welcome to the free zone...your expression is amazing...

Jumat, 19 November 2010

Meninjau Kembali Ideologi dan Paradigma Pendidikan Nasional

A.Pendahuluan
Ideologi merupakan istilah yang bisa diartikan sebagai sebuah sistem berfikir (yang diyakini oleh sekelompok orang) yang mendasari setiap langkah dan gerak mereka dalam kehidupan sosialnya. Ideologi dapat diartikan pula sebagai sebuah pemahaman tentang bagaimana memandang dunia (realitas). Oleh karena itu ideologi merupakan landasan bagi pemaknaan realitas. Kata ideologi sendiri berasal dari bahasa Yunani idea (ide/gagasan) dan logos (studi tentang/pengetahuan tentang). Secara harfiah ideologi berarti studi tentang ide-ide/gagasan. Adapun secara istilah ideologi adalah sistem gagasan yang mempelajari keyakinan-keyakinan dan hal-hal ideal; asas haluan; pandangan hidup. Istilah ini mengacu pada seperangkat keyakinan dalam merealisasikan sebuah obyek. Maka tidak salah anggapan bahwa permasalahan ideologi selalu menarik untuk dikaji karena berawal dari sanalah realitas dipersepsikan. Sistem (aturan) yang melandasi pemaknaan kehidupan ini (baca: ideologi) akan selalu menentukan kemana arah dan pandangan hidup para penganutnya.
Demikian halnya dengan ideologi, kata paradigma juga berasal dari bahasa Yunani para (di sebelah, di samping) deigma (memperlihatkan; model/contoh ideal). Istilah paradigma diartikan sebagai pedoman/teladan; cara memandang sesuatu; dasar untuk menyeleksi suatu problem-problem dan pola untuk memecahkannya. Paradigma bisa diartikan pula sebagai landasan berfikir dalam menentukan sikap dan tindakan. Paradigma akan sangat menentukan bagaimana langkah dan tindakan yang diambil dalam mencapai sebuah tujuan.
Pendidikan pada hakikatnya merupakan sebuah usaha sadar untuk menuntun umat manusia secara bertahap dalam menjalani kehidupannya. Dalam hal ini pendidikan sekaligus sebagai upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan peradaban umat manusia. Maka tidak heran apabila dikatakan bahwa maju mundurnya sebuah bangsa sangatlah ditentukan oleh pelaksanaan pendidikan yang ada didalamnya.
Dalam dunia pendidikan, landasan yang mendasari pelaksanaan pendidikan tidak bisa dinafikan begitu saja dalam proses dinamikanya. Bahwa pendidikan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh (inside) ideologi maupun paradigma yang dikandungnya. Ideologi dan paradigma yang mendasari proses pendidikan akan sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam karena hal tersebut terkait dengan bagaimana langkah dan usaha yang ditempuh sebagai upaya untuk mengimplementasikan landasan berfikir kedalam prosesi pendidikan itu sendiri.
Ideologi pendidikan yang dianut sebuah bangsa akan sangat menentukan karakteristik pendidikan yang diterapkan didalamnya. Bangsa ini sendiri, hemat penulis belum jelas dalam menganut ideologi pendidikan yang ada atau paling tidak belum mampu mengembangkan ideologi Pancasila kedalam dunia pendidikan. Tidak ubahnya dengan ideologi pendidikan, paradigma pendidikan juga sangatlah penting dalam tubuh pendidikan. Selama ini paradigma pendidikan di negara kita selalu mengalami perubahan yang tidak berpengaruh signifikan dalam merealisasikan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Seperti dalam ungkapan Thomas Khun yang mengatakan bahwa paradigma selalu mengalami anomali, sehingga akan berkonsekuensi melahirkan paradigma baru. Lalu sejauh ini, pertanyaan yang muncul adalah seperti apakah ideologi dan paradigma pendidikan yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia sehingga bisa diterapkan demi mewujudkan cita-cita pendidikan bangsa ini sendiri?
Melihat selayang pandang penulis, tentunya masih banyak serpihan-serpihan pertanyaan yang ingin kita tanyakan dan bahas lebih lanjut. Semoga pemaparan yang ringkas ini bisa sedikit masukan kepada kita untuk meninjau kembali pengejawantahan ideologi dan paradigma pendidikan di indonesia.

