tersedia di perpustakaan kampus. Disamping mengikuti pendidikan militer, Naquib juga menyempatkan diri mengunjungi kota-kota yang terkenal dengan tradisi intelektual dan seni keislamannya, diantaranya sebagian besar kota-kota di Eropa (terutama Spanyol) dan di Afrika Utara.
Setelah lulus dalam akademi kemiliteran ini, Naquib ditugaskan menjadi pegawai kantor di resimen tentara kerajaan Melayu. Namun karena minatnya yang dalam terhadap ilmu pengetahuan, ia akhirnya mengundurkan diri dan melanjutkan studinya di Universitas Malaya pada tahun 1957-1959. Setamatnya dari Universitas Malaya, ia mendapat beasiswa dari Canada Council Fellowship untuk belajar di Institute of Islamic Studies, Universitas McGill, Montreal. Disinilah ia berkenalan dengan beberapa sarjana Muslim terkenal, diantaranya Sir Hamilton Gibb (Inggris), Fazlur Rahman (Pakistan), Toshihiko Izutsu (Jepang) dan Sayyed Hossein Nasr (Iran). Pada tahun 1963, atas dorongan dari para koleganya, ia melanjutkan pendidikan doktoralnya dan selesai pada tahun 1965. Sekembalinya ke Malaysia, Naquib dilantik menjadi Kepala jurusan Sastra di Universitas Malaya, kemudian diangkat menjadi Dekan Fakultas Sastra pada universitas yang sama pada tahun 1968-1970. Pada tahun 1970, Naquib juga merupakan salah satu pencetus berdirinya Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Di universitas ini, dia menginstruksikan pemakaian bahasa Melayu menggantikan bahasa Inggris yang digunakan sebagai bahasa pengantar dalam perkuliahan, meskipun gagasannya ini kemudian mungundang pro-kontra dari berbagai pihak.
Naquib sering mendapat penghargaan internasional, baik dari para orientalis maupun dari para pakar peradaban Islam dan Melayu. Misalnya, ia pernah dipercaya untuk memimpin diskusi panel mengenai Islam di Asia Tenggara pada Congres International des Orientalis yang ke-29 di Paris pada tahun 1973. Pada tahun 1975, ia dilantik sebagai anggota Imperial Iranian Academy of Philosophy atas kontribusinya dalam pemikiran perbandingan filsafat. Dia pernah menjadi konsultan utama penyelenggaraan international Islamic Festival yang diselenggarakan di London pada tahun 1976. Naquib juga menjadi pembicara dan peserta aktif dalam World Conference on Islamic Education pertama yang dilangsungkan di Makkah pada tahun 1977. Dari tahun 1976-1977, ia menjadi professor tamu untuk mata kuliah studi Islam di Universitas Temple, Philadelphia. Pada tahun 1978, dia diminta oleh UNESCO untuk memimpin pertemuan para ahli sejarah yang diselenggarakan di Aleppo, Suriah. Naquib juga menghadiri dan memimpin sesi-sesi penting dalam berbagai kongres internasional. Di Malaysia sendiri, posisi dan peranan Naquib sebagai seorang pakar studi Islam dan sastrawan tidak perlu diragukan lagi. Dari tahun 1970-1984, dia dipilih menjadi ketua Lembaga Bahasa dan Kasusastran Melayu di Universitas Kebangsaan Malaysia. Dia juga pernah menjabat sebagai ketua Lembaga Tun Abdul Razak untuk Studi Asia tenggara di Universitas Ohio Amerika untuk periode 1980-1982. Naquib sendiri adalah pendiri sekaligus Rektor ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization), Malaysia sejak 1987 sampai sekarang.
