welcome to the free zone...your expression is amazing...

Rabu, 24 Juni 2009

Malam

Malam…masihkah tersisa ego diri
jikalau kemauan sudah terkontaminasi?
Pagi…adakah ketenangan diri
jika waktu berjalan penuh emosi?
Siang…sempatkah istirahatkan hati
jika terik menantang nurani?
Sore…adakah tambatan hati
jika sudah saatnya tuk ucapkan pergi?
Teman…sampai disini kata terhenti,
Tinggallah sepi yang menemani
Sobat…cukupkah romantika selesai disini,
Mengiringi kepergian yang melukai
Bisik kenangan indah yang pernah bersemi…
Mantapkan langkah tuk tetap teruskan hari…
Terimakasihku pada waktu yang telah
mengajariku akan etika dan harga diri,
tentang rasa dan kemunafikan diri.
Meski lelah menyelimuti namun impian
mencoba tetap mengobati
Meski perih tak tertahan lagi namun cinta
tetap setia menemani
Menjelang pagi…
Menunggu mati…
Dan yang tertinggal hanya jejak kaki dari
perjalanan kisah ironi.

Kamis, 18 Juni 2009

Fleksibilitas dalam beragama

A. Konteks Kajian
Islam bukanlah agama yang kolot dan tertutup seperti yang banyak
dibicarakan orang barat. Tanggapan yang sinisisme pada Islam hanya akan
menyebabkan persepsi yang salah dan pandangan yang terlalu sempit dalam
memahami Islam itu sendiri. Padahal dalam Islam, ajaran yang ada sangat pluralis
dan beragam. Sampai saat ini kita telah mengenal Islam Madzhab Syafi’i, Hanafi,
Hanbali, Maliki dan lain sebagainya.
Dari beragam perbedaan aliran yang ada bukan berarti Islam kemudian
terpecah belah dan bersifat eksklusif – dari golongan satu kepada golongan yang
lainnya. Justru dari sini Islam tampil sebagai agama yang fleksibel yang
memudahkan umatnya untuk menjalankan syari’atnya. Hal ini direpresentasikan
dengan beragamnya aliran – madzhab – yang ada, karena memang Islam selalu
bisa di-konteks-kan dengan adat dan kultur masyarakat yang pasti berbeda.
Dalam tataran hukum syari’at, Islam sangat melonggarkan dan
memudahkan umatnya. Ajaran yang terpecah menjadi madzhab-madzhab ini
kemudian memberikan banyak pilihan kepada umat Muslim untuk bisa
menjalankan syari’at secara fleksibel tanpa menanggalkan konsitensinya. Maka
dikenal istilah “talfiq” – berpindah madzhab –, demi memudahkan umat dalam
menjalankan syari’at.

B. Islam dan Fleksibelitasnya
Islam adalah agama Rahmatan Lil Alamin. Slogan ini bukan sekedar
isapan jempol saja. Fleksibelitas ajaran Islam tidak bisa disangkal lagi.
Banyaknya aliran dan madzhab yang melingkupi perjalanan sejarah agama
samawi ini menjadi bukti konkret bahwa ajaran yang dibawa Nabi besar, Nabi
Muhammad SAW selalu bisa dikontekskan dengan keadaan dan situasi dimana
ajaran tersebut dilaksanakan.
Meskipun bila kita menilik kisah sejarah perjalanan agama Islam banyak
diisi dengan perdebatan, pemberontakan, pembunuhan dan pengkafiran; namun
hal itu tidak kemudian memberikan stigma bahwa agama ini lebih erat
hubungannya dengan kekuasaan dan penghukuman. Agama terakhir ini justru
tampil dengan dapat lebih mentolelir berbagai keadaan dan kondisi umat yang
menjalankan ajarannya.
Banyaknya aliran dan madzhab yang ada, justru makin menguatkan
kebenaran bahwa dalam Islam perbedaan yang ada menjadi keleluasaan dan
kelonggaran untuk menjalankan ajarannya. Perbedaan yang ada bukan menjadi
penghalang demi membuat agama Islam menjadi agama yang Rahmatan Lil
Alamin.