B.Ideologi Pendidikan Nasional
1.Macam-macam Ideologi Pendidikan di Dunia
Sejauh ini pakar-pakar pendidikan mencoba mengklasifikasikan ideologi pendidikan kedalam beberapa aliran-aliran ideologis. Salah satu pakar pendidikan yang sering dijadikan rujukan dalam penggolongan ideologi pendidikan ini adalah William F O’neil. Menurutnya, secara garis besar ideologi pendidikan dapat ditarik menjadi dua golongan, yakni ideologi konservatif dan ideologi liberal. Namun dalam kajian ini penulis mencoba untuk memaparkan klasifikasi ideologi pendidikan berdasarkan karakter yang dikandung oleh masing-masing ideologi tersebut, antara lain:
a.Ideologi fundamentalisme; yaitu ideologi yang ingin meminimalkan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan intelektual serta cenderung mendasarkan diri kepada penerimaan relatif terhadap realitas tanpa adanya kritik terhadap kebenaran dan konsensus sosial yang sudah mapan.
b.Ideologi intelektualisme; yaitu ideologi yang didasarkan pada sistem-sistem pemikiran filosofis yang otoritarian. Intelektualisme pendidikan ingin mengubah praktek-praktek politik dan pendidikan demi menyesuaikan secara lebih sempurna dengan cita-cita intelektual yang sudah mapan.
c.Ideologi konservatisme; yaitu ideologi yang memandang bahwa ketimpangan dalam masyarakat merupakan hukum alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah. Dalam bentuknya yang paling klasik, kaum konservatif berkeyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan sosial atau paling tidak mempengaruhinya. Secara implisit, ideologi ini mendukung ketaatan terhadap lembaga-lembaga yang sudah teruji waktu, disertai dengan rasa hormat yang mendalam terhadap tatanan sosial yang konstruktif.
d.Ideologi liberalisme; yaitu ideologi yang mengajarkan kebebasan individu dan berusaha mempromosikan perwujudan potensi individu secara maksimal. Tujuan jangka panjang pendidikan menurut kaum liberal adalah melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada dengan cara mengajar setiap individu bagaimana menghadapi masalah-masalah dalam kehidupannya sendiri secara efektif. Peserta didik memiliki masalah hidup sendiri dan memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam menyelesaikannya. Yang terpenting adalah bagaimana mereka diarahkan agar dapat secara optimal menyelesaikan masalah hidup mereka secara mandiri melalui pendidikan.
e.Ideologi anarkhisme; yaitu ideologi yang menolak pembatasan-pembatasan kelembagaan terhadap perilaku personal. Ideologi ini bercita-cita melakukan deinstitusionalisasi masyarakat, sehingga menjadikan masyarakat bebas dari belenggu lembaga. Pendekatan terbaik terhadap pendidikan adalah pendekatan yang mengusahakan percepatan perombakan humanistik berskala besar dengan cara menghapus sistem persekolahan.
f.Ideologi kritis-radikal; yakni ideologi yang berpandangan bahwa perhatian utama pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap “the dominant ideologi” ke arah tranformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang berfikir serta bertindak untuk selalu kritis terhadap keadaan dan struktur yang tidak adil dan menindas. Visi pendidikan harusnya adalah melakukan kritik terhadap sistem dan kelas dominan sebagai perwujudan atas keberpihakan terhadap rakyat kecil yang tertindas, dalam rangka untuk mewujudkan tatanan sosial yang lebih adil.
Melihat aliran-aliran ideologi pendidikan diatas, pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah ideologi pendidikan nasional yang dianut/dimiliki bangsa Indonesia sehingga dapat menuntun kita menuju terwujudnya tujuan pendidikan nasional?
Penulis secara pribadi beranggapan bahwa bangsa Indonesia belum jelas dalam menganut ideologi pendidikan yang ada atau bahkan belum mampu mengembangkan ideologi negara ini sendiri (ideologi Pancasila) ke dalam dunia pendidikan. Perbedaan arah praktek penyelenggaraan pendidikan pada dasarnya disebabkan oleh perbedaan ideologi pendidikan itu sendiri. Bangsa yang telah memiliki dan menganut ideologi pendidikan tertentu akan memperoleh cara hidup dan cara pandang dalam menyelenggarakan pendidikan secara kokoh sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan cara hidup dan cara pandangnya. Hal tersebut selanjutnya digunakan untuk menciptakan kondisi tertentu yang dapat membantu keberhasilan dalam menumbuhkan, membangun jaringan dan mengorganisir segenap sumber daya pendidikan dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Sebaliknya, bangsa yang belum atau kurang memiliki dasar ideologi pendidikan yang jelas, selanjutnya akan gamang dan mengalami kesulitan dalam menumbuhkan, membangun dan mengorganisir segenap sumber daya pendidikannya dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan.
Berbagai kebijakan pendidikan di Indonesia selama ini belum berakar pada pilihan ideologi yang dianut. Akibatnya beberapa upaya pembangunan pendidikan berlangsung tanpa akar ideologi yang jelas. Sehingga beberapa kebijakan pendidikan berakhir secara tragis tanpa ada hasil yang signifikan bagi kemajuan bangsa.
2.Pancasila sebagai Ideologi Negara
Memperbincangkan ideologi pendidikan nasional tidak bisa dilepaskan dari dirkursus tentang ideologi Negara Indonesia yakni ideologi Pancasila, karena ideologi negara tentunya harus menjadi landasan bagi segala kebijakan dan keputusan bangsa (dalam hal ini pemerintah) dalam setiap aspek kehidupan bernegara termasuk masalah pendidikan. Segala bentuk kebijakan yang dikeluarkan pemerintah haruslah berlandaskan pada Pancasila serta harus sesuai dengan nilai-nilai luhur dan semangat yang terkandung didalamnya. Terkait dengan hal tersebut, maka kebijakan pemerintah sangat menentukan dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional. Setidak-tidak ada tiga dimensi kebijakan pemerintah yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, yaitu:
a.Dimensi management pemerintah; kebijakan ini menyangkut bagaimana, sejauh mana pendidikan nasional harus dikelola serta dikembangkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
b.Dimensi prioritas pembangunan; kebijakan ini menyangkut sejauh mana pendidikan nasional mendapat prioritas dalam sistem pembangunan nasional disamping bidang-bidang lainnya.
c.Dimensi partisipasi masyarakat; kebijakan ini menyangkut sejauh mana masyarakat mendapat peluang dan kesempatan untuk berkiprah mengembangkan pendidikan.
3.Problematika Penerapan Ideologi Pancasila dalam Dunia Pendidikan
Mengingat kondisi dunia pendidikan di Indonesia, pekerjaan rumah yang harus dirumuskan adalah perwujudan dan pengembangan konsep ideologi pendidikan Pancasila. Beberapa tokoh pendidikan sudah mulai mencoba untuk merumuskan konsep dasar filsafat pendidikan Pancasila, antara lain: Notonagoro, Imam Barnadib dan Subiyanto Wiroyudo. Tinggal bagaimana langkah pemerintah dalam menerapkan ideologi pendidikan Pancasila kedalam dinamika pendidikan di Indonesia, dengan berbagai macam keberagaman yang ada didalamnya.
Masalah pendidikan adalah salah satu masalah yang bersifat universal. Semua manusia tanpa terkecuali sangat berkepentingan terhadap pendidikan. Masalah pendidikan biasanya muncul ketika ada deskripansi (kesenjangan) antara dunia cita-cita (das sollen) dengan dunia nyata (das sein) pendidikan. Sedangkan kebijakan pendidikan dilakukan dalam rangka mengurangi kesenjangan atau paling tidak mendekatkan antara dunia cita-cita dengan dunia nyata pendidikan. Berdasarkan dimensi kebijakan pemerintah dalam dunia pendidikan, maka penulis mencoba untuk mengklarifikasi masalah-masalah yang ada didalamnya, antara lain:
a.Masalah dimensi management; meskipun UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sudah diberlakukan, namun otonomi daerah sampai saat ini terkesan masih setengah hati. Hal yang bisa kita telisik dalam dunia pendidikan adalah bagaimana Ujian Nasional masih dijadikan standarisasi kelulusan peserta didik oleh pemerintah. Tentunya hal ini bertolak belakang dengan semangat program MBS (Managemen Berbasis Sekolah) yang baru-baru ini mencuat. Kerancauan ini diperparah oleh adanya Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom yang mempertegas sistem pengelolaan lembaga pendidikan, dimana pendidikan dasar sampai menengah keatas merupakan tanggung jawab pemerintah daerah sedangkan pendidikan tinggi menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
b.Masalah dimensi prioritas pembangunan; Dalam amanat UUD pasal 31 ayat 4 disebutkan bahwa Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan Nasional. Seperti halnya dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pemerintah diwajibkan mengalokasikan dana pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan anggaran ini belum termasuk untuk gaji guru dan biaya pendidikan kedinasan. Namun dalam realitasnya praktek anggaran penyelenggaraan pendidikan belum atau masih sangat jauh dari angka 20 persen. Rendahnya anggaran pendidikan menjadi bukti bahwa bidang pendidikan belum memperoleh prioritas yang memadai dalam sistem pembangunan nasional; dan hal ini sekaligus menunjukkan demikian rendahnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan. Hal tersebut sudah barang tentu dapat menciptakan suasana yang kurang kondusif terhadap keberhasilan usaha pencapaian tujuan pendidikan nasional.
c.Masalah dimensi partisipasi masyarakat; masyarakat adalah bagian dari pendidikan, dalam hal ini berarti bahwa masyarakat ikut menentukan arah dan sekaligus ikut bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan. Sebenarnya peran serta masyarakat Indonesia dalam menyelenggarakan pendidikan nasional relatif besar. Hal ini bisa diukur dari betapa banyaknya lembaga pendidikan swasta di Indonesia. Namun peran serta masyarakat ini terbentur dengan pendanaan dalam penyelenggaraan pendidikan dan mindset “favorite” yang ditanamkan oleh pemerintah. Pendanaan penyelenggaraan pendidikan swasta seolah tidak mendapat perhatian sepenuhnya dari pemerintah, dimana subsidi dana bagi lembaga pendidikan swasta berbanding sangat jauh dengan lembaga pendidikan negeri. Serta mindset favorite yang “dikembang biakkan” oleh pemerintah selama ini mematikan nilai tawar pendidikan swasta dimana mindset itu adalah sekolah favorit adalah sekolah yang berstatus negeri. Maka tidak heran semakin banyak sekolah swasta yang akhirnya harus gulung tikar, karena dari segi pendanaan mereka tidak mencukupi dan dari segi kepercayaan masyarakat, orang tua peserta didik lebih merasa bergengsi jika anak-anak mereka disekolahkan di lembaga pendidikan yang berstatus negeri. Bahkan bertahun-tahun sebelum reformasi, yakni pada zaman orde baru, dengan ideologi developmentalismenya pemerintah mengebiri aspirasi dan peran serta masyarakat dalam pendidikan. Karakter pemerintah begitu otoriter dan menindas rakyat. Rakyat difungsikan hanya sebatas obyek yang perlu “dididik”, dimobilisir, didorong bahkan kalau perlu ditekan demi lancarnya “pembangunan” ala pemerintahan orde baru yang sesungguhnya tidak membuat rakyat sejahtera tapi malah membuat rakyat semakin sengsara.\