3. Latar belakang pendidikan
Latar belakang keluarganya memberikan pengaruh yang besar dalam pendidikan awal Naquib. Dari keluarga yang berada di Bogor, dia memperoleh pendidikan dalam ilmu-ilmu keislaman dengan intens. Pada usia 5 tahun Syed Muhammad Naquib al-Attas menempuh pendidikan dasar di Sekolah Dasar Ngee Heng Johor, Malaysia pada tahun 1936-1941. Namun saat pendudukan Jepang di Indonesia, ia pergi belajar ke Jawa untuk belajar di Madrasah al-`Urwatu al-Wuthqa di Sukabumi, Jawa Barat, sebuah lembaga pendidikan yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, pada tahun 1941-1945. Setelah Perang Dunia II pada tahun 1946 ia kembali ke Johor untuk menyelesaikan pendidikan menengahnya di Bukit Zahra School kemudian melanjutkan di English College pada tahun 1946-1951. Ia begitu tertarik untuk mempelajari sastra Melayu, sejarah, dan kebudayaan Barat. Saat kuliah di Universitas Malaya, Naquib menulis literatur tentang Sufisme, yakni Rangkaian Ruba`iyat dan Some Aspects of Sufism as Understood and Practised among the Malays. Lulus dari Universitas Malaya, ia mendapatkan beasiswa untuk berstudi di Institute of Islamic Studies di McGill University, Montreal, Kanada. Tahun 1962 Naquib berhasil menyelesaikan studi pasca sarjananya dengan thesis Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh. Naquib kemudian melanjutkan studi ke School of Oriental and African Studies, University of London di bawah bimbingan Professor A. J. Arberry dari Cambridge dan Dr. Martin Lings. Thesis doktornya (1962) adalah studi tentang dunia mistik Hamzah Fansuri, seorang sufi besar dari Melayu yang sangat kontroversial.
Pada tahun 1987, Naquib mendirikan sebuah institusi pendidikan tinggi bernama International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur. Melalui institusi ini Naquib bersama sejumlah kolega dan mahasiswanya melakukan kajian dan penelitian mengenai pemikiran dan peradaban Islam, serta memberikan respons yang kritis terhadap Peradaban Barat.
4. Karya-karya
Sebagai seorang pemikir Islam, Naquib termasuk salah satu tokoh yang produktif. Pemikirannya tidak terkhusus pada satu bidang ilmu, tetapi dalam berbagai disiplin ilmu. Naquib sampai saat ini telah menulis 26 buku dan monograf, baik dalam bahasa Inggris maupun melayu dan banyak yang telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa dibelahan dunia. Diantara karya Naquib adalah (1959) Rangkaian Ruba’iyat, (1963) Some Aspects of Shufism as Understood and Practiced among the Malays, (1966) Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh, (1968) The Origins of Malays Sya’ir, (1969) Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesian Archipelago, (1970) The Mysticism of hamzah Fanshuri, (1971) Concluding Postscript to the Origin of Malays Sya’ir, (1972) The Correct Date of the Terengganu Inscription, (1972) Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (1973) Risalah untuk Kaum Muslimin, (1975) Comments on the Re-Examination of Al-Raniri’s Hujjat au’l Siddiq: A Refutation, (1976) Islam; The Concept of Religion and the Foundation of Ethics and the Morality, (1978) Islam and Secularism, (1979) Aims and Objectives of Islamis Education; Islmaic Education Series, (1980) The Concept of Education in Islam, (1985) Islam, Securalism and The Philosophy of the Future, (1986) A Commentary on the Hujjat al-Shiddiq ofNur al-Dinal-Raniri, (1988) The Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of the `Aqa’id of al-Nasafi, (1989) Islam and the Philosophy of Science, (1990) The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul, (1990) On Quiddity and Essence, (1990) The Intuition of Existence, (1992) The Concept of Religion and the Foundation of Ethics and Morality, (1993) The Meaning and Experience of Happiness in Islam, (1994) The Degrees of Existence, (1995) Prolegomena to the Metaphysics of Islam: an Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam.
Disamping karya yang berbentuk buku dan monograf diatas, Naquib telah menyampaikan lebih dari 400 makalah ilmiah di Negara-negara Eropa, Amerika, Jepang, Timur Tengah dan berbagai Negara Islam lainnya. Selain itu, Naquib juga aktif menulis artikel-artikel dalam jurnal-jurnal international. Jumlah artikel ini tidak kurang dari 27 artikel dalam berbagai jurnal international.