C. Perbedaan Kaifiyah Wudlu Menurut Empat Madzhab
Kita lebih spesifikkan bersuci menjadi berwudlu, karena wudlu sendiri
merupakan ibadah – untuk mensucikan diri, baik jasmaniah maupun rohaniah –
yang menjadi wasilah untuk mengerjakan ibadah yang lainnya; seperti salat,
thawaf dan sebagainya.
Untuk lebih menyingkat pembahasan, maka yang akan dipaparkan hanya
seputar rukun-rukun wudlu dan perkara yang membatalkan wudlu menurut empat
madzhab saja. Adapun dalail tentang kefardluan wudlu untuk melakukan shalat
adalah ayat al-Qur’an Surat al-Maidah: 6, yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki… (QS al-Maidah: 6)
1. Rukun-Rukun Wudlu
a. Niat; ulama’ Maliki dan Syafi’i berpendapat niat harus bersamaan dengan
membasuh bagian muka. Sedangkan ulama’ Hanbali mengatakan niat
adalah syarat, sehingga bila dilakukan sebelum membasuh muka sah-sah
saja. Sementara madzhab Hanafi berpendirian niat adalah sunah, kecuali
jika berwudlu dengan air bekas/ ketika bertayamum, maka niat menjadi
wajib.
b. Membasuh muka; para ulama’ sepakat bahwa batas muka adalah dari
ujung dahi bagian atas sampai dagu bagian bawah dan dari pinggir telinga
sampai kepinggir telinga yang satunya.
c. Membasuh kedua tangan sampai dengan siku.
d. Menyapu kepala; para imam madzhab tidak sependapat mengenai kadar
yang harus dibasuh. Madzhab Maliki dan Hanbali berpendapat wajib
menyapu seluruh kepala. Kecuali imam Hanbali yang mengatakan
menyapu kedua belah kuping, karena keduanya termasuk dalam bagian
muka. Sementara golongan Hanafi berpendapat bahwa yang wajib adalah
menyapu seperempat bagian. Sedang madzhab Syafi’i mencukupkan
menyapu kurang dari seperempatnya; bahkan tiga helai rambut sudah
dicukupkan.
e. Tertib; urutan diatas haruslah tertib menurut ulama’ Syafi’iyah dan
Hanbali. Sementara ulama’ Hanafi dan Maliki bewrpendapat tertib dalam
berwudlu adalah sunah, bukan fardlu.
f. Muwalah/ berturut-turut
g. Ulama’ Malikiah menambahkan menggosok anggota wudlu menjadi
rukun. Sedangkan ulama’ Hanbali menambahkan berkumur dan
memasukkan air kedalam hidung menjadi rukun, dengan pertimbangan
keduanya merupakan daerah muka.
2. Perkara yang Membatalkan Wudlu
a. Segala sesuatu yang keluar dari pintu pelepasan (qubul maupun dubur).
Termasuk didalamnya yaitu: kencing, tahi, kentut, mazi, wadi dan mani –
kecuali menurut imam Syafi’iyah yang mengatakan tidak membatalkan
wudlu tetapi diwajibkan untuk mandi. Mengenai sesuatu yang tidak biasa
keluar seperti kerikil dan sebagainya, itu membatalkan wudlu kecuali
pendapat imam Maliki; hal-hal tersebut tidak membatalkan wudlu selama
tidak ditelan terlebih dahulu.
b. Tidur nyeyak hingga hilang kesadarannya dengan tanpa menetapnya
pantat pada tempat duduk. Demikian pendapat golongan Hanafi dan
Syafi’i. hal ini berdasarkan pedoman mereka bahwa pada hakikatnya tidur
tidak membatalkan wudlu tetapi hanya dikhawatirkan ada sesuatu yang
keluar dari jalan pelepasan. Berbeda dengan madzhab Maliki dan Hanbali
yang mengatakan pada hakikatnya tidur itu membatalkan wudlu.
c. Hilang akal, baik karena gila, pingsan, mabuk atau Karena obat-obatan.
Hal ini disepakati oleh para Ulama’.
d. Bersentuhan dengan lawan jenis. Menurut madzhab Hanafi, menyentuh
saja tidaklah membatalkan wudlu, tetapi yang membatalkan ialah
bertemunya kemaluan laki-laki dan perempuan tanpa adanya penghalang.
Sedangkan ulama’ Syafi’i berpendirian bahwa wudlu menjadi batal
disebabkan bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan dengan
syarat yang disentuh sudah baligh dan bukan muhrim serta antara
keduanya tidak ada penghalang. Bukan rambut, kuku ataupun gigi, tetapi
kulit. Sementara golongan Maliki dan Hanbali menyatakan bersentuhan
kulit dengan lawan jenis membatalkan wudlu sekalipun dengan muhrim
jika disengaja untuk mendapatkan kenikmatan. Namun bila tidak
disengaja, maka tidak membatalkan wudlu.
e. Menyentuh kemaluan tanpa ada penghalang, demikian juga menyentuh
pintu dubur, kecuali kemaluan binatang. Ulama’ Syafi’i dan Hanbali
berpendirian bahwa wudlu menjadi batal disebabkan menyentuh
kemaluan sendiri maupun orang lain yang masih menempel maupun
sudah terlepas, anak kecil maupun orang dewasa, orang hidup maupun
orang mati. Dengan syarat persentuhan tersebut dengan telapak tangan
bagian dalam menurut Syafi’iah dan juga punggung tangan menurut
Hanbaliah. Sementara golongan Hanafi berpendapat bahwa menyentuh
kemaluan sendiri maupun orang lain tidak membatalkan wudlu. Berbeda
dengan golongan Maliki yang menyatakan bahwa yang membatalkan
wudlu adalah menyentuh kemaluan sendiri, sedang menyentuh kemaluan
orang lain dihukumi sama dengan menyentuh kulit lawan jenis.
f. Sesuatu yang keluar dari tubuh kecuali jalan pelepasan; seperti darah,
nanah ataupun najis lainnya. Namun menurut ulama’ Syafi’iah dan
Malikiah semua itu tidak membatalkan wudlu. Berbeda dengan madzhab
Hanbali yang mensyaratkan benda yang keluar tersebut cukup banyak
menurut ukuran umum. Sedang madzhab Hanafi menyaratkan benda
tersebut mengalir dan melewati tempat keluarnya.
g. Muntah yang memenuhi mulut. Namun golongan Syafi’iah dan Malikiah
berpendapat tidak membatalkan wudlu.
h. Murtad. Namun menurut golongan Hanafi dan Syafi’i wudlu orang
murtad tidaklah batal.

DAFTAR PUSTAKA
Ar-Rahbawi, A. Qodir. Salat Empat Mazhab. Cet X. Tejmh Zeid Husain Al-Hamid
dkk. Pustaka Litera Antar Nusa: Bogor. 2008.
Bisri, A. Mustofa. Fikih Keseharian Gus Mus. Khalista: Surabaya. 2005.
Djatniko, rahchmat dkk. Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam. Bumi Aksara:
Jakarta. 1992.
Syahrur, Muhammad. Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam
Kontemporer. Cet II. Terjmh Sahiron Syamsuddin. elSAQ Press: Yogyakarta.
2007.