C.Paradigma Pendidikan Nasional
1.Paradigma Pendidikan Nasional dan Anomalinya
Bahwa paradigma selalu mengalami anomali adalah benar adanya. Hal tersebut tercermin dalam perkembangan paradigma pendidikan nasional sampai detik ini. Romo Wahono memaparkan, bahwa kesalahan pendidikan kita utamanya terletak pada kesalahan paradigmanya. Kesalahan ini mula-mula merupakan warisan kolonial belanda. Dimasa orde baru, kesalahan ini dipelihara dan semakin mendekatkannya pada ide kapitalisme liberal. Kemudian, dengan sentuhan fasisme kolonial jepang, sistem pendidikan menjadi beraroma liberalis-feodalis. Parahnya, paradigma liberalis-feodalis ini dipayungi oleh paradigma kompetisi yang diajarkan oleh globalisasi. Paling tidak berikut akan penulis paparkan secara singkat anomali paradigma pendidikan nasional secara singkat dari tinjauan historis-sosiologisnya.
a.Paradigma sentralistik; paradigma ini dilaksanakan dengan ketat pada masa orde baru. Semua serba tersentral dan terstandarisasi. Intervensi yang berlebihan dari pemerintahan orde baru terhadap dunia pendidikan malah semakin mematikan peran masyarakat serta menjadikan lembaga pendidikan sebagai wahana bagi penanaman ideologi penguasa untuk melanggengkan status quo.
b.Paradigma formisme; dalam paradigma ini, aspek kehidupan dipandang dengan sangat distingtif. Dan satu-satunya kata kunci adalah dikotomi. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan, laki-laki – perempuan, pendidikan formal – non-formal, pendidikan agama – pendidikan umum. Pandangan dikotomis inilah yang menyebabkan terjadinya dualisme dalam pendidikan, sehingga muncullah istilah ilmu agama dan ilmu umum. Keterpisahan secara diametral antara keduanya berakibat pada rendahnya mutu pendidikan dan bertentangan dengan amanat UU pasal 1 No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional yang menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik memiliki moral dan spiritual keagamaan serta memiliki pengetahuan yang komprehensif yang berguna bagi dirinya, masyarakat bangsa dan negara. disebutkan pula dalam pasal diatas bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD RI 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional serta tanggap terhadap kemajuan teknologi dan perkembangan zaman.
c.Paradigma intelektualis; dimana pendidikan lebih menekankan pada aspek kognitif tanpa begitu memperhatikan aspek afektif dan psikomotorik peserta didik. Pendidikan adalah bagaimana siswa mampu menjawab soal-soal buatan yang jauh terlepas dari realitas kehidupan sehari-hari mereka. Pendidikan adalah mampu menjawab soal-soal matematika dengan rumus-rumus yang harus dihafal diluar kepala. Standarisasi kelulusan diukur dengan seberapa besar nilai dari jawaban atas soal-soal ilmu pengetahuan. Sehingga anak didik menjadi robot ilmu pengetahuan tanpa memiliki perasaan dan kebebasan dalam mengeksplorasi bakat dan kompetensi dasar mereka sebagai manusia yang pada hakikatnya berbeda-beda.
d.Paradigma kompetitif; pendidikan sudah kehilangan esensinya sebagai lahan untuk mendidik. Lembaga pendidikan mengajarkan kepada peserta didik bahwa hidup adalah kompetisi. Barang siapa yang unggul dia akan bisa menjadi orang yang berada diatas melebihi orang lain. Kompetisi harus dimenangkan, tak peduli dengan berbagai cara apapun tanpa mempertimbangkan moralitas. Sehingga banyak peserta didik tidak memiliki moralitas dan kering hati nuraninya. Implikasinya, mereka menjadi kompetitor yang menghalalkan segala cara untuk menjadi orang yang paling berkuasa melebihi orang lain. Inilah mungkin yang menyebabkan dan melahirkan budaya KKN dikalangan kaum elite dalam pemerintahan. Mereka adalah output nyata dari pendidikan berparadigma kompetitif.
e.Paradigma mekanistik-prosedural; reformasi pendidikan yang diluncurkan oleh Departeman Pendidikan dan dinas-dinas pendidikan lebih bertumpu pada mekanisme-mekanisme, dan prosedur-prosedur baru, dan cenderung tanpa pemahaman dan penghayatan yang reformasional. Selama ini kebijakan yang diberikan hanya terkait masalah kurikulum, profesinalitas guru dalam memberikan materi pengajaran sesuai dengan silabus yang dipatok oleh pemerintah. Bahwa materi dipisah-pisah secara parsial dan pembagian waktu jam pelajaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan aspek afektif dan psikomotorik siswa. Hal ini dapat dicontohkan dengan bagaimana kemudian jam pelajaran moral dan agama hanya diberikan 2 jam selama seminggu, tak lupa jam kesehatan jasmani juga sama demikian. Lalu kenapa materi pelajaran ekonomi, biologi yang diberikan 4-6 jam selama seminggu lebih berpatokan hanya pada buku diktat dari pemerintah tanpa menyentuh substansi dari materi tersebut dengan melakukan penelitian secara langsung baik itu dipasar, diladang ataupun ditempat-tempat yang begitu akrab dalam kehidupan sehari-hari siswa. Paradigma mekanistik prosedural ini memandang bahwa sekolah adalah tempat proses produksi dijalankan, dimana siswa diberlakukan sebagai raw input.
2.Alternatif Paradigma Baru Pendidikan Nasional
Para pemikir dan pemerhati pendidikan mencoba untuk memberikan sumbangsih pemikiran mereka dalam menawarkan alternatif paradigma baru pendidikan yang semestinya dilakukan/diterapkan bagi masyarakat Indonesia. Diantara sekian banyak tawaran alternatif paradigma baru pendidikan, penulis hanya mampu memberikan sedikit dari beberapa tawaran yang ada, diantaranya adalah:
a.Paradigma baru reformasi pendidikan; sejalan dengan usulan Pestalozzi, tokoh sejarah pendidikan Eropa dan penyantun sejumlah panti yatim piatu, yang sesuai dengan konsep filsafat pendidikan Indonesia bahwa pendidikan ialah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun kecerdasan di sini jangan ditafsirkan sebagai kecerdasan kognitif atau intelektual belaka, tapi kecerdasan manusia yang seutuhnya, kecerdasan total manusia dalam berbagai bidang kehidupannya. Berdasarkan hal ini kita dapat berkata mengenai kehidupan ekonomi bangsa yang cerdas, kehidupan religius bangsa yang cerdas, kehidupan politik bangsa yang cerdas, dan seterusnya. Paradigma reformasi pendidikan berurusan langsung dengan manusia sebagai subjek dan objek reformasi. Sesuai dengan filsafat pendidikan Indonesia yang bertujuan membangun kecerdasan manusia yang seutuhnya, dan filsafat besar lainnya, maka dapat dikatakan bahwa suatu reformasi dikatakan berurusan secara langsung dengan manusia ialah ketika reformasi ditujukan untuk spiritualitas manusia. Spiritualitas adalah unsur fundamental manusia. Di abad mutakhir ini telah muncul kekhawatiran yang amat serius tentang semakin menipisnya rasa kemanusiaan dan hilangnya semangat religius dalam segala aktivitas kehidupan manusia. Konsep pendidikan yang lebih humanistik, yang memandang seluruh potensi (fitrah) manusia secara komprehensif dalam upayanya menyerap seluruh wawasan keilmuan dan dimensi spiritual-etiknya. Pendidikan adalah seluruh proses kehidupan, dan proses kehidupan yang terencana terletak di tangan negara. Dari segi ini negara berperan sebagai the great educator, sebuah istilah yang dipinjam dari Gramsci. Sehubungan dengan hal di atas, agar reformasi lebih berhasil, maka paradigma reformasi hendaknya berlandaskan pada paradigma baru ini. Paradigmaa baru ini lebih bertumpu pada spiritualitas manusia yang hidup dalam bentuk keyakinan, cita-cita dan jiwa setiap individu. Spiritualitas yang lebih merupakan faktor pendorong yang pokok pada suatu perubahan sosial, di samping faktor-faktor lainnya. Peranan yang hendaknya turut dimainkan ketika menyelenggarakan suatu program reformasi sekurang-kurangnya ada dua hal, yaitu sebagai figur teladan dalam cita-cita reformasi dan dinamisator interaksi yang pedagogis (mendidik). Inilah figur pedagog sepanjang zaman. Siapa mereka itu untuk Indonesia saat ini? Hemat penulis, mereka itu hendaknya para aparat pemerintahan mulai dari presiden hingga ke lapisan birokrasi yang berikutnya dan elite sosial lainnya.
b.Paradigma integratif-interkonektif/paradigma pendidikan holistik-dialogis; paradigma ini merupakan alternatif dari anomali paradigma sebelumnya, yakni paradigma dikotomis (formisme). Dimana dalam paradigma formisme, pengembangan ilmu baik itu ilmu agamis-spiritualis ataupun ilmu pengetahuan berbicara dengan bahasanya sendiri-sendiri dan tidak ada komunikasi yang harmonis dan dinamis diantara keduanya. Keilmuan apapun tidak dapat berdiri sendiri. Begitu ilmu pengetahuan tertentu mengklaim dapat berdiri sendiri, merasa dapat menyelesaikan persoalannya sendiri, tidak memerlukan bantuan dan sumbangan dari ilmu lain; maka self sufficiency ini cepat atau lambat akan berubah menjadi narrowmindedness untuk tidak menyebutnya fanatisme partikuralitas disiplin keilmuan. Kerjasama, tegur sapa, saling koreksi dan saling keterhubungan antar disiplin ilmu akan lebih dapat membantu manusia memahami kompleksitas kehidupan yang dijalaninya dan memecahkan persoalan yang dihadapinya. Secara epistemologis, paradigma ini merupakan respon terhadap kesulitan-kesulitan yang dirasakan selama ini, yang diwariskan selama berabad-abad tentang adanya dikotomi pendidikan umum dan agama. Masing-masing berdiri sendiri tanpa merasa perlu adanya saling tegur sapa. Secara aksiologis paradigma ini hendak menawarkan pandangan dunia (world view) manusia beragama dan ilmuwan yang bermoral, yang lebih terbuka, mampu berdialog dan bekerjasama.
c.Paradigma pendidikan demokratis; Pendidikan haruslah memberikan jawaban kepada kebutuhan (needs) masyarakat itu sendiri. Demokrasi pendidikan berarti pendidikan dari, untuk dan oleh rakyat. Pendidikan muncul dan berkembang dari masyarakat, bukan sebagai proyek apalagi perintah dari penguasa yang seringkali sarat dengan kepentingan tertentu. Pendidikan tumbuh dari masyarakat dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat itu sendiri. Dan masyarakat bukanlah obyek pendidikan, tetapi partisipan aktif yang mempunyai peran dalam setiap dinamika pendidikan. Pendidikan demokratis adalah pendidikan yang mengakui hak untuk berbeda ( right to be different). Pendidikan tidak boleh otoriter dan mengandung unsur-unsur doktrinisasi. Proses pendidikan yang otoriter dan doktrinatif hanya akan melahirkan manusia-manusia yang bisu yang takut mengajukan pilihan. Pendidikan demokratis berati pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai kebudayaan lokal dalam kerangka kebudayaan nasional secara komprehensif. Sehingga pendidikan mampu menunjukkan identitas bangsa Indonesia yang majemuk tetapi tetap dalam satu kesatuan; Bhineka Tunggal Ika.
d.Paradigma pendidikan humanis; pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Menjadi manusia bukan sekedar dapat makan untuk hidup, tetapi lebih dari itu menjadi manusia berarti memiliki tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya. Pendidikan humanis adalah proses pendidikan yang membangun karakter kemanusiaan dalam diri manusia, yang menghargai harkat dan martabat manusia lain, yang tidak terlepas dari moral hidup bersama atau moral sosial. Muara pendidikan yang manusiawi adalah mewujudkan pendidikan yang bermakna, yakni suatu sistem pendidikan yang menekankan pada watak (karakter) atau moral dalam sistem nilai dan aktualisasi diri, pada peserta didik. Dan ini berarti meninggalkan sistem pendidikan yang menekankan pada pemupukan pengetahuan atau ”knowledge deposit” (paradigma pendidikan intelektualis). Pendidikan humanis ini memiliki beberapa ciri, yaitu: memandang pendidikan sebagai sebuah sistem organik, bukan mekanik. Tidak memisahkan antara teori dan praksis. Memperlakukan peserta didik bukan sebagai bahan mentah, melainkan sebagai individu yang memiliki bakat dan minat tertentu. Pendidikan adalah proses egaliterian (manusia memiliki derajat yang sama).