C. Pemikiran Syed Naquib al-Attas
1. Pandangan tentang epistomologi Islam
Naquib menjelaskan bahwa kemerosotan ilmu pengetahuan Islam terutama sekali berhubungan dengan epistemologi. Problem umat Islam muncul ketika sains modern diterima di negara-negara Muslim modern, di saat kesadaran epistemologis Muslim amat lemah. Padahal epistemologi sains modern berpijak pada landasan pemisahan agama dalam ilmu pengetahuan. Sains modern tumbuh dan berkembang dari tradisi filsafat yang menafikan kekuasaan dan keberadaan Tuhan dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Landasan epistemologi sains modern besandar pada metode rasionalis-empiris dan menyangkal peran intuisi serta menolak wahyu dan agama sebagai sumber ilmu yang benar. Dalam tradisi ilmiah modern inilah agama dikatakan hanya menjadi belenggu dalam proses dinamika pengembangan ilmu, karena agama tidak mampu menjawab tantangan zaman yang semakin hari semakin bertumpu pada teknologi. Hegemoni pengetahuan barat yang begitu kuat mengakar diseluruh penjuru dunia, tanpa disadari telah diimani oleh sebagian besar umat Muslim. Umat Muslim menerimanya tanpa adanya upaya kritis untuk menilik lebih dalam tentang bagaimana epistemologi yang dikandung oleh sains modern sekarang ini. Adanya anggapan bahwa sains modern adalah satu-satunya cabang ilmu yang otoritatif segera melemahkan pandangan Islam mengenai ilmu.
Naquib menolak preposisi sains modern sebagai sumber pencapaian kebenaran yang paling otoritatif dalam kaitannya dengan epistemologis, karena banyak kebenaran agama yang tak dapat dicapai oleh sains. Pada tingkat dan pemaknaan seperti ini, sains modern telah terlepas jauh dari kebenaran. Kebenaran dalam Islam sendiri merupakan titik kulminasi seluruh aktifitas intelektual dan intuitif yang mampu dicapai manusia dengan segala potensi yang telah diberikan Tuhan. Unifikasi dari berbagai potensi yang meliputi indera, rasio intelektual dan intuisi inilah yang berupaya untuk membuka tabir kebenaran yang tersebar diseluruh jagad raya. Dalam paradigma pemikiran Islam, pencapaian ilmu pengetahuan tidak berhenti pada terminal kesesuaian antara realitas rasio dengan realitas inderawi, tapi lebih dari itu merupakan kesesuaian dan keserasian antara realitas intelektual-intuitif dengan realitas ontologis. Epistemologi Islam tidak berangkat dari keraguan (sebagaimana sains modern barat dikembangkan dengan berlandaskan kepadanya), melainkan berangkat dari keyakinan akan adanya kebenaran itu sendiri. Kebenaran yang secara inheren telah terkandung dalam al-Qur’an sebagai petunjuk Tuhan. Kebenaran yang secara esensial tersembunyi dibalik alam semesta, baik yang berkaitan dengan gejala-gejala, proses maupun peristiwa-peristiwa alam dan kemanusiaan. Bagi Naquib sendiri, dalam proses pembalikan kesadaran epistemologis ini, program islamisasi menjadi satu bagian kecil dari upaya besar pemecahan masalah epistemologi ilmu pengetahuan.
2. Pandangan tentang dewesternisasi dan islamisasi
Dalam pandangan Naquib, dewesternisasi adalah proses memisahkan dan menghilangkan unsur-unsur sekuler dari tubuh pengetahuan yang akan merubah bentuk-bentuk dan nilai-nilai dari pandangan konseptual tentang pengetahuan seperti yang disajikan saat ini. Yang pada dasarnya upaya tersebut merupakan bentuk usaha pemurnian ajaran Islam dari segala pengaruh barat. Upaya dewesternisasi ini sendiri tidak akan mempunyai signifikansi bagi umat Islam bila tidak dilanjutkan dengan gerakan Islamisasi. Islamisasi menurutnya adalah proses pembebasan manusia dari tradisi mitos dan sekuralisme. Bahwa ilmu pengetahuan harus lepas dari pandangan dua tradisi diatas, bagi Naquib adalah sebuah keniscayaan dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang bernuansa dan berwawasan islami. Naquib mengoreksi disiplin ilmu-ilmu modern dan memurnikan ilmu-ilmu Islam yang telah tercelup dalam paham-paham sekuler. Perkembangan ilmu pengetahuan modern yang mengandung ideologi sekuralisme ini harus direformulasikan secara konseptual melalui islamisasi ilmu pengetahuan agar tidak terlepas dari nilai-nilai spiritualitas dan transedensi ketuhanannya.