D.Kesimpulan
Klasifikasi ideologi pendidikan berdasarkan karakter yang dikandung oleh masing-masing ideologi, antara lain: ideologi fundamentalisme, ideologi intelektualisme, ideologi konservatisme, ideologi liberalisme, ideologi anarkhisme dan ideologi kritis-radikal. Diantara beberapa karakteristik ideologi pendidikan yang disebutkan diatas, bangsa Indonesia belum jelas dalam menganut ideologi pendidikan yang ada atau bahkan belum mampu mengembangkan ideologi negara ini sendiri (ideologi Pancasila) ke dalam dunia pendidikan. Maka Problem solving yang hendak ditawarkan tidak lepas dari perumuskan ideologi Negara (Pancasila) kedalam dunia pendidikan; yakni dengan perwujudan dan pengembangan konsep ideologi pendidikan Pancasila yang sudah dibahas oleh beberapa pakar pendidikan maupun ketatanegaraan. Sehingga kebijakan pendidikan yang dilakukan pemerintah dapat mencapai pada hakikat dan tujuan pendidikan nasional itu sendiri.
Bercermin pada kegagalan paradigma pendidikan dimasa sebelumnya, maka ada beberapa tawaran paradigma baru pendidikan guna mencapai tujuan pendidikan yang di idam-idamkan oleh rakyat Indonesia. Diantara beberapa tawaran yang ada antara lain: paradigma baru reformasi pendidikan; dimana reformasi pendidikan harus mampu menyentuh sisi religiuitas agar reformasi yang diterapkan bisa tepat guna dan tidak kering dari spiritualitas, paradigma integratif-interkonektif/paradigma pendidikan holistik-dialogis; dimana pandangan dikotomis dalam pendidikan harus dibuang jauh-jauh agar terjadi dialog yang dinamis dalam proses pendidikan, paradigma pendidikan demokratis; dimana pendidikan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, serta paradigma pendidikan humanis; pendidikan adalah proses memanusiakan manusia.


DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonektif. Cet. II. Yogyakarta; Pustaka pelajar. 2010.
Arifi, Ahmad. Politik Pendidikan Islam; Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam di Tengah Arus Globalisasi. Yogyakarta; Teras. 2009.
Amnur, Ali Muhdi (Edt). Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional. Yoyakarta; Pustaka Fahima. 2007.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Cet II. Jakarta; Gramedia. 2000.
Freire, Paulo. Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan. (Trjm: Agung Prihantoro & Fuad Arif F.). Cet VI. Yogyakarta; Pustaka Pelajar. 2007.
H.A.R. Tilaar. Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung; Remaja Rosdakarya. 2000.
http://saungwali.wordpress.com/2007/06/05/paradigma-baru-reformasi-pendidikan. Diakses pada tanggal 30 Oktober 2010.
Journal.uny.ac.id/index.php/cp/article/view/334/pdf. Didownload pada tanggal 23 Oktober 2010.
O’neil, William F. Ideologi-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta; Pustaka Pelajar. 2001.
Partanto, Pius A & M. Dahlan. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya; Arkola. 1994.
Rohman, Arif. Politik Ideologi Pendidikan. Yogyakarta; LaksBang Mediatama. 2009.
Susetyo, Benny. Politik Pendidikan Penguasa. Yogyakarta; LKiS. 2005.
Wahono, Francis. Kapitalisme Pendidikan; antara Kompetisi dan Keadilan. Yogyakarata; Pustaka Pelajar, Cinderalas dan Insist Press. 2001.
www.inherent-dikti.net.files.sisdiknas.pdf. Didownload pada tanggal 07 November 2010.
Zamroni. Pendidikan dan Demokrasi dalam Transisi (Prakondisi Menuju Era Globalisasi). Jakarta; PSAP Muhammadiyah. 2007.

Minggu, 07 November 2010

Aliran-Aliran dalam Sejarah Perkembangan Filsafat Ilmu Pengetahuan

A.Latar Belakang
Filsafat dan Ilmu adalah dua kata yang saling berkaitan baik secara substansial maupun historis. Kelahiran suatu ilmu tidak dapat dipisahkan dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh aliran-aliran pemikiran filsafat barat. Tanpa bermaksud untuk mengkonsentrasikan kajian pada pemikiran barat dan mengesampingkan pemikiran diluar barat; meskipun juga akan sedikit dibahas persentuhan pemikiran barat dengan dunia timur tengah (baca; Islam), kajian ini akan lebih banyak mengulas tentang sejarah aliran-aliran pemikiran barat dimulai dari zaman Yunani klasik yang pada akhirnya melahirkan spesialisasi dan sub-spesialisasi ilmu pada abad ke-20.
Semenjak Immanuel Kant yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat; maka semenjak itu pula refleksi filsafat mengenai pengetahuan manusia menjadi menarik perhatian. Dan lahirlah pada abad 18 cabang filsafat yang disebut sebagai filsafat pengetahuan (theory of knowledge atau epistemology). Melalui cabang filsafat ini diterangkan sumber serta tatacara untuk menggunakan sarana dan metode yang sesuai guna mencapai pengetahuan ilmiah. Diselidiki pula evidensi dan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi apa yang disebut kebenaran ilmiah, serta batas batas validitasnya.
Pengetahuan Ilmiah atau Ilmu (Science) pada dasarnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan pengetahuan sehari-hari yang dilanjutkan dengan suatu pemikiran cermat dan seksama dengan menggunakan berbagai metode. Dan karena pengetahuan ilmiah (atau yang biasa disebut-sebut sebagai ilmu) merupakan a higher level of knowledge, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai pengembangan dari filsafat pengetahuan. Bidang garapan filsafat ilmu tidak jauh dari komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga eksistensi pengetahuan ilmiah, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Dan dalam pengembangannya filsafat ilmu juga mengarahkan pandangannya pada strategi pengembangan ilmu yang menyangkut aspek etik dan heuristik. Bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan umat manusia.
Filsafat ilmu sebagai disiplin yang mandiri baru hadir pada tahun 1920-an; dimana sebelumnya pemikiran kefilsafatan tentang ilmu dapat dikatakan lebih merupakan produk sampingan pengembangan epistimologi. Pada mulanya kajian filsafat tentang pengetahuan ilmiah berusaha menjelaskan usur-unsur yang terlibat dalam proses penelitian tentang pengetahuan, yaitu: prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola argument, metode penyajian, analisis, dan seterusnya. Kemudian dalam bentuk kontemporer topik filsafat ilmu berkembang sampai pada analisis dan diskusi eksplisit mengenai cabang-cabang ilmu spesifik yang kedudukannya setara dengan filsafat epistemologi itu sendiri. Dari pada itu kemudian ada istilah tentang filsafat ilmu umum dan filsafat ilmu khusus.
Dari sini tampak bahwa kemandirian filsafat ilmu disebabkan atau didorong oleh perkembangan ilmu, khususnya ilmu-ilmu alam yang sangat cepat dan dampaknya terhadap kehidupan manusia. Perubahan-perubahan kemasyarakatan yang fundamental, meluas dan cepat yang berkaitan erat dengan perkembangan ilmu dan teknologi dalam berbagai bidang telah memunculkan berbagai masalah dan krisis kemasyarakatan dan menyebabkan sejumlah ilmuwan dan filsuf memberikan perhatian khusus terhadap ilmu. Namun sampai saat ini penulis sendiri masih merasakan adanya kekaburan mengenai batas-batas dari cabang ilmu yang satu dengan yang lain, sehingga interdependensi dan interrelasi ilmu menjadi sangat terasa. Oleh karena itu penulis memberi asumsi bahwa dibutuhkan suatu overview untuk meletakkan jaringan interaksi untuk saling menuju hakikat ilmu yang integratif.
Diharapkan dengan menunjukan sketsa umum berbagai gambaran secara garis besar mengenai kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan yang pada gilirannya melahirkan suatu cabang filsafat ilmu, kiranya menjadi jelas bahwa filsafat ilmu adalah refleksi filsafat yang tidak pernah mengenal titik henti dalam menjelajahi kawasan ilmiah untuk mencapai sebuah kebenaran. Hakikat ilmu itu sendiri menjadi penyebab fundamental dan kebenaran universal selalu melekat kepadanya. Maka dengan mengetahui filsafat ilmu berarti akan memahami seluk beluk ilmu yang paling dasar sehingga dapat diupayakan kemungkinan pengembangannya serta mengerti keterjalinan antar ilmu yang satu dengan yang lain.

B.Periode Klasik (Abad Sebelum Masehi)
Para tokoh besarnya antara lain:
Anaximander (± 610-540 SM), Anaximenes (± 585-525 SM), Thales (± 640-546 SM), Pythagoras (572-497 SM), Socrates (± 470-399 SM), Plato (428- 348 SM), Aristoteles (382-322 SM), Marcus Tullius Cicero (106-43 SM)
Pada zaman ini filsafat dan ilmu saling berkelindan menjadi satu dan para filosof (ilmuwan) tidak terlalu pusing untuk memisahkannya menjadi hal yang berlainan. Persoalan-persoalan ilmu berada seputar metode dan substansi yang tidak lepas dari realitas yang biasa disebut filsafat alam (kosmologi). Usaha pertamanya adalah melampaui mitologi-mitologi tradisional menuju penjelasan rasional atas alam. Persoalannya berkisar pada pencarian terhadap entitas-entitas yang dikandung oleh semua benda.
Dimulai dengan tiga filsuf dari kota Miletos yaitu Thales, Anaximander dan Anaximenes. Ketiganya secara khusus menaruh perhatian pada alam dan kejadian-kejadian alamiah, terutama tertarik pada adanya perubahan yang terus menerus di alam. Mereka mengembangkan kosmologi yang mempertanyakan asal mula, sifat dasar dan struktur komposisi dari alam semesta. Thales mengatakan bahwa prinsip itu adalah air, Anaximander menyatakan segala sesuatu berasal dari "yang tak terbatas", dan menurut Anaximenes udara-lah yang merupakan unsur induk segala sesuatu.
Filosof berikutnya adalah Pythagoras. Penemuannya terhadap interval-interval utama dari tangga nada yang diekspresikan dengan perbandingan bilangan-bilangan dan penemuan tentang persamaan besaran sudut segitiga sama sisinya yang terkenal mengungkapkan secara tersirat bahwa segala sesuatu terdiri dari "bilangan-bilangan" dan struktur dasar kenyataan itu adalah "ritme". Pythagoras menyatakan bahwa suatu gejala fisis dikusai oleh hukum matematis. Bahkan katanya segala-galanya adalah bilangan. Pythagoras yang mengajar di Itali Selatan, adalah orang pertama yang menamai diri "filsuf". Ia memimpin suatu sekolah filsafat dan sekolah Pythagoras ini sangat penting untuk perkembangan matematika dikemudian hari.
Pada jaman Pythagoras ada Herakleitos yang menyatakan bahwa api sebagai dasar segala sesuatu. Api adalah lambang perubahan, karena api menyebabkan kayu atau bahan apa saja berubah menjadi abu sementara apinya sendiri tetap menjadi api. Herakleitos juga berpandangan bahwa di dalam dunia alamiah tidak sesuatupun yang tetap. Segala sesuatu yang ada sedang menjadi. Pernyataannya yang masyhur "Pantarhei kai uden menei" yang artinya semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tetap. Kemudian ada filosof yang disebut-sebut sebagai peletak dasar metafisika, yakni Parmenides. Parmenides berpendapat bahwa yang ada itu ada, yang tidak ada itu tidak ada. Konsekuensi dari pernyataan ini adalah yang ada 1) satu dan tidak terbagi, 2) kekal, tidak mungkin ada perubahan, 3) sempurna, tidak bisa ditambah atau diambil darinya, 4) mengisi segala tempat, akibatnya tidak mungkin ada perubahan sebagaimana klaim Herakleitos.
Para filsuf tersebut dikenal sebagai filsuf Monisme yaitu pendirian bahwa realitas seluruhnya bersifat satu karena terdiri dari satu unsur saja. Adapun para filsuf yang akan disebutkan berikut ini dikenal sebagai filsuf Pluralis, karena pandangannya yang menyatakan bahwa realitas terdiri dari banyak unsur. Empedokles menyatakan bahwa realitas terdiri dari empat rizomata (akar) yaitu api, udara, tanah dan air. Perubahan-perubahan yang terjadi di alam dikendalikan oleh dua prinsip yaitu cinta (Philotes) dan benci (Neikos). Pluralis yang berikutnya adalah Anaxagoras, yang mengatakan bahwa realitas adalah terdiri dari sejumlah tak terhingga spermata (benih). Berbeda dari Empedokles yang mengatakan bahwa setiap unsur hanya memiliki kualitasnya sendiri seperti api adalah panas dan air adalah basah, Anaxagoras mengatakan bahwa segalanya terdapat dalam segalanya. Karena itu rambut dan kuku bisa tumbuh dari daging. Perubahan yang membuat benih-benih menjadi kosmos hanya berupa satu prinsip yaitu Nus yang berarti roh atau rasio. Nus tidak tercampur dalam benih-benih dan Nus mengenal serta mengusai segala sesuatu. Karena itu, Anaxagoras dikatakan sebagai filsuf pertama yang membedakan antara "ruhani" dan "jasmani". Pluralis selanjutnya adalah Epikuros, Leukippos dan Demokritos yang juga disebut sebagai filsuf Atomis. Atomisme mengatakan bahwa realitas terdiri dari banyak unsur yang tak dapat dibagi-bagi lagi, karenanya unsur-unsur terakhir ini disebut atomos. Jumlah atom tidak berhingga dan tidak mempunyai kualitas, sebagaimana pandangan Parmenides bahwa atom-atom tidak dijadikan dan kekal. Tetapi Leukippos dan Demokritos menerima pemikiran tentang ruang kosong sehingga memungkinkan adanya gerak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa realitas seluruhnya terdiri dari dua hal: yang penuh dengan atom-atom dan yang kosong. Menurut Demokritos jiwa juga terdiri dari atom-atom. Menurutnya proses pengenalan manusia tidak lain sebagai interaksi antar atom. Setiap benda mengeluarkan eidola (gambaran-gambaran kecil yang terdiri dari atom-atom dan berbentuk sama seperti benda itu). Eidola ini masuk ke dalam panca indra dan disalurkan kedalam jiwa yang juga terdiri dari atom-atom eidola. Atom jiwa bersentuhan dengan atom licin menyebabkan rasa manis, persentuhan dengan atom kesat menimbulkan rasa pahit sedangkan sentuhan dengan atom berkecepatan tinggi menyebabkan rasa panas, dan seterusnya.
Kajian Filsafat diteruskan oleh Socrates. Filsafat dalam periode ini ditandai oleh ajarannya yang "membumi" dibandingkan ajaran-ajaran filsuf sebelumnya. Maksudnya, filsuf pra-Socrates mengkonsentrasikan diri pada persoalan alam semesta sedangkan Socrates mengarahkan obyek penelitiannya pada manusia di atas bumi. Socrates memulai filsafatnya dengan bertitik tolak dari pengalaman keseharian dan kehidupan kongkret. Menurut Socrates tidak benar bahwa yang baik itu baik bagi warga negara Athena dan lain lagi bagi warga negara Sparta. Yang baik mempunyai nilai yang sama bagi semua manusia, dan harus dijunjung tinggi oleh semua orang. Pendiriannnya yang terkenal adalah pandangannya yang menyatakan bahwa keutamaan (arete) adalah pengetahuan, pandangan ini kadang-kadang disebut Intelektualisme etis. Dengan demikian Socrates menciptakan suatu etika yang berlaku bagi semua manusia. Sedangkan dalam perkembangan ilmu pengetahuan Socrates menemukan metode induksi dan memperkenalkan definisi-definisi umum.
Lalu ada muridnya yang bernama Plato. Hampir semua karya Plato ditulis dalam bentuk dialog dan Socrates diberi peran yang dominan dalam dialog tersebut. Sekurang-kurangnya ada dua alasan mengapa Plato memilih yang begitu. Pertama, sifat karyanya Socratik – Socrates berperan sentral – dan diketahui bahwa Socrates tidak mengajar tetapi mengadakan tanya jawab dengan teman-temannya di Athena. Dengan demikian, karya Plato dapat dipandang sebagai monumen bagi sang guru yang dikaguminya. Kedua, berkaitan dengan anggapan Plato mengenai filsafat. Menurutnya, filsafat pada intinya tidak lain daripada dialog, dan filsafat seolah-olah drama yang hidup, yang tidak pernah selasai tetapi harus dimulai kembali.
Ada tiga ajaran pokok dari Plato yaitu tentang idea, jiwa dan metode pengetahuan. Menurut Plato realitas terbagi menjadi dua yaitu inderawi yang selalu berubah dan dunia idea yang tidak pernah berubah. Idea merupakan sesuatu yang obyektif, tidak diciptakan oleh pikiran dan justru sebaliknya pikiran tergantung pada idea-idea tersebut. Idea-idea berhubungan dengan dunia melalui tiga cara; Idea hadir di dalam benda, idea-idea berpartisipasi dalam kongkret, dan idea merupakan model atau contoh (paradigma) bagi benda konkret. Pembagian dunia ini pada gilirannya juga memberikam dua pengenalan. Pertama, pengenalan tentang idea; inilah pengenalan yang sebenarnya. Pengenalan yang dapat dicapai oleh rasio ini disebut episteme (pengetahuan) dan bersifat, teguh, jelas, dan tidak berubah. Dengan demikian Plato menolak relatifisme kaum sofis. Kedua, pengenalan tentang benda-benda disebut doxa (pendapat), dan bersifat tidak tetap dan tidak pasti; pengenalan ini dapat dicapai dengan panca indera. Dengan dua dunianya ini juga Plato bisa mendamaikan persoalan besar filsafat Pra-socratik yaitu pandangan pantarhei-nya Herakleitos dan pandangan yang ada-ada-nya Parmenides. Keduanya benar, dunia inderawi memang selalu berubah sedangkan dunia idea tidak pernah berubah dan abadi. Tentang jiwa Plato berpendapat bahwa jiwa itu baka, lantaran terdapat kesamaan antara jiwa dan idea. Lebih lanjut dikatakan bahwa jiwa sudah ada sebelum hidup di bumi. Sebelum bersatu dengan badan, jiwa sudah mengalami pra eksistensi dimana ia memandang idea-idea. Berdasarkan pandangannya ini, Plato lebih lanjut berteori bahwa pengenalan pada dasarnya tidak lain adalah pengingatan (anamnenis) terhadap idea-idea yang telah dilihat pada waktu pra-eksistensi. Dunia yang kelihatan, menurut Plato, hanya merupakan bayangan dari dunia yang sungguh-sungguh, yaitu dunia ide-ide yang abadi. Jiwa manusia berasal dari dunia ide-ide. Jiwa di dunia ini terkurung di dalam tubuh. Keadaan ini berarti keterasingan. Jiwa kita rindu untuk kembali ke "surga ide-ide".
Filsafat Plato, yang lebih bersifat khayal daripada suatu sistem pengetahuan, sangat dalam dan sangat luas dan meliputi logika, epistemolgi, antropologi, teologi, etika, politik, ontologi, filsafat alam dan estetika.
Plato juga membuat uraian tentang negara. Tetapi jasanya terbesar adalah usahanya membuka sekolah yang bertujuan ilmiah. Sekolahnya diberi nama "Akademia" yang paling didedikasikan kepada pahlawan yang bernama Akademos. Mata pelajaran yang paling diperhatikan adalah ilmu pasti. Menurut cerita tradisi, di pintu masuk akademia terdapat tulisan; "yang belum mempelajari geometri janganlah masuk di sini".
Tradisi estafet filsafat kemudian diteruskan oleh Aristoteles, yang merupakan murid dari Plato sendiri. Spektrum pengetahuan yang diminati oleh Aristoteles luas sekali, menurutnya pengetahuan manusia dapat disistemasikan sebagai berikut; pengetahuan teoritis, praktis, produktif, teologi/metafisik, matematik, fisika, etika, politik, seni, ilmu ukur dan retorika. Aristoteles berpendapat bahwa logika tidak termasuk ilmu pengetahuan tersendiri, tetapi mendahului ilmu pengetahuan sebagai persiapan berfikir secara ilmiah. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, logika diuraikan secara sistematis. Mengenai pengetahuan, Aristoteles mengatakan bahwa pengetahuan dapat dihasilkan melalui jalan induksi dan deduksi, Induksi mengandalkan panca indera yang "lemah", sedangkan deduksi lepas dari pengetahuan inderawi. Karena itu dalam logikanya Aristoteles sangat banyak memberi tempat pada deduksi yang dipandangnya sebagai jalan sempurna menuju pengetahuan baru. Salah satu cara Aristoteles mempraktekkan deduksi adalah Syllogismos (silogosme).
Didalam fisikanya, Aristoteles mempelajari dan membagi gerak (kinetis) menjadi dua; gerak spontan dan gerak aksidental. Gerak spontan yang diartikan sebagai perubahan secara umum dikelompokkan menjadi gerak subsitusional yakni sesuatu menjadi sesuatu yang lain seperti seekor anjing mati dan gerak aksidental yakni perubahan yang menyangkut salah satu aspek saja. Gerak aksidental ini berlangsung melalui tiga cara; yaitu gerak lokal seperti meja pindah dari satu tempat ke tempat lain, gerak kualitatif seperti daun hijau menjadi kuning, dan gerak kuantitatif seperti pohon tumbuh membesar. Dalam setiap gerak ada 1) keadaan terdahulu, 2) keadaan baru, dan 3) substratum yang tetap. Sebagai contoh air dingin menjadi panas; dengan dingin sebagai keadaan terlebih dahulu, panas sebagai keadaan baru dan air sebagai substratum. Analisa gerak ini menuntut kita membedakan antara aktus dan potensi. Dalam fase pertama panas menjadi potensi air dan pada fase kedua panas menjadi aktus. Aristoteles juga mengintrodusir pengertian bentuk (morphe atau eidos) dan materi (hyle) ke dalam analisa geraknya. Dalam contoh air dingin menjadi panas, air sebagai hyle dan dingin serta panas sebagai morphe. Aristoteles mengatakan alam yang tidak hidup terdiri dari empat anasir api, udara, air dan tanah; dan bahwa setiap anasir menuju ketempat kodratinya (locus naturalis). Berkaitan dengan jagat raya Aristoteles mengatakan bahwa kosmos terdiri dari dua wilayah yaitu wilayah sublunar (di bawah bulan) dan wilayah yang meliputi bulan, planet-planet dan bintang-bintang. Jagat raya berbentuk bola dan terbatas, tetapi tidak mempunyai permulaan dan kekal. Badan-badan jagat raya diluar bumi semua terdiri dari anasir kelima yaitu ether yang tidak dapat dimusnahkan dan tidak dapat berubah menjadi anasir lain. Gerak kodrati anasir ini adalah melingkar.
Pandangan psikologi Aristoteles adalah bahwa jiwa dan badan dipandang sebagai dua aspek dari satu substansi. Badan adalah materi dan jiwa dalam bentuk dan masing-masing berperan sebagai potensi dan aktus. Pada manusia, jiwa dan tumbuh merupakan dua aspek dari substansi yang sama yakni manusia. Anggapan ini mempunyai konsekuensi bahwa jiwa tidak kekal karena jiwa tidak dapat hidup tanpa materi. Potensi dan aktus juga mempunyai bentuk dalam pengenalan inderawi. Pengenalan inderawi tidak lain adalah peralihan dari potensi (yakni dari aktus obyek) ke aktus organ tubuh. Sebagaimana proses pengenalan inderawi dalam pengenalan rasional bentuk tepatnya bentuk intelektual diterima oleh rasio. Bentuk intelektual ialah bentuk hakikat atau esensi suatu benda. Fungsi rasio dibagi menjadi dua macam yaitu rasio pasif (nus pathetikos) yang menerima esensi dan rasio aktif (nus poitikos) yang "membentuk" esensi.
Ta meta ta physica berarti hal-hal sesudah hak-hal fisis. Di dalam Metaphysica-nya Aristoteles membahas Penggerak Utama. Gerak utama di jagat raya tidak mempunyai permulaan maupun penghabisan. Karena setiap sesuatu yang bergerak, digerakkan oleh sesuatu yang lain perlulah menerima satu Penggerak Pertama yang menyebabkan gerak itu, tetapi ia sendiri tidak digerakkan. Penggerak ini sama sekali lepas dari materi, karena segalanya yang mempunyai materi mempunyai potensi untuk bergerak.
Dalam filsafat, Aristoteles disebut sebagai tokoh madzhab Peripatis (peripatos, berjalan-jalan) yang menyadarkan diri pada deduksi untuk memperoleh kebijaksanaan. Sedangkan gurunya, Plato merupakan tokoh madzhab Illuminasionis yang juga mengandalkan jalan hati, asketisme dan penyucian jiwa dalam menyingkap realitas. Filsafat Aristoteles sangat sistematis. Sumbangannya kepada perkembangan ilmu pengetahuan besar sekali. Tulisan-tulisan Aristoteles meliputi bidang logika, etika, politik, metafisika, psikologi dan ilmu alam.
Ada satu tokoh lagi yang tidak boleh ditinggalkan, yakni Marcus Tullius Cicero. Sebagaimana yang sudah diketahui, ia adalah seorang filsuf dari Romawi yang terkemuka dari aliran Stoicisme. Aliran yang didirikan oleh Zeno dari Citium. Dimana beberapa pandangan menurut kaum Stoicisme, yakni. Pertama, dalam hal logika mereka menekankan kalkulus proposional dan menurunkan kaitan-kaitan logis dari akal sendiri oleh semacam keniscayaan logis. Kedua, epistemologi Stoicisme memberikan sumbangsih ungkapan “pandangan umum” kepada filsafat. Mereka berpandangan bahwa semua manusia mempunyai sekumpulan ide yang umum. Ide-ide itu berperan dalam synkatathesis (penerimaan proporsi-proporsi kebenaran). Ketiga, dalam fisika mereka menekankan hakikat jasmani semua benda dan memandang dunia sebagai sesuatu yang dapat ditentukan.