D. Konsepsi Pemikiran Pendidikan Syed Naquib al-Attas
1. Gagasan tentang manusia
Manusia adalah binatang rasional yang mengacu kepada nalar. istilah nalar sendiri selaras dengan terma ‘aql. Al-‘aql sendiri pada dasarnya adalah ikatan atau simbol yang mengandung makna suatu sifat dalam menyimpulkan objek-objek ilmu pengetahuan dengan menggunakan sarana kata-kata. Dan dari sinilah timbul istilah al-Hayawanun Nathiq. Nathiq selain dimaknai rasio juga dimaknai sebagai “pembicaraan” (yakni suatu kekuatan dan kapasitas untuk merangkai simbol bunyi yang menghasilkan makna). Disamping mempunyai rasio, manusia juga mempunyai fakultas batin yang mampu merumuskan makna-makna (Dzu Nutq). Fakultas batin ini disebut-sebut sebagai hati, yaitu suatu substansi ruhaniyah yang dapat memahami dan membedakan kebenaran dari kepalsuan.
Manusia terdiri dari dua substansi, yakni jiwa dan raga, yang berwujud badan dan roh; atau dengan bahasa lain jasmaniyah dan ruhaniyah. Sebelum berbentuk jasmani, manusia telah mengikat janji akan mengakui Allah sebagai Tuhannya. Perjanjian suci (ikrar primordial) ini mempunyai konsekuensi selalu akan mengikuti kehendak Allah SWT. Dalam diri manusia sebenarnya ada potensi untuk beragama, dalam arti kepatuhan kepada Tuhan. Dan tidak ada kepatuhan (din) yang sejati tanpa adanya sikap pasrah atau penyerahan diri (islam).
Dengan berlandaskan kepada kepatuhan dan penyerahan diri, maka manusia akan mencapai kesadaran bahwa segala potensi yang dimiliki harus diarahkan sebagai bentuk penyembahan (ibadah) kepada Pencipta semesta. Jadi, hidup manusia didunia ini tidak lain bertujuan untuk beribadah dan mengabdikan diri kepada-Nya. Tujuan ini harus menjadi landasan yang paling fundamental bagi setiap aktifitas manusia dalam menjaga dan mengelaborasikan potensi yang dimilikinya untuk memanfaatkan alam semesta dengan segenap fasilitas yang ada didalamnya yang telah diberikan Tuhan. Inilah konsepsi Khalifatullah fi al-Ardh yang harus dijalankan manusia dengan penuh tanggung jawab.
2. Gagasan tentang definisi dan makna pendidikan Islam
Dalam Islam istilah pendidikan dikenal melalui tiga terma yang kesemuanya mengandung makna dan konsekuensi tersendiri dalam proses pendidikan yang didasarkan pada istilah-istilah tersebut. Istilah-istilah tersebut yaitu, tarbiyah, ta’dib dan ta’lim. Naquib cenderung lebih memakai ta’dib daripada istilah tarbiyah maupun ta’lim. Kata tarbiyah berarti mengasuh, menanggung, memberi makan, memelihara, menjadikan tumbuh, membesarkan dan menjinakkan. Sehingga tarbiyah mengandung unsur pendidikan yang lebih bersifat fisik dan material. Terlebih, terma tarbiyah secara luas dapat digunakan tidak hanya untuk manusia, tetapi juga untuk batu, tanaman dan hewan. Sedangkan pendidikan dalam pandangan Islam hanya terkhusus kepada manusia. Sedangkan terma ta’lim, meskipun mempunyai makna yang lebih luas dari tarbiyah, yakni informasi, nasehat, bimbingan, ajaran dan latihan; namun tetap tidak bisa mewakili pengertian pendidikan Islam karena juga dapat digunakan untuk selain manusia, sementara pendidikan hanya untuk manusia saja. Dari pengertian atas dua terma diatas, menurut Naquib, terma ta’diblah yang lebih cocok digunakan dalam pendidikan Islam. ta’dib berasal dari kata adaba yang mempunyai arti mendidik, kehalusan budi, kebiasaan yang baik, akhlak, kepantasan, kemanusiaan dan kasusastran. Dalam struktur konseptual, terma ta’dib sudah mencakup unsur-unsur pengetahuan (‘ilm), pengajaran (ta’lim) dan penyuluhan yang baik (tarbiyah).