C.Periode Mediaeval (Abad tengah)
Para tokoh besarnya antara lain:
Plotinos (205-270), al-Kindi (801-866), al-Farabi (870-950), Ibn Sina (980-1037), Ibn Rushd (1126-1198), Maimonides (1135-1204), Thomas Aquinas (1225-1274), Bonaventura (1217-1274), Albertus Magnus (1220-1280), Yohanes Duns Scotus (1266-1308).
Seorang filsuf Mesir, Plotinos mengajarkan suatu filsafat yang sebagian besar berdasarkan pada ajaran Plato dan yang kelihatan sebagai suatu agama. Neo-platonisme ini mengatakan bahwa seluruh kenyataan merupakan suatu proses "emanasi" (penampakan) yang berasal dari Yang Esa dan yang kembali ke Yang Esa. Berkat "eros": kerinduan untuk kembali ke asal ilahi menjadi tujuan dari segala sesuatu. Ajaran falsafi-teologis dari Bapa-bapa Gereja menunjukkan pengaruh Plotinos. Mereka berusaha untuk memperlihatkan bahwa iman sesuai dengan pikiran-pikiran paling dalam dari manusia. Mereka berhasil membela ajaran kristiani terhadap tuduhan dari pemikir-pemikir kafir.
Sekitar tahun 1000 Masehi peranan Plotinos diambil alih oleh penganut Aristoteles. Pertemuan pemikiran Aristoteles dengan iman Kristiani menghasilkan banyak filsuf penting, diantaranya Thomas Aquinas, Bonaventura, Albertus Magnus, Yohanes Duns Scotus. Mereka sebagian besar berasal dari kedua ordo baru yang lahir dalam Abad Pertengahan, yaitu para Dominikan dan Fransiskan. Filsafat mereka disebut Skolastik (dari kata Latin scholasticus, "guru"). Dalam periode ini filsafat diajarkan dalam sekolah-sekolah biara dan universitas-universitas menurut suatu kurikulum yang tetap dan yang bersifat internasional. Tema-tema pokok dari ajaran mereka itu: hubungan iman-akal budi, adanya dan hakikat Tuhan, antropologi, etika dan politik.
Di Timur Tengah sendiri, pada masa ini paham-paham Aristoteles menjadi masyhur kembali melalui beberapa filsuf Islam dan Yahudi, diantaranya Avicena, Averroes dan Maimonides. Tokoh filsafat Muslim yang pertama dikenal adalah al-Kindi. Pandangannya meliputi metode logika untuk mencari kebenaran, matematika dan fisika. Kemudian disusul al-Farabi yang mengeksplorasi ilmu geometri dan mekanika sekaligus ia seorang musikus yang besar. Adapun Ibn Shina dikenal sebagai peletak dasar kaidah kedokteran dengan kitabnya yang berjudul Qanun fi al-Thibb. Beliau juga mengarang kitab as-Syifa yang berisi tentang matematika, metafisika, fisika, psikologi, zoology, geologi, botani, ilmu astronomi dan music. Sedangkan Ibn Rusyd dikenal sebagai lewat komentarnya atas karya-karya Aristoteles.

D.Abad ke-17 sampai Abad ke-19
Para tokoh besarnya diantara lain:
Nicolaus Copernicus (1473-1543), Johannes Keppler (1571-1630), Galileo Galilei (1564-1642), Francis Bacon (1562-1626), René Descartes (1596-1650), Blaise Pascal (1623-1662), Benedictus de Spinoza (1632-1677), Gottfried Wilhelm Leibnez (1646-1716), John Locke (1632-1704), Isaac Newton (1642-1727), George Berkeley (1685-1753), Christian Wolff (1679-1754), David Hume (1711-1776), Immanuel Kant (1724-1804), Auguste Comte (1798-1857), George Friedrich Wilhelm Hegel (1770-1831), George Boole (1815-1864), Augustus De Morgan (1806-1871), Herbert Spencer (1820-1903), Henry Sidgwick (1838-1900), Karl Marx (1818-1883)
Pembaharuan yang kelihatan dalam filsafat Renaissance dan Aufkleraung adalah bahwa ilmu pengetahuan tidak berlandaskan pada “hukum Tuhan”, seperti dalam Abad Pertengahan, melainkan pada penalaran dari manusia itu sendiri untuk mengungkapkan kebenaran. Mulai sekarang manusia-lah yang dianggap sebagai titik fokus dari kenyataan. Filsuf-filsuf ini menekankan kemungkinan-kemungkinan akal budi ("ratio") manusia. Para filsuf mencoba melepaskan diri dari cengkraman gereja, sehingga kemudian dikenal istilah sekuralisasi pengetahuan. Tokoh awalnya adalah Copernicus yang mengintrodusir dalil bahwa bumi bukan pusat dari alam semesta, bukan seperti yang dikemukakan Ptolomeus dimana bumi adalah pusat jagad raya (geosentis) yang diperkuat oleh gereja. Teori Copernicus ini melahirkan revolusi pemikiran tentang ilmu astronomi. Kemudian muncul Keppler yang mengemukakan hukum astronomi bahwa orbit dari semua planet berbentuk elips. Pendapat ini diperkuat dengan pembuktian Galileo, dimana ia menyatakan bahwa pusat jagad raya adalah matahari (heliosentris). Dan bumi mengalami dua gerak (rotasi); yakni bergerak pada porosnya dan bergerak mengelilingi matahari. Ada juga Pascal yang menyusun dasar-dasar perhitungan statistic. Kemudian Newton yang melahirkan teori grafitasi, perhitungan calculus dan sistem kerja optik.
Adalah Francis Bacon yang menjadi perintis filsafat ilmu pengetahuan dengan ungkapannya yang terkenal “knowledge is power”. Pada abad ini perdebatan tentang filsafat ilmu tidak lepas dari perdebatan dalam ilmu itu sendiri. Bacon dengan metode induksi yang memandang dalam menghasilkan ilmu pengetahuan para ilmuwan harus menghasilkan penyebutan yang seksama terhadap fenomena empiris yang diselidiki sebagai pendahuluan untuk mengidentifikasi “bentuk” obyek yang ingin dijelaskan. Berbeda dengan Descrates yang terfokus pada persoalan penyusunan sistem-sistem deduktif yang serba koheren dan konsisten dalam teori pengetahuan. Pada abad ini berbagai aliran filsafat muncul. Adapun paham-paham yang muncul secara garis besar adalah Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme, Idealisme, Positivisme dan Marxisme.
Pertama, aliran Rasionalisme mengajarkan bahwa akal (rasio) adalah alat terpenting untuk memperoleh dan menguji ilmu pengetahuan. Tokoh penting dalam aliran ini adalah Descrates, Spinoza, Leibniz dan Wolff.
Kedua, aliran Empirisme menyatakan bahwa tidak ada sesuatu dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman. Aliran ini secara tegas menolak pandangan paham Rasionalisme yang berdasarkan pada kepastian yang bersifat apriori. Pelopor aliran ini adalah Francis Bacon, kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes, Jhon Locke, George Berkeley dan David Hume.
Ketiga, aliran Kritisisme dari seorang filsuf Jerman yang bernama Immanuel Kant. Aliran ini berusaha menjembantani pandangan-padangan yang saling bertentangan antara Rasionalisme dan Empirisme. Menurut Kant, pengetahuan merupakan hasil terakhir yang diperoleh dengan adanya kerjasama antara dua komponen, yaitu bahan-bahan yang bersifat pengalaman indrawi disatu pihak dengan pengolahan kesan-kesan yang bersangkutan sehingga terdapat suatu hubungan sebab akibat dalam kerangka pikir (rasio) dipihak lain. Kant mengemukakan bahwa pengetahuan harusnya sintesis a priori, yakni pengetahuan harus bersumber dari rasio dan empiris dan sekaligus bersifat apriori dan aposteriori.
Keempat, Idealisme yang bermula pada pemikiran Idealismenya Plato. Diawali dengan Idealisme Subjektifnya Fitche dan Idealisme Objektifnya Scelling. Kemudian keduanya disintesiskan dalam filsafat Idealisme mutlaknya Hegel. Namun demikian pada dasarnya sumber filsafat aliran ini adalah mengikuti filsafat Kritisismenya Kant.
Kelima, Positivisme yakni sistem filsafat yang dikembangkan oleh Auguste Comte, seorang matematikus dan filsuf dari Prancis, yang mengakui bahwa sumber pengetahuan berasal dari fakta-fakta positif dari fenomena-fenomena yang bisa diobservasi. Filsafat Positivisme ini juga disebut dengan Empirisme-kritis. Dan dari filsafat ini dikemudian hari lahirlah bidang ilmu sosiologi.
Keenam, Marxisme yang didirikan oleh Karl Marx atas perpaduan antara metode dealektika Hegel dan filsafat Materialisme Feuerbach. Pemikiran Marx bertalian sangat erat dengan sistem sosial dan ekonomi. Bagi Marx masalah filsafat bukan hanya sebatas masalah ilmu pengetahuan, melainkan juga masalah tindakan. Para filosof selama ini hanya sekedar menafsirkan dunia dengan berbagai cara, namun luput untuk berusaha mengubahnya. Filsafat ini juga yang melatari adanya revolusi industri di Eropa dan ideologi-ideologi besar di dunia.