Sebagaimana dalam pandangan Naquib bahwa masalah mendasar dalam pendidikan Islam selama ini adalah hilangnya nilai-nilai adab (etika) dalam arti luas. Baginya, alasan mendasar memakai istilah ta’dib adalah, karena adab berkaitan erat dengan ilmu. Ilmu tidak bisa diajarkan dan ditularkan kepada anak didik kecuali orang tersebut memiliki adab yang tepat terhadap ilmu pengetahuan dalam pelbagai bidang. Inti dari pendidikan itu sendiri adalah pembetukan watak dan akhlak yang mulia. Dari sini Naquib mengartikan makna pendidikan sebagai suatu proses penanaman sesuatu ke dalam diri manusia dan kemudian ditegaskan bahwa sesuatu yang ditanamkan itu adalah ilmu; dan tujuan dalam mencari ilmu ini terkandung dalam konsep ta’dib.
Lebih lanjut, Naquib menjelaskan bahwa perbedaan antara ta’dib dan tarbiyah adalah terletak pada makna substansinya. Kalau tarbiyah lebih menonjolkan pada aspek kasih sayang (rahmah), sementara ta’dib, selain dimensi rahmah juga bertitik tolak pada aspek ilmu pengetahuan. Secara mendasar, ia mengakui bahwa dengan konsep ta’dib, pendidikan Islam berarti mencakup seluruh unsur-unsur pengetahuan, pengajaran, dan pengasuhan yang baik. Penekanan pada segi adab dimaksudkan agar ilmu yang diperoleh dapat diamalkan secara baik dan tidak disalahgunakan menurut kehendak bebas pemilik ilmu, sebab ilmu tidak bebas nilai (value free) tetapi sarat nilai (value laden), yakni nilai-nilai Islam yang mengharuskan pelakunya untuk mengamalkan demi kepentingan dan kemaslahatan umat manusia.
Sementara, bila dicermati lebih mendalam, konsep pendidikan Islam hanya terbatas pada tarbiyah atau ta’lim ini, telah dirasuki oleh pandangan hidup Barat yang melandaskan nilai-nilai dualisme, sekularisme, intelektualisme, dan sofisme sehingga nilai-nilai adab semakin menjadi kabur dan semakin jauh dari nilai-nilai hikmah ilahiyah. Kekaburan makna adab itu, dalam pandangan Naquib, menjadi sebab utama dari kezaliman, kebodohan, dan kegilaan. Sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa salah satu sebab kemunduran umat Islam adalah di bidang pendidikan. Maka dari konsep ta’dib seperti dijelaskan, akan ditemukan problem mendasar kemunduran pendidikan umat Islam. Problem itu tidak terkait masalah buta huruf, melainkan berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang disalah artikan, bertumpang tindih, atau diporak-porandakan oleh pandangan hidup sekular (Barat). Akibatnya, makna ilmu itu sendiri telah bergeser jauh dari makna hakiki dalam Islam. Fatalnya lagi, ini semua kemudian menjadi 'dalang' dari berbagai tindakan korup (merusak) dan kekerasan juga kebodohan. Lahir kemudian pada pemimpin yang tak lagi mengindahkan adab, pengetahuan, dan nilai-nilai positif lainnya. Untuk itulah, dalam amatan Naquib, semua kenyataan ini harus segera disudahi dengan kembali membenahi konsep dan sistem pendidikan Islam yang dijalankan selama ini.
Pada sisi lain, adanya pandangan dikotomi keilmuan dalam pendidikan Islam; antara ilmu agama dan ilmu umum telah menimbulkan persaingan di antara keduanya, yang saat ini – dalam hal peradaban – dimenangkan oleh Barat, sehingga pengaruh pendidikan Barat terus mengalir deras, dan ini membuat identitas umat Islam mengalami krisis dan tidak berdaya. Dalam hal ini Naquib berpendapat bahwa perlu adanya penanaman nilai-nilai spiritual, termasuk spiritual intelligent dalam pendidikan Islam. Sebagaimana ia membagi ilmu menjadi dua, yakni ilmu fardhu ‘ain (yang tercakup didalamnya ilmu-ilmu agama) dan ilmu fardhu kifayah (yang meliputi ilmu-ilmu rasional-filosofis seperti ilmu kealaman, ilmu sosial, ilmu terapan dan teknologi). Ia menekankan akan pentingnya pengajaran ilmu fardhu ‘ain yang integral dalam pengajaran ilmu fardhu kifayah. Yakni, dengan memberikan pegajaran tentang ilmu pengetahuan yang menekankan dimensi ketuhanan, intensifikasi hubungan manusia-Tuhan dan manusia-manusia, serta nilai-nilai moralitas lainnya yang membentuk cara pandang anak didik terhadap kehidupan dan alam semesta. Bagi Naquib, adanya pembagian ilmu menjadi ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah tidak perlu diperdebatkan. Tetapi, pembagian tersebut harus dipandang dalam perspektif integral atau tauhid, yakni ilmu fardhu ‘ain sebagai asas dan rujukan bagi ilmu fardhu kifayah. Bahwa setelah manusia dikenalkan akan posisinya dalam tatanan kosmik lewat proses pendidikan, ia diharapakan dapat mengamalkan ilmunya dengan baik di masyarakat berdasarkan adab, etika dan ajaran agama.