E.Perbincangan Abad ke-20
Para tokohnya diantara lain:
William James (1842-1910), Wilhelm Windelband (1848-1915), Friedrich Ludwig Gottlob Frege (1848-1925), Miguel De Unamuno Y Jugo (1864 - 1936), Moritz Schlick (1882-1936), Sigmund Freud (1856-1939), Alfred North Whitehead (1861-1947), Jhon Dewey (1859-1952), George Edward Moore (1873-1958), Bertrand Arthur William Russell (1872-1970), Jacques Maritain (1882-1973), Jean Paul Sartre (1905-1980), Michel Foucault (1926-1984), Francois Lyotard (1924-1998), Jacques Derrida (1930-2004)
Pada abad ini perkembangan ilmu pengetahuan ditandai dengan munculnya berbagai aliran filsafat, yang kebanyakan dari aliran-aliran itu merupakan kelanjutan dari aliran pada abad sebelumnya. Diantaranya: Neo-thomisme, Neo-kantianisme, Neo-hegelianisme, Neo-Marxisme, Neo-Positivisme dan sebagainya. Dan ada juga aliran yang baru dengan corak yang sama sekali berbeda dengan aliran sebelumnya, diantaranya: Analitisme, Eksistensialisme, Strukturalisme, Pragmatisme dan Postmodernisme. Akan lebih menarik apabila penjelasan kajian dan perbincangan ilmu pada masa ini difokuskan hanya kepada beberapa aliran yang masih berkembang hingga dewasa ini.
Pertama, Filsafat Analitis merupakan aliran terpenting di Inggris dan Amerika Serikat, sejak sekitar tahun 1950. Filsafat Analitis (yang juga disebut Analitic Philosophy dan Linguistic Philosophy) menyibukkan diri dengan analisis bahasa dan analisis konsep-konsep. Filsafat analitis ini sangat dipengaruhi oleh Wittgenstein dan Bertrand Russell. Wittgenstein mengungkapkan bahwa apa yang dihasilkan oleh sebuah karya filsafat bukan melulu sederetan ungkapan filsafati, melainkan upaya membuat ungkapan-ungkapan menjadi jelas. Tujuan filsafat adalah penjelasan logis terhadap pemikiran; filsafat bukan doktrin melainkan aktifitas. Dengan demikian jelaslah bahwa para filsuf Analitik ini memberi respons atas aliran Idealisme yang lebih menekankan pada upaya pengintrodusiran ungkapan-ungkapan filsafat yang kebanyakan bermakna ganda, kabur dan tidak terpahami oleh nalar.
Kedua, Eksistensialisme mengajukan protes dan pemberontakan terhadap Rasionalisme dan Idealisme Hegel. Aliran ini menekankan pada peran individu dan menolak dengan tegas alam impersonal (tanpa kepribadian) yang dihasilkan dari zaman industri modern. Salah seorang tokoh aliran ini adalah Jean Paul Sartre yang membedakan rasio dialektis dan rasio analitis. Kedua rasio ini harus dijalankan dalam mengungkapkan ilmu pengetahuan.
Ketiga, Strukturalisme berkembang di Perancis, lebih-lebih sejak tahun 1960. Strukturalisme berawal dari suatu sekolah pemikiran dalam bidang filsafat, linguistik, psikiatri, fenomenologi agama, ekonomi dan politikologi. Sturukturalisme menyelidiki "patterns" (pola-pola dasar yang tetap) dalam bahasa-bahasa, agama-agama, sistem-sistem ekonomi dan politik, dan dalam karya-karya kesusasteraan. Tokoh-tokoh terkenal dari Strukturalisme antara lain Cl. Lévi-Strauss, J. Lacan dan Michel Foucault.
Keempat, Pragmatisme merupakan gerakan filsafat dari Amerika. Pragmatisme dikenal juga dengan sebutan Instrumentalisme. Aliran ini menerapkan suatu sikap dalam berfilsafat dengan memakai akibat-akibat praktis dari pikiran unutk memberikan tolak ukur terhadap nilai kebenaran suatu ilmu pengetahuan dalam kehidupan. Tokoh dari aliran ini adalah William James dan Jhon Dewey.
Kelima, Postmodernisme atau dikenal dengan nama lain Post-strukturalisme lahir sebagai reaksi terhadap kegagalan modernisme. Klaim-klaim dari kaum Postmodernisme tentang “berakhirnya modernisme” dimaksudkan untuk menunjukkan berakhirnya anggapan modern tentang “dunia subyek” dan “dunia obyektif”. Tokohnya yakni Lyotard dan Derrida yang ingin mendobrak tatanan modenitas telah terjebak dalam mitos bahwa ilmu pengetahuan dan aplikasinya dalam teknologi telah mampu menyelesaikan persoalan kemanusiaan. Padahal dalam tataran realitasnya, banyak persoalan kemanusiaan yang muncul sebagai dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

E.Kesimpulan
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa perkembangan historis dari aliran-aliran ilmu pengetahuan adalah sebagai berikut:
a.Masa Klasik
Pada masa ini pemikiran ilmu pengetahuan lebih didominasi oleh karakteristik kosmosentris. Terjadi silang pendapat yang saling bertentangan dari aliran-aliran kaum Stoic dan Epicurus serta paham-paham Plato dan Aristoteles.
b.Abad Pertengahan
Pada masa ini pemikiran ilmu pengetahuan lebih didominasi oleh karakteristik teosentris. Pada periode ini ilmu pengetahuan berpihak penuh pada otoritas agama (yang dalam hal ini bisa direpresentasikan oleh gereja dalam tradisi kristen); dimana ilmu pengetahuan berada dibawah pengawasan institusi gereja. Pengajaran imu-ilmu pengetahuan dilaksanakan digereja-gereja. Bukan hanya di barat, di dunia timur tengah (yang notabenenya merupakan daerah kekuasaan umat Islam), permasalahan ilmu pengetahuan juga diwarnai dengan perbincangan para penganut Plato dan aristoteles.
c.Abad XVII- XIX
Pada masa ini Pada masa ini pemikiran ilmu pengetahuan lebih didominasi oleh karakteristik antroposentris. Perbincangan tentang pencarian kebenaran lebih mengarah mengenai metodologi ilmiah yakni dengan hampiran induktif dari Francis Bacon dan hampiran deduktif dari René Descartes. Pada periode ini melimpah aliran-aliran pencarian sumber pengetahuan ilmiah, dimulai dari kaum rasionalis dan kaum empiris disusul Kritisisme serta Idealismenya pengembangan Kantians melalui pengenalan metode kritis dalam filsafatnya, lalu kaum Positivis dan terakhir paham Marxisme.
d.Abad XX
Pada masa ini pemikiran ilmu pengetahuan lebih didominasi oleh karakteristik logosentris. Babak dimulainya tanggapan-tanggapan terhadap relativitas, mekanika kuantum dan perubahan mendalam lainnya dalam ilmu-ilmu kealaman. Serta timbulnya berbagai aliran filsafat; baik sebagai tanggapan atas paham aliran sebelumnya ataupun dengan corak pemikiran yang sama sekali baru.


DAFTAR PUSTAKA
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Cet II. Jakarta; Gramedia. 2000.
Bakhtiar Amsal. Filsafat Ilmu. Cet II. Jakarta; Raja Grafino Persada. 2005.
Gie, The Liang. Pengantar Filsafat Ilmu. Cet VIII. Yogyakarta; Liberty. 2010.
Muntasyir, Rizal & Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Cet IX. Yogyakarta; Pustaka Pelajar. 2009.
Muslehuddin, Muhammad. Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis. (Pent: Yudian W. Asmin). 1991. Yogyakarta; Tiara Wacana.
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Cet IV. Jakarta; Gaya Media Pratama. 2005.
Ravertz, Jerome R. The Philosophy of Science. (Pent: Saut Pasaribu). Cet IV. Yogyakarta; Pustaka Pelajar. 2009.
Siswanto, Joko. Sistem-sistem Metafisika Dunia Barat: Dari Aristoteles sampai Derrida. Yogyakarta; Pustaka Pelajar. 1998.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fak. Filsafat UGM. Filsafat Ilmu. Cet V. Yogyakarta; Liberty. 2010.
http://kuliahfilsafat.blogspot.com/2009/04/sejarah-filsafat-klasik-filsafat-yunani.html