3. Gagasan tentang tujuan pendidikan Islam
Seperti halnya pandangannya tentang tujuan hidup manusia, Naquib beranggapan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan kebajikan dalam “diri manusia” sebagai individu dan sebagai bagian dari masyarakat. Secara ideal, Naquib menghendaki pendidikan Islam mampu mencetak manusia yang baik secara universal (al-insan al-kamil). Insan kamil yang dimaksud adalah manusia yang bercirikan: pertama; manusia yang seimbang, memiliki keterpaduan dua dimensi kepribadian; a) dimensi isoterik-vertikal yang intinya tunduk dan patuh kepada Allah dan b) dimensi eksoterik-dialektikal-horisontal, yakni membawa misi keselamatan bagi lingkungan sosial alamnya. Kedua; manusia seimbang dalam kualitas pikir, zikir dan amalnya.
Tujuan akhir pendidikan Islam adalah menghasilkan manusia yang baik, baik dalam kehidupan materiil dan spirituilnya. Dalam hal ini, manusia yang baik yang dimaksud adalah individu yang beradab, bijak, mengenali dan sadar akan realitas sesuatu, termasuk posisi Tuhan dalam realitas itu. Suatu tujuan yang mengarah pada dua demensi sekaligus yakni, sebagai `abdullah (hamba Allah), dan sebagai Khalifah fi al-Ardh (wakil Allah di muka bumi). Dengan harapan yang tinggi, Naquib menginginkan agar pendidikan Islam dapat mencetak manusia paripurna, insan kamil yang bercirikan universalis dalam wawasan dan ilmu pengetahuan dengan bercermin kepada ketauladanan Nabi Muhammad SAW.
Pandangan Naquib tentang masyarakat yang baik, sesungguhnya tidak terlepas dari individu-individu yang baik. Jadi, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat yang baik, berarti tugas pendidikan harus membentuk kepribadian masing-masing individu secara baik. Karena masyarakat merupakan bagian dari kumpulan individu-individu. Manusia yang seimbang pada garis vertikal dan horizontalnya. Dalam konsep inilah tujuan pendidikan Islam mengarah pada terbentuknya manusia universal (insal kamil). Lebih lanjut, menurutnya pendidikan Islam harus mengacu kepada aspek moral-transedental (afektif), tampa harus menuinggalkan aspek kognitif (sensual logis) dan psikomorik (sensual empirik).
4. Gagasan tentang sistem pendidikan Islam
Gagasan Naquib tentang sistem pendidikan Islam ini tidak bisa dilepaskan (terpisah) dari pemaknaannya terhadap konsep pendidikan. Sistem pendidikan Islam bagi Naquib haruslah mengandung unsur adab (etika) dan ilmu pengetahuan, karena inti dari pendidikan itu sendiri adalah pembetukan watak dan akhlak mulia manusia yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi dirinya sendiri khususnya dan bagi umat manusia umumnya.
Sesuai dengan pandangannya terhadap tujuan pendidikan untuk membentuk insan kamil, maka insan kamil harus dijadikan paradigma dalam pengembangan lembaga pendidikan Islam. Dengan demikian lembaga pendidikan Islam harus menjadikan Nabi Muhammad SAW. sebagai modelnya. Sistem pendidikan Islam harus merefleksikan ilmu pengetahuan dan perilaku Rasulullah, serta berkewajiban mewujudkan umat Muslim yang menampilkan kualitas keteladanan Nabi Muhammad SAW. Naquib ingin menampilkan sistem pendidikan Islam yang terpadu, yakni antara dimensi ‘abdullah dengan dimensi Khalifah fi al-Ardh.
Dan sesuai dengan kategori ilmu yang dibuat Naquib, pendidikan Islam haruslah berisikan ilmu-ilmu fardhu ‘ain dan ilmu-ilmu fardhu kifayah. Sistem pendidikan yang diformulasikannya adalah mengintegrasikan ilmu dalam sistem pendidikan Islam, artinya Islam harus menghadirkan dan mengajarkan dalam proses pendidikannya tidak hanya ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu rasional, intelek dan filosofis. Namun ilmu pengetahuan dan teknologi harus terlebih dahulu dilandasi pertimbangan nilai-nilai dan ajaran agama. Karena secara makro dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam masih mengalami keterjajahan oleh konsepsi pendidikan Barat. Ilmu masih dipandang secara dikotomis, sehingga tidak ada integrasi ilmu yang seharusnya diwujudkan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang berwawasan dan bernuansa Islami.

E. Kesimpulan
Pemikiran dan gagasan pendidikan Syed Muhammad Naquib al-Attas mempunyai daya signifikansi yang amat tinggi serta layak untuk dipertimbangkan sebagai sebuah solusi alternatif yang dapat diaktualisasikan dan diimplementasikan dalam dunia pendidikan Islam pada konteks sekarang. Dimana pendidikan Islam sekarang ini tidak mampu memberikan sumbangan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi umat manusia. Pendidikan Islam secara tidak sadar masih saja memandang mewah ilmu pengetahuan Barat dan mengagung-agungkan teknologi Barat yang jelas-jelas telah mengandung sekuralisasi. Maka dari itu Naquib mencoba menawarkan de-westernisasi dan islamisasi sebagai landasan konseptual dalam mengembangkan pendidikan Islam, yang masih saja stagnan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang selama ini masih dibawah kungkungan superioritas Barat.
Dasar argumentasinya adalah untuk mencegah adanya dikotomi ilmu yang memisahkan secara total sisi religiuitas agama dalam pengembangan ilmu pengetahuan, dan ini harus menjadi acuan bagi setiap lembaga pendidikan Islam yang ada saat ini agar tidak menghasilkan output yang justru tidak memiliki jiwa dan karakter yang islami. Naquib juga berusaha menjaga keseimbangan (equiliberium) dalam konsepnya antara aspek afektif, kognitif dan psikomotorik manusia sebagai potensinya sehingga mampu mengemban amanat Tuhan untuk menjadi kholifah fi al-ardh. Pendidikan Islam harus memiliki corak moral dan rilegius dalam mengemban tugasnya sebagai pencetak intelektual Muslim yang sadar akan realitas kehidupan guna mewujudkan insan kamil yang di idam-idamkan. Secara ilmiah Syed Naqib al-Attas telah mengemukakan preposisi-preposisinya sehingga menjadi sebuah konsep pendidikan Islam yang jelas dan sistematis.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Attas, Naquib S.M. Islam dan Sekuralisme. (trjmh oleh Karsidjo Djojo Suwarso). Cet I. Bandung; Pustaka Salman. 1981.
_______. Konsep Pendidikan dalam Islam; Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam (trjmh oleh Haidar Baqir). Cet I. Bandung; Mizan. 1987.
Badaruddin, Kemas. Filsafat Pendidikan islam (Analisis Pemikiran Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas). Jakarta; Pustaka Pelajar. 2007.
Daud, Wan W.M.N. Filsafat dan Praktek Pendidikan Syed Naquib al-Attas (trjmh oleh Hamid Fahmy dkk.). Bandung; Mizan. 2003.
http://www.belajarislam.com/wawasan/sains/338-pemikiran-pendidikan-menurut-sm-naquib-al-attas. Diakses pada tanggal 25 November 2010.
http://mujtahid-komunitaspendidikan.blogspot.com/2010/02/gagasan-pendidikan-syed-naquib-al-attas.html. Diakses pada tanggal 25 November 2010.
http://indrayogi.multiply.com/reviews/item/109. Diakses pada tanggal 25 November 2010.
http://grelovejogja.wordpress.com/2007/02/15/syed-naquib-al-attas/. Diakses pada tanggal 25 November 2010.
Majid, Nurcholis. Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Cet IV. Jakarta; Paramadina. 2000.
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta; Ciputat Pers. 2002.
_______ (Edtr). Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia. Cet III. Jakarta; Kencana. 2